http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Minggu, 06 Januari 2013

mengeraskan dzikir berjama'ah

Fadzkuruunii Adzkurkum. (Ingatlah/berdzikirlah kalian kepada-Ku, niscaya Aku mengingat kalian) [QS. Al-Baqoroh: 152]
Camkanlah, bahwa dengan dzikrullah itu hati menjadi tenang! [QS. Ar-Ra’d: 28]
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. [QS. Al-Kahfi: 28]
Disunnahkan bagi orang-orang yang selesai mendirikan shalat berjama’ah untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir secara berjama’ah. Hal tersebut didasarkan pada hadits Sayyidina Abdullah bin Abbas ra, beliau berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rah.a mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”
Adapun hadits “Irba’uu ‘alaa anfusikum fa innakum laa tad’uuna ashomma wa laa ghaa-iba” menjelaskan larangan mengangkat suara ketika berdzikir sambil berjalan-jalan dan bukan ketika berjama’ah di suatu majelis. Jika menjahr dzikir itu di larang, lalu bagaimana dengan takbiran yang dilakukan pada hari ‘Id?
Syaddad bin Aus ra juga meriwayatkan, dan dibenarkan oleh Ubadah bin Ash-Shamit, dia berkata: Kami berada di sisi Rasulullah SAW ketika beliau bersabda, “Adakah di antara kalian orang yang asing?” Kami menjawab, “Tidak ada yaa Rasulullah.” Lalu beliau memerintahkan untuk mengunci pintu, lalu bersabda, “Angkatlah kedua tangan kalian, lalu ucapkanlah LAA ILAAHA ILLALLAAH.” Kami pun mengangkat kedua tangan kami sesaat. Kemudian Rasulullah SAW meletakkan tangannya dan bersabda, “Al-hamdu lillaah, yaa Allaah, sesungguhnya Engkau telah mengutusku dengan (mengemban) kalimat (tauhid) ini. Engkau memerintahkan aku untuk mengamalkannya, dan Engkau menjanjikan surga bagiku karenanya. Sesungguhnya Engkau tidak mengingkari janji.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni dosa-dosa kalian.” [HR. Imam Ahmad, Imam Thabrani, Al-Bazzar, Imam Al-Hakim]
Banyak lagi hadits shahih yang mengungkapkan masalah mengangkat suara dalam dzikir berjama’ah. Jadi, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa hal ini adalah perkara bid’ah. Hanya kaum yang lemah aqal dan kurang memahami syari’at saja yang menganggap hal ini sebagai perkara bid’ah. Wallahu a’lam.
DZIKIR ITU KEBUTUHAN
Majelis-majelis dzikir mempunyai pengaruh yang besar di dalam kehidupan manusia, pengaruh terhadap hati manusia, pengaruh terhadap bathin manusia. Majelis-majelis dzikir berpengaruh terhadap seseorang dalam urusan lahir dan bathin, dalam urusan dunia dan akhirat. Walau pun seseorang sibuk dalam memenuhi kebutuhan duniawinya, akan tetapi perlu diketahui bahwasanya dzikir kepada Allah SWT merupakan salah satu usaha di dalam memperbaiki kehidupan kita, baik yang lahir maupun yang bathin.
Seperti kita ketahui bahwa kita butuh kekayaan, makanan, pakaian, dan tempat tinggal; ruh kita pun membutuhkan kekayaan, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Apabila seseorang memperhatikan dan memenuhi kebutuhan dari ruh dan bathinnya, maka kebutuhan lahirnya pun akan menjadi baik pula. Apabila dia menelantarkan kebutuhan bathinnya, maka hal itu akan berpengaruh pula kepada kebutuhan lahirnya. Sebagaimana diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAAW tentang pengaruh dari dzikir, bahwa sesungguhnya seseorang yang duduk di tempat sholatnya setelah shalat shubuh dan berdzikir kepada Allah SWT, hal itu lebih mempercepat dalam meraih rizqi dari pada orang yang pagi-pagi buta telah pergi mencari rizqi.
Kemudian, orang-orang yang memperhatikan makanan hatinya berupa dzikir kepada Allah SWT, maka akan mempengaruhi mereka dalam memilih makanan bagi lahiriyah mereka. Mereka akan memilih makanan yang halal, menjauhi yang haram, menjauhi yang syubhat. Barangsiapa yang hanya memakan makanan yang halal, maka anggota tubuhnya pun akan mudah untuk taat kepada Allah SWT. Begitu juga apabila seseorang memakan makanan yang haram, maka anggota tubuhnya pun akan berbuat ma’siat kepada Allah SWT, melanggar perintah-Nya, dan mengerjakan apa yang dilarang-Nya.
Hendakya seseorang lebih mengutamakan pakaian bathinnya, menghiasi hatinya dengan hal-hal yang diridhoi oleh Allah SWT, dan menghiasi hatinya dengan sifat-sifat mulya. Karena Allah telah membagi-bagikan pakaian kepada manusia, dan sebaik-baik pakaian yang Allah berikan bagi seseorang adalah taqwa. Sungguh, pakaian-pakaian lahiriyah akan hancur. Namun pakaian taqwa akan tetap abadi. Sehingga orang-orang bertaqwa akan menghadap Allah SWT dengan pakaian ini, dan ia tidak telanjang di hadapan Allah SWT, dan tidak pula telanjang di hadapan manusia di Padang Mahsyar kelak. Dan pakaian seperti ini Allah bagi-bagikan di majelis-majelis ilmu, di majelis-majelis dzikir.
DZIKIR JAMA’AH, SESATKAH…?
Dzikir berjama’ah merupakan salah satu perkara yang disukai dan dianjurkan Nabi. Orang yang mencintai Nabi tidak mungkin membenci perkara ini, kecuali mereka jahil dari perkara yang dicintai Nabi karena mengikut kepada ustadz-ustadz jahil.
Terdapat banyak hadits yang berkenaan dengan masalah ini, diantaranya ialah sabda Rasulullah SAW, “Suatu kaum tidak berkumpul di rumah-rumah Allah (Masjid-Masjid) dan berdzikir kepada Allah Ta’ala dengan (ikhlash) mengharapkan keridhoan-Nya, melainkan Allah mengampuni segala dosa mereka dan akan merubah semua kejahatan mereka menjadi kebaikan.”
Sabdanya lagi, “Suatu kaum tidak duduk bersama-sama berdzikir kepada Allahu Ta’ala, melainkan para Malaikat mengelilingi mereka, sedang rahmat meliputi mereka, dan ketenangan turun atas mereka. Dan Allah menyebut nama mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya.”
Dalam potongan hadits qudsi Allah berfirman, “Jika mereka menyebut-Ku dalam suatu kumpulan, maka Aku menyebut mereka dalam kumpulan yang lebih baik.” Kumpulan yang lebih baik di sisi Allah biasa ditafsirkan sebagai Malaikat. Dalam hadits lain dijelaskan bahwa setiap perbuatan kita akan dilaporkan kepada Nabi. Wallahu a’lam.
Sabda Rasulullah SAW lainnya: “Apabila kamu melintasi taman-taman surga, maka hendaklah engkau singgah.” Para shahabat bertanya, “Apakah taman-taman surga itu?” Beliau menjawab, “Kumpulan-kumpulan orang yang berdzikir.” Pada riwayat lain dikatakan “Majelis-majelis dzikir.”
Diriwayatkan dalam suatu hadits yang panjang dari Abu Hurairah yang diawali “Sesungguhnya Allah s.w.t Yang Maha Memberkati lagi Maha Tinggi memiliki para Malaikat yang mempunyai kelebihan yang diberikan oleh Allah s.w.t. Para Malaikat selalu mengelilingi bumi. Para Malaikat sentiasa memerhati majlis-majlis zikir. Apabila mereka dapati ada satu majlis yang dipenuhi dengan zikir, mereka turut mengikuti majlis tersebut di mana mereka akan melingkunginya dengan sayap-sayap mereka sehinggalah memenuhi ruangan antara orang yang menghadiri majlis zikir tersebut dan langit…” dan diakhiri dengan, “Allah berfirman: Aku sudah mengampuni mereka. Aku telah kurniakan kepada mereka apa yang mereka mohon dan Aku telah berikan ganjaran pahala kepada mereka sebagaimana yang mereka mohonkan.” Para Malaikat berkata: “Wahai tuhan kami, di antara mereka terdapat seorang hambaMu. Dia penuh dengan dosa, sebenarnya dia tidak berniat untuk menghadiri majlis tersebut, tetapi setelah dia melaluinya dia terasa ingin menyertainya lalu duduk bersama-sama orang ramai yang berada di majlis itu.” Lalu Allah berfirman: “Aku juga telah mengampuninya. Mereka adalah kaum yang tidak dicelakakan dengan majlis yang mereka adakan.” (HQR. Bukhori dan Muslim)
Sebagian ahli thoriqoh lebih suka memilih berdzikir dengan mengangkat suara dan berkumpul beramai-ramai untuk tujuan berdzikir itu. Sebagian yang lain lebih mimilih berdzikir secara rahasia. Kedua cara itu diridhoi Allah. Allah merahmati mereka dan memberikan kita manfaat karena mereka. Bukankah kiamat, bencana terbesar bagi alam semesta, tertunda disebabkan orang yang menyebut Asma-Nya? Begitu juga bencana-bencana yang lebih kecil dari itu.

pandangan ulama salaf,khalak dan ulama besar lain-nya tentang maulid nabi

Dewasa ini umat Islam terpecah dalam berbagai aliran dan perbedaan pendapat yang saling menyalahkan. Begitu juga telah terjadi perbedaan yang tak asing lagi.
Bagi orang-orang yang pengetahuannya tentang ilmu agama kurang maka semua permasalahan itu seharusnya diserahkan kepada para ulama yang lebih dalam pengetahuannya tentang agama dan telah terbukti kesahihannya dari zaman ke zaman.
Allah swt berfirman:
إنما يخشى الله من عباده العلماء إن الله عزيز غفور
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir/35: 28).
Dan Rasulullah saw bersabda:
إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورث دينارا ولادرهما إنما ورثوا علما
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang sangat banyak.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Ahmad).
Sehubungan dengan ayat dan hadist di atas ini, Allah sendiri telah menyuruh kepada kita agar bertanya kepada ulama (ahli zikir) yang berilmu, bertakwa, dan mengamalkan ilmunya jika terjadi masalah atau tidak mempunyai pengetahuan tentang sesuatu. Firman Allah:
فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya: 7).
Untuk itu, agar permasalahan seputar maulid nabi ini lebih jelas, maka perhatikanlah pendapat para ulama yang telah banyak jasanya dalam mengembangkan agama Islam di bawah ini.

1.”Andaikata aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, maka akan aku dermakan semuanya untuk menyelenggarakan pembacaan maulid Rasul.” (I’anathuth Thalibin 3/255).
Ini adalah perkataan Imam Hasan Al Bashri. Beliau adalah tokoh ulama generasi Tabi’in yang agung. Beliau lahir di Madinah 2 tahun sebelum wafatnya khalifah Umar bin khattab ra dan meninggal pada bulan Rajab tahun 116 H dalam usia 89 tahun.
Beliau adalah seseorang yang telah bertemu dengan lebih dari 100 sahabat Nabi Muhammad saw. Ucapan Imam Hasan Al Bashri ini membuktikan kalau pada masa tabi’in telah biasa diadakan perayaan maulid nabi Muhammad saw.

2. “Barangsiapa mempersiapkan makanan, mengumpulkan teman- teman, menyalakan lampu, mengenakan pakaian baru, memakai farfum dan menghias dirinya untuk membaca dan mengagungkan maulid Rasul,
maka kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkannya bersama para Nabi, orang-orang yang berada dalam barisan pertama dan dia akan ditempatkan di Illiyin yang tertinggi.” (I’anathuth Thalibin 3/255).
Ini adalah ucapan Syekh Ma’ruf Al Karkhi. Beliau adalah seorang sufi terkemuka yang wafat pada tahun 200 H. Beliau selalu berprasangka baik kepada sesama muslim.
Kalimatnya juga membuktikan kalau para salaf telah melakukan perayaan maulid Nabi pada abad kedua Hijriyah, walau bentuk dan caranya mungkin berbeda dengan yang terjadi sekarang ini.

3. “Barangsiapa mendatangi sebuah tempat dimana di sana dibacakan Maulid Nabi, maka dia telah mendatangi sebuah taman Surga.
Sebab tujuannya mendatangi tempat itu tiada lain adalah untuk mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah saw, sedangkan Rasul saw telah bersabda: “Barangsiapa mencintaiku, maka dia bersamaku di Surga”.” (I’anathuth Thalibin 3/255).
Ini adalah pernyataan Syekh Sirri As Saqathi. Beliau adalah murid Syekh Ma’ruf Al Karkhi dan menjadi guru serta paman dari Syekh Junaid Al Baghdadi. Beliau terkenal gigih dalam beribadah kepada Allah swt. Beliau wafat pada tahun 253 H.
Pernyataan ini beliau sampaikan setelah mendalami Al Qur’an dan hadist Nabi Muhammad saw serta mengamalkannya dengan penuh kesabaran.

4. “Barangsiapa menghadiri maulid Rasul dan mengagungkan kedudukannya, maka dia telah sukses dengan keimanan.” (I’anathuth Thalibin 3/364). Ucapan ini disampaikan oleh Imam Junaid Al Baghdadi, yang dikenal sebagai pemimpin para sufi yang wafat pada 297 H.
Beliau adalah seseorang yang sangat tekun belajar dan beribadah, sehingga dalam usia 20 tahun telah mendapat kepercayaan untuk menjadi mufti.

5. “Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi saw akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati hari kelahiran Isa as, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta an penghormatan kepada Nabi saw.
Allah swt akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaannya kepada Nabi mereka. Bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhajus Salaf Fi Fahmin Nushush Bainan Nadhariyyah Wat Tathbiq: 399).
Ini adalah perkataan Imam Ibnu Taimiyah. Beliau adalah ulama besar yang hidupnya dihabiskan untuk ilmu, ibadah dan perjuangan. Beliau lahir pada 10 Rabiul Awwal 661 H dan wafat pada 22 Dzul Qa’idah 728 H.
Beliau adalah seorang ulama yang guru, murid dan karyanya sangat banyak. Di antara kitab karangannya adalah Al Fatawa yang terdiri dari 38 jilid.

6. “Barangsiapa mengumpulkan teman-temannya, mempersiapkan hidangan, menyediakan tempat, melakukan kebaikan untuk maulid Nabi, dan semua itu menjadi sarana pembacaan maulid Rasul,
maka di hari kiamat kelak Allah akan membangkitkannya bersama-sama orang shidiq, para syuhada dan kaum shalihin. Dan kelak ia akan berada di surga-surga yang penuh kenikmatan.
Ini adalah pendapat pakar sejarah dan ulama terkemuka dalam dunia Islam, Syekh Abdullah bin As’ad Al Yafi’i, pengarang kitab Raudhur Rayyahin. Beliau wafat pada 768 H.

7. “Tidaklah sebuah rumah muslim dibacakan Maulid Nabi sadanya, melainkan Allah singkirkan kelaparan, wabah penyakit, kebakaran, berbagai jenis bencana, kebencian, kedengkham, pandangan buruk, serta pencurian dari penghuni rumah itu.
Dan jika ia meninggal dunia, maka Allah akan memberinya kemudahan untuk menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Dan dia kelak akan berada di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa.” (I’anathuth Thalibin 3/255).

Inilai pernyataan ulama besar yang lahir pada bulan Rajab 849 H dan wafat pada tahun 911 H, Al Hafizh Abu Bakar bin Abdur Rahman As Suyuthi. Beliau terkenal sebagai seorang mujjadid (pembaharu Islam) pada abad ke 9 H.
Keluasan ilmunya telah terbukti dan karya-karyanya sangat banyak sehingga mencapai 400 buku. Selain hafal Al Qur’an, beliau juga hafal di luar kepala kitab-kitab besar. Di antaranya adalah kitab Al Minhaj karya Imam Nawawi dan juga kitab Al Umdah.
Demikianlah di antara perkataan para tokoh ulama yang menganjurkan dan membenarkan perayaan dan pembacaan maulid Nabi Muhammad saw.

tawasul dan dzikir

Apa arti tawasul dengan walinya Allah?
Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya menjadikan para kekasih Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam mencapai hajat, karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki, disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang dijadikan oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci rahmat. Pada hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta hajatnya dikabulkan kecuali kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan bahwa Allah-lah yang maha memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya. Ia menuju kepada Allah SWT.dan orang-orang yang dicintai Allah SWT, karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima doa mereka dan syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah SWT,mencintai orang-orang yang baik dan orang-orang yang bertaqwa. Dalam hadits qudsi disebutkan:
ولا يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذى سمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله الذى يمشى بها ولئن سألني لأعطيته ولئن استعاذني لأعيذنه
Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatanny yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta perlindungan, maka Aku berinya perlindungan.” (HR. Imam al-Bukhori).
Apa hukum tawasul dengan orang-orang yang dikasihi oleh Allah?
Tawasul dengan orang-orang yang dicintai Allah, seperti nabi-nabi dan orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan ijma’ ulama’ kaum muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang diridloi. Tawasul itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.
Bagaimana halnya dengan orang yang beranggapan bahwa tawasul itu adalah syirik dan kufur, serta pelakunya adalah musyrik dan kafir?
Tidak dapat diteladani orang yang nyleneh dan berpisah dari jama’ah yang beranggapan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau haram, lalu menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar dan batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa sebagian umat Islam telah membuat kesepakatan (ijma’) atas perkara yang haram atau kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat Muhammad ini telah mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas perbuatan sesat, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti hadits:
سألت ربي أن لايجمع أمتي على ضلالة فأعطانيها
“Saya memohon kapada Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan umatku atas perkara sesat, dan Dia mengabulkan permohonanku itu.” (HR. Ahmad dan at-Thabrani).
لايجمع الله أمتي على ضلالة أبدا
“Allah tidak menghimpunkan umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya.” (HR.Imam al-Hakim).
ما رآه المسلمون حسنا فهوعهند الله حسن
“Apa yang diyakini baik oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik.”
Apakah ada dalil al-qur’an tentang tawasul?
Ya, ada. Adapun ayat al-Qur’an yang menunjukkan dibolehkan tawasul adalah ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 35)
Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari wasilah (perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya hajat dari-Nya.
Apakah tawasul itu terbatas pada amal perbuatan saja, tidak pada benda (Dzat)?
Tidak, karena ayat Al-Qur’an tersebut umum (‘amm) meliputi amal-amal perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.
Adapun orang yang berpendapat boleh tawasul dengan amal perbuatan saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak boleh, dan ia membatasi maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan amal perbuatan), maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah mutlak. Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu lebih mendekati, sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan mencari wasilah, sedang arti taqwa adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Apabila kata “Ibtighoul wasilah” (mencari wasilah) kita artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari wasilah hanya sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafad “al-Wasilah” ditafsirkan dzat-dzat yang ulia, maka ia berarti yang asal, dan akna inilah yang lebih diutamakan dan lebih didahulukan. Disamping itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal perbuatan baik, padahal amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan, maka dzat-dzat yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat ketinggian tingkat ketaatan, keyakinan dan ma’rifat dzat-dzat itu kepada Allah SWT, allah SWT.berfirman:
(QS. An-Nisa’ : 64).
Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya RAsulullah sebagai wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah “Jaa-uuka” (mereka dating kepadamu) dan “Wastaghfaro lahumurrosuulu” (dan Rasul memohokan ampun untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa kalimat “Jaa-uuka”.
Apakah tawasul itu dibolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?
Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat tersebut juga umum (’amm), ketika beliau masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat.
Telah dipastikan, bahwa para nabi dan para wali itu hidup dalam kubur mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT. Barangsiapa tawasul dengan mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada Allah dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian, maka yang dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan lain-Nya. Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama’ah tidak meyakini adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali milik Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi dan para wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah, karena merekalah Allah memberi rahmat kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Yang kuasa berbuat dalam dua kondisi tersebut hakekatnya adalah Allah, bukan mereaka yang hidup atau yang mati.
Adapun orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa orang-orang yang masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang lain sedangkan orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil, sebab Allah-lah pencipta segala sesuatu.
Apa tawasul dengan orang-orang yang telah meninggal itu diperbolehkan?
Dalilnya sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa’ :64).
Ayat di atas adalah umum (’amm) mencakup pengertian ketika beliau masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzakh. Imam ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul ma’ad menyebutkan:
عن أبي سعيد الخضريّ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما خرج رجل من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.
“Dari Abu Sa’id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: “seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do’a:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت
Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohokan ampun untk oran tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”. (HR. Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu’aim meriwayatkan bahwa do’a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan shalat adalah:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين….إلخ
Para ulama; berkata, “ini adalah tawasul yang jelas dengan semua hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do’a ini. Dansemua orang salaf dan sekarang selalu berdo’a dengan do’a ini ketika hendak pegi sholat.”
Abu Nu’aimah dalam kitab al-Ma’rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة بنت أسد أم علي بن ابي طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه وسلم اضطجع في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة بنت أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك أرحم الراحمين
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW berbaring diatas kuburannya dan bersabda:
“Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah (jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau Maha Penyayang.”
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi:
بحقّ الأنبياء قبلي
“Dengan hak para nabi sebelumku”.
Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi SAW?
Para ulama’ telah menjelaskan hal ini juga, mereka berkata:
“Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh, tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait Rasulullah SAW.
Apa dalilnya?
Dalilnya adalah perbuatan para sahabat. Mereka selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.
Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits ra dating ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah, mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu dating kepada kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan orang-orang dituruni hujan.”
Di mana letak penggunaan dalil hadits tersebut?Letak penggunaan dalil dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin Al-Harits, seorang sahabat Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar maupun sahabat-sahabat Nabi lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah hadits:
إن أهل المدينة قحطوا قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها فقالت انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه وسلّم فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا مطرا شديدا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة
“Sesungguhnya penduduk Madinah mengalami paceklik yang amat parah, karena langka hujan. Mereka mengadu kepada Aisyah ra dan ia berkata: “lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW lalu buatlah lubang terbuka yang mengarah ke arah langit, sehingga antara kuburan beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka melaksanakan perintah Aisyah, kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras, hingga rumput-rumput tumbuh dan unta menjadi gemuk.”

Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik dengan amal perbuatan yang baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah berlaku sebelum Nabi Muhammad diciptakan.
Apa dalil bahwa tawasul terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan?
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob:
“Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata,
“Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku.”
Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?”
Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali makhluk yang paling Engkau cintai.”
Kemudian Allah berfirman: “Benar engkau hai adam. Muhammad adalah makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad maka Aku tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan al-Baihaqi).
Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Imam Malik telah memberi anjuran tawasul kepada Khalifah al-Mansur, yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid Nabawi:
Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo’a atau menghadap Nabi SAW?”
Imam Malik berkata kepada kholifah, “Mengapa engkau memalingkan wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku Nabi Adam as.kepada Allah SWT. Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah pertolongan dengannya, Allah akan memberinya pertolongan dalam apa yang engkau minta.”
Allah befirman:
“Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa’ :64).
Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli ‘Iyadl dalam kitab as-Syifa’.
Bagaimana cara tawasul?
Para ulama telah menerangkan, bahwa tawasul dengan dzat-dzat yang mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga macam, yaitu:
* Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:
اللهم إني أسألك بنبيك محمد أو بحقه عليك أو أتوجّه به إليك في كذا….
“Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan Nabi SAW untuk…”
* Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
يا رسول الله، ادع الله تعالى أن يستقينا أو…
“Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau…”
* Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dank arena doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.
Tiga macam cara tawasul ini semua berdasarkan nash-nash yang shahih dan dalil-dalil yang jelas. Apa dalil tawasul dengan cara yang pertama?
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
“Dari Autsman bin Hunaif ra:
Sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Ya Rasululah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkan saya.”
Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk kamu.”
Laki-laki itu berkata: “berdo’alah untuk saya, karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan (merepotkan)ku.”
Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu, shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah beliau dalam urusanku.”
Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat.”
Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan dzat Nabi Muhammad SAW.
Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana diuraikan dalam ilmu ushul.
Apa dalil tawasul dengan cara kedua?
Dalilnya banyak, diantaranya:
“Dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung menghadap kepda Nabi SAW seraya berteriak:
“Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami.
Rasulullah SAW.lalu mengangkat tangan dan berdo’a, “Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali.
Anas berkata: “Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya.
Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus.
“Kemudian Beliau berdoa: “Allah, turunkanlah hujan disekitar kita bukan diatas kita,” kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di bawah sinar matahari.
Di dalam hadits yang shahih ini ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung, boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat hamba-hambanya.
Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga kedudukan dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa kecuali ta’at kepada-Nya.
Apa dalil tawasul yang ketiga?
Dalilnya banyak antara lain:
Dari Rabi’ah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda kepadaku: “Mintalah apa saja yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya memohon kepada-Mu dapat bersama-Mu di surga.” Beliau bersabda: “Selain itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” Kemudian beliau bersabda: “Bantulah saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Imam Muslim).
أن قتادة نعمان أصيب بسهم في عينه عند يوم أحد فسالت على خدّه فجاء إلى رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره بين الصبر وبين أن يدعو له فاختار الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى موضعها فعادت كما كانت
Sesungguhnya Qotadah bin Nu’man pada waktu perang Uhud matanta terkena panah sampai keluar ke pipinya, lalu dating kepada Nabi SAW dan berkata: “mataku Ya Rasulullah.” Beliau memberinya pilihan antara sabar dengan sakit pada matanya itu dan beliau berdoa untuk kesembuhannya. Qotadah memilih agar Rasulullah menyembuhkannya melalui doa. Kemudian beliau mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula dengan mata beliau yang mulia sehingga kembali normal seperti semula.”
Bagaimanakah hukum berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa erupakah inti dari ibadah. Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh seorang mukmin itu ada doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan pedang bagi seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir untuk orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr)
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah berdoa untu saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak melarangnya. Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk mendoakan orang lain juga disebutkan dalam ayat:
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara terang-terangan supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut:
Dari Mu’aqqol ibn Yassar ra.: “barang siapa membaca surat yasin karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantar kamu.” (Al-Baihaqi, Jami’us Shogir: bab Syu’abul Iman, Vol. 2, hal. 178, termasuk hadits shohih.)
Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga menganjurkan kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia. Dari Utsman bin Affan ra, dia berkata:
“Ketika Rasulullah selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam diri atas mayit, lalu bersabda, “mohon ampunlah kalian semua kepada Allah SWT.untuk saudaramu. Dan mohonlah ketetapan untuk mayit sesungguhnya saat ini dia sedang diberi pertanyaan.” (HR. Abu Daud dan Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu Daud, Bulughul Maram: 115/604)
Bagaimana hukum bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Dalam islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan, bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur’an digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri orang yang bertaqwa. Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam kategori bertaqwa (muttaqin) manakala ia tidak mau menyisihkan sebagian hartanya untk disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah befirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali- Imron: 133-134)
Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Oranng yang bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materil maupun spiritual. Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah untuk dilipatgandakan. Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan akan mendapatkan pahala berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang memiliki tujuh ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam ayat lain Allah secara tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia akan dilindungi dari kejahatan orang-orang dzalim.
“Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. A-Anfal : 60).
Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi sedekah juga dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Rasulullah pernah SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW. “Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (Muttafaqu ‘alaih)
Perintah rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah ditiggalkan oleh rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah SAW.bersabda:
‘Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Apa hukum talqin (pengajaran) kepada mayit?
Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada perbedaan pendapat mengenai talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah) kepada orang yang sedang sekarat, berdasarkan hadits:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
“Hendaklah kamu semua mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian degan kalimat Laa ilaaha illa Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)”
Adapun mengajari (talqin) orang yang baru dikuburkan menurut ulama madzhab Syafi’i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan sebagian ulama madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat At-Tabrani:
“Dari Abu Umamah ra., “Apabila salah seorang di antara saudaramu meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya). ‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab. Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah “ingatlah apa yang kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi, dan Al-Qur’an sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi. Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya. Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat munkar dan akir. Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu Hawa. (HR. At-Thabrani)
Hadits tersebut marfu’, sekalipun dhoif, tetapi hadits ini boleh diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a’mal) dan untuk mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah SWT:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh setiap hamba adalah ketika baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam fatwa-fatwanya menjelaskan, sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut diatas benar-benar dari sekelompok sahabat Nabi SAW.bahwa mereka menganjurkan talqin. Diatara mereka adalah Abu Umamah ra. Imam ibnu Taikiyah berkata, “Hadits-hadits yang menerangkan bahwa orang yang dalam kubur itu ditanya dan diuji dan perlu di doakan adalah sngat kuat. Oleh sebab itu talqin berguna baginya, sebab mayat itu dapat mendengar seruan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih:
“Sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: “Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan sandal-sandal kamu semua.”
Sementara itu, dalam hadits yang lain disebutkan:
“Sesungguhnya beliau bersabda: “kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan daripada mereka.”
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu sighat masdar dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat, ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga masih ditanyakan hukumnya?

Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka…
Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama’ah adalah
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. 3:191)
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) jama’ (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut kyai NU jama’ berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama’ harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah “Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal ibtida’ (telah dibukukan dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama’ dalam ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama’ah.
Selain itu jika sighat (konteks) jama’ dalam ayat tersebut dipahami sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama’ah atau bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri (qiyaman), duduk (qu’udan) dan berbaring (’ala junubihim). Nah bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama’ah dengan cara seperti ini? Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau. Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu suara?
Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama’ itu tidak selalu bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama’ itu tidak mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan:
“HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..” (lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq).
Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi’in. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu juga pada waktu para sahabat membangun saat membangun Masjidirrasul saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:
“Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah”
Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:
“Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah …” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116)
Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu’udan) dan berbaring (’ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah? Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:
عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم
Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada bagaimana tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.
Sahabat Rasul radhiyallahu’anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini.
Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama’ dengan arti bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar hadits dan ayat al Quran yang mana?
Kita Ahlussunnah waljama’ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :
إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ
Bila ia (hambaKu) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg lebih besar dan lebih mulia”. (HR Muslim).
Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi di rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,
Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى
Sabda Rasulullah saw: “Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “darimana kalian?” mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu,
Maka Allah bertanya: “Apa yg mereka minta”, Malaikat berkata: mereka meminta sorga, Allah berkata: apakah mereka telah melihat sorgaku? Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: “Bagaimana bila mereka melihatnya”. Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata: “mereka meminta perlindungan dari apa?” Malaikat berkata: “dari Api neraka”, Allah berkata: “apakah mereka telah melihat nerakaku?” Malaikat menjawab tidak, Allah berkata: Bagaimana kalau mereka melihat neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata: “sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata: “wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata: baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka
Semoga bermanfaat dan tidak ragu lagi.

adab ziarah kubur

Sekitar Persoalan Penghuni kubur
Rasulullah saw bersabda:
“Berilah hadiah mayit-mayitmu.” Kemudian kami (sahabat) bertanya: Apa hadiah untuk mayit? Beliau menjawab: “Sedekah dan doa.” (Mafatihul Jinan, pasal 10, hlm 570)

Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya setiap Jum’at arwah orang-orang mukmin datang ke langit dunia vertikal dengan rumah mereka, seraya masing-masing mereka memanggil dengan suara yang sedih sambil menangis: wahai keluargaku, anak-anakku, ayahku dan ibuku, kerabatku, sayangi kami niscaya Allah menyayangi kalian dengan hadiah yang kalian berikan pada kami. Celaka kami (karena harta kami), kami yang dihisab, orang lain yang mengambil manfaat.”

Dalam hadis yang lain Rasulullah saw bersabda:
“Masing-masing mereka memanggil kerabatnya: Sayangi kami dengan dirham atau roti atau pakaian, niscaya Allah menyayangi kalian dengan pakaian dari surga.” Kemudian Rasulullah saw menangis. Kami (sahabat) pun ikut menangis, Rasulullah saw tak kuasa berbicara karena banyaknya menangis. Kemudian beliau bersabda: “Mereka itu adalah saudara kalian dalam agama, mereka hancur menjadi tanah setelah mereka (di dunia) diliputi kesenangan dan kenikmatan. Mereka memanggil dengan seruan: “Celaka kami, sekiranya kami dulu menginfakkan harta kami di jalan ketaatan kepada Allah dan ridha-Nya, niscaya kami tidak butuh pada kalian.” Lalu mereka pulang dengan kerugian dan penyesalan, dan mereka berseru: Cepatlah kalian bersedekah untuk mayit kalian.”
Muhammad bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): Bolehkah kami berziarah pada orang-orang yang telah meningga? Beliau menjawab: Boleh. Kemudian aku bertanya lagi: Apakah mereka mengenal kami ketika kami berziarah kepada mereka? Beliau menjawab: “Demi Allah, mereka mengenal kalian, mereka bahagia dan terhibur dengan kehadiran kalian.” Aku bertanya lagi: Apa yang harus kami baca ketika kami berziarah kepada mereka? Beliau menjawab: bacalah doa ini. (lihat doa berikutnya)

Imam Musa Al-Kazhim (sa) berkata:
“Barangsiapa yang tidak mampu berziarah kepada kami (Ahlul bait), maka hendaknya berziarah pada orang-orang shaleh yang berwilayah kepada kami, maka akan dicatat baginya seperti pahala berziarah kepada kami; dan barangsiapa yang tidak mampu menyambung silaturahim pada kami, maka hendaknya menyambung silaturahim pada orang-orang shaleh yang berwilayah kepada kami, maka akan dicatat baginya seperti pahala menyambung silaturahim pada kami.”

Imam Ali Ar-Ridha (sa) berkata:
“Barangsiapa yang mendatangi kuburan saudaranya yang mukmin, kemudian meletakkan tangannya pada kuburannya, dan membaca surat Al-Qadar (7 kali), maka ia akan diselamatkan pada hari kiamat.” Dalam hadis yang lain disebutkan: “dan menghadap ke kiblat.”
Syeikh Abbas Al-Qumi (ra) mengatakan: Pahala bacaan surat tersebut untuk orang yang membacanya, juga untuk penghuni kubur yang diziarahi. Karena hal ini dikuatkan oleh hadis-hadis yang lain.

Makruh Ziarah kubur di malam hari
Tentang makruhnya ziarah ke kuburan orang-orang mukmin di malam hari, Rasulullah saw bersabda kepada Abu Dzar: “Jangan sekali-kali kamu berziarah kepada mereka di malam hari.”

Adab dan doa ziarah kubur
Pertama: Ketika memasuki areal kuburan mengucapkan salam.
Abdullah bin Sinan pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): Bagaimana cara mengucapkan salam kepada penghuni kubur? Beliau menjawab: Ucapkan:
اَلسَّلاَمُ عَلَى اَهلِ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ اَنْتُمْ لَنَا فَرْطٌ وَنَحْنُ اِنْ شَآءَ اللهُ بِكُمْ لاَحِقُوْنَ
Assalâmu ‘alâ ahlid diyâr, minal mu’minîna wal muslimîn, antum lanâ farthun, wa nahnu insyâallâhu bikum lâhiqûn.
Salam atas para penghuni kubur, mukminin dan muslimin, engkau telah mendahului kami, dan insya Allah kami akan menyusulmu.
Atau mengucapkan salam seperti yang diajarkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib (sa):
اَلسَّلاَمُ عَلَى اَهْلِ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مِنْ اَهْلِ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ، يَا اَهْلَ لاَ اِلَهَ اِلاَّ بِحَقِّ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ كَيْفَ وَجَدْتُمْ قَوْلَ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ مِنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ، يَا لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ بِحَقِّ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ اِغْفِـرْ لِمَنْ قَالَ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاحْشَـرْنَا فِي زُمْرَةِ مَنْ قَالَ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ عَلِيٌّ وَلِيُّ اللهِ
Assâlamu ‘alâ ahli lâ ilâha illallâh min ahli lâ ilâha illallâh , ya ahla lâ ilâha illallâh bihaqqi lâ ilâha illallâh kayfa wajadtum qawla lâ ilâha illallâh min lâ ilâha illallâh, ya lâ ilâha illallâh bihaqqi lâ ilâha illallâh ighfir liman qâla lâ ilâha illallâh, wahsyurnâ fî zumrati man qâla lâ ilâha illallâh Muhammadun Rasûlullâh ‘Aliyyun waliyullâh.
Salam bagi yang mengucapkan la ilaha illallah dari yang mengucapkan la ilaha illallah, wahai yang mengucapkan kalimah la ilaha illallah dengan hak la ilaha illallah, bagaimana kamu memperoleh kalimah la ilaha illallah dari la ilaha illallah, wahai la ilaha illallah dengan hak la ilaha illallah ampuni orang yang membaca kalimah la ilaha illallah, dan himpunlah kami ke dalam golongan orang yang mengu¬cap¬kan la ilaha illallah Muhammadur rasululullah Aliyyun waliyyullah.
Imam Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Barangsiapa yang memasuki areal kuburan, lalu mengucapkan (salam tersebut), Allah memberinya pahala kebaikan 50 tahun, dan mengampuni dosanya serta dosa kedua orang tuanya 50 tahun.”

Kedua: membaca:
1. Surat Al-Qadar (7 kali),
2. Surat Al-Fatihah (3 kali),
3. Surat Al-Falaq (3 kali),
4. Surat An-Nas (3 kali),
5. Surat Al-Ikhlash (3 kali),
6. Ayat Kursi (3 kali).
Dalam suatu hadis disebutkan: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Qadar (7 kali) di kuburan seorang mukmin, Allah mengutus malaikat padanya untuk beribadah di dekat kuburannya, dan mencatat bagi si mayit pahala dari ibadah yang dilakukan oleh malaikat itu sehingga Allah memasukkan ia ke surga. Dan dalam membaca surat Al-Qadar disertai surat Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlash dan Ayat kursi, masing-masing (3 kali).”
Ketiga: Membaca doa berikut ini (3 kali):
اَللَّهُمَّ اِنِّي اَسْئَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ اَنْ لاَتُعَذِّبَ هَذَا الْمَيِّتِ

Allâhumma innî as-aluka bihaqqi Muhammadin wa âli Muhammad an lâ tu’adzdziba hâdzal may¬yit.
Ya Allah, aku memohon pada-Mu dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad janganlah azab penghuni kubur ini.

Rasulullah saw bersabda:
“Tidak ada seorang pun yang membaca doa tersebut (3 kali) di kuburan seorang mayit, kecuali Allah menjauhkan darinya azab hari kiamat.”
Keempat: Meletakkan tangan di kuburannya sambil membaca doa berikut:
اَللَّهُمَّ ارْحَمْ غُرْبَتَهُ، وَصِلْ وَحْدَتَهُ، وَاَنِسْ وَحْشَتَهُ، وَاَمِنْ رَوْعَتَهُ، وَاَسْكِنْ اِلَيْهِ مِنْ رَحْمَتِكَ يَسْـتَغْنِي بِهَا عَنْ رَحْمَةٍ مِنْ سِوَاكَ، وَاَلْحِقْهُ بِمَنْ كَانَ يَتَوَلاَّهُ
Allâhumarham ghurbatahu, wa shil wahdatahu, wa anis wahsyatahu, wa amin raw‘atahu, wa askin ilayhi min rahmatika yastaghnî bihâ ‘an rahmatin min siwâka, wa alhiqhu biman kâma yatawallâhu.
Ya Allah, kasihi keterasingannya, sambungkan kesendiriannya, hiburlah kesepiannya, tenteramkan kekhawatirannya, tenangkan ia dengan rahmat-Mu yang dengannya tidak membutuhkan kasih sayang dari selain-Mu, dan susulkan ia kepada orang yang ia cintai.
Ibnu Thawus mengatakan: Jika kamu hendak berziarah ke kuburan orang-orang mukmin, maka hendaknya hari Kamis, jika tidak, maka waktu tertentu yang kamu kehendaki, menghadap ke kiblat sambil meletakkan tangan pada kuburannya dan membaca doa tersebut.
Muhammad bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa): Bolehkah kami berziarah ke orang-orang yang telah meningga? Beliau menjawab: Boleh. Kemudian aku bertanya lagi: Apakah mereka mengenal kami ketika kami berziarah kepada mereka? Beliau menjawab: “Demi Allah, mereka mengenal kalian, mereka bahagia dan terhibur dengan kehadiran kalian.” Aku bertanya lagi: Apa yang baca ketika kami berziarah kepada mereka? Beliau menjawab: bacalah doa ini:
اللَّهُمَّ جَافِ اْلاَرْضَ عَنْ جُنُوبِهِمْ وَ صَاعِدْ إِلَيْكَ أَرْوَاحَهُمْ وَ لَقِّهِمْ مِنْكَ رِضْوَانًا وَ أَسْكِنْ إِلَيْهِمْ مِنْ رَحْمَتِكَ مَا تَصِلُ بِهِ وَحْدَتَهُمْ وَ تُونِسُ بِهِ وَحْشَتَهُمْ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْ‏ءٍ قَدِيرٌ
Allâhumma jâfil ardha ‘an junûbihim, wa shâ’id ilayka arwâhahum, wa laqqihim minka ridhwânâ, wa askin ilayhim mir rahmatika mâ tashilu bihi wahdatahum, wa tûnisu bihi wahsyatahum, innaka ‘alâ kulli syay-in qadîr.

Ya Allah, luaskan kuburan mereka, muliakan arwah mereka, sampaikan mereka pada ridha-Mu, tenteramkan mereka dengan rahmat-Mu, rahmat yang menyambungkan kesendirian mereka, yang menghibur kesepian mereka. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
(Disarikan dari kitab Mafatihul Jinan, pasal 10, hlm 567-570)

Rabu, 02 Januari 2013

waspada wahabi


في ندوة بالقاهرة علماء وخبراء يؤكدون: الوهابية خطر على الإسلام والعالم
أكد علماء الأزهر والخبراء المتخصصون في دراسة الحركات الإسلامية أن الوهابية فكراً وحركة تمثل العدو الأخطر على المسلمين والعالم، وأنها لا تقل سوءاً عن الكيان الصهيوني ، لما تبثه من أفكار وسلوكيات تحض على العنف والإرهاب والكراهية وسهولة التكفير ضد كل من يخالفهم في الرأي، وتشوه بسلوكها الشائن المقاومة الإسلامية في فلسطين والعراق، وأنه من الواجب شرعاً مقاومة هذا الفكر وأتباعه بكافة السبل المتاحة، جاء ذلك في الندوة الإسلامية المتخصصة والموسعة التي عقدت بالأمس في القاهرة تحت عنوان (الوهابية: خطر على الإسلام والعالم) وشارك فيها بالأبحاث والنقاش كل من (الشيخ الدكتور/ عبد الرحمن السبكي من علماء الأزهر الشريف ـ المفكر الدكتور/ أحمد السايح أستاذ العقيدة والفلسفة الإسلامية بالأزهر الشريف ـ المستشار/ أحمد عبده ماهر من كبار العلماء المتخصصين في الحركات الإسلامية في مصر ـ أ/ عبد الفتاح عساكر المفكر الإسلامي المعروف ـ د/ عبد الله السعداوي المفكر والمعارض القومي الحجازي ـ د. أحمد شوقي الفنجري المفكر الإسلامي المعروف ـ د/ علي عبد الجواد الخبير في دراسات الحركات الإسلامية) ولفيف من العلماء والخبراء، هذا وقد خلصت الندوة إلى جملة من التوصيات والنتائج كان أبرزها:
أولاً: أكد الخبراء والعلماء في أبحاثهم (7 أبحاث) ومناقشاتهم أن الوهابية كدعوة وفكر تقوم على نفي الآخر وتكفيره، وأنها تهدد الأمن والسلم في كافة دول العالم الإسلامي لما تبثه من أفكار إرهابية وإجرامية شديدة الخطورة، أفكار تدفع الشباب الإسلامي إلى تكفير وإرهاب المجتمع والحكام لأوهى الأسباب، وأن العالم المعاصر لم يعان من تنظيم أو دعوة مثلما عانى من الوهابية سواء تمثلت في (القاعدة) أو في التنظيمات الإسلامية الأخرى، وأنه لولا المال السعودي لما انتشرت الوهابية ولولا النفاق الأمريكي لأمكن مقاومتها والقضاء عليها، ولكن أمريكا والسعودية تستفيدان من هذا الشذوذ الفكري المنتسب زوراً للإسلام والمسمى بالوهابية وذلك لإرهاب العالم تارة أو لابتزازه تارة أخرى.
ثانياً: أكد المشاركون في الندوة على أن الوهابية لها موقف سلبي من المرأة والعلم، والموسيقى وجميع الفنون، ومن المسيحيين بل من أصحاب المذاهب الإسلامية الأخرى (كالشيعة والأشاعرة وغيرهم)، وهي دعوة للجاهلية، وأغلب الموروث الوهابي قائم على الإرهاب الفكري والديني، ومخاصمة الواقع والعقل، ولذلك اعتبره البعض بمثابة (دين آخر) غير دين الإسلام، دين يدعو إلى الإرهاب والقتل باسم الله، والله منه براء، وأن ما يجري في العراق وأفغانستان بل وحتى السعودية راعية هذا الفكر من قتل وإرهاب على الهوية يؤكد أننا أمام دعوة للإجرام والقتل وليس أمام دعوة لإسلام سمح معتدل.
ثالثاً: طالب العلماء والخبراء في الندوة بضرورة إعداد استراتيجية إسلامية وعالمية ثقافية وسياسية لمقاومة الوهابية، وأنه ينبغي أن يكون للأزهر الشريف دور في ذلك لأنه مؤسسة الاعتدال الإسلامي قبل أن يتم اختراقه من الوهابية ومن يسموا بالدعاة الجدد من السلفيين المتشددين، إن الأزهر الشريف إذا عاد كمؤسسة تنويرية ووسطية معتدلة فإنها تستطيع الرد بقوة على هذا الغلو الوهابي المعادي لروح الإسلام المحمدي المعتدل.

Para ulama’ Al-Azhar dan pakar-pakar dalam bidang kajian Gerakan-gerakan Islam menegaskan bahwa sesungguhnya Wahhabiyah adalah merupakan satu pemikiran/faham dan gerakan musuh yang paling bahaya bagi umat Islam dan dunia, dan ia tidak kurang bahayanya berbanding Gerakan Zionis, karena ia menyebarkan pemikiran-pemikiran dan sikap serta perilaku yang bengis, bersifat keganasan (teroris), perasaan benci, serta sikap mudah mengkafirkan mana-mana pihak yang bertentangan pendapat dengan mereka.

Dan sikap serta tindak tanduk mereka yang memalukan ini merusak gerakan mempertahankan Islam di Palestin dan Iraq. Dan adalah menjadi kewajiban Syar’i untuk menentang pemikiran ini serta pengikut-pengikutnya dengan segala cara yang ada. Ini dinyatakan di dalam Simposium Islam Perbincangan Khusus (al-Mutakhasisah) dan Perkembangan (al-Muwassa’ah) yang telah dianjurkan kemarin di Kaherah/Kairo dengan Tema:

AL-WAHHABIYYAH: SATU ANCAMAN BAHAYA KEPADA ISLAM DAN DUNIA

Dan para tokoh pembentangan penyelidikan serta perbincangan adalah terdiri dari:

Al-Sheikh Dr. Abdurrahman al-Subki – salah seorang ulama’ dari Al-Azhar al-Sharif;
Al-Mufakkir Dr. Ahmad al-Sayih – Professor di dalam bidang Aqidah dan Falsafah Islam di Al-Azhar al-Sharif;
Al-Mustashar (Penasihat) Ahmad Abduh Maher – salah seorang dari ulama’ besar yang mempunyai kepakaran/Spesialisasi berkenaan Gerakan-gerakan Islam di Mesir;
Prof. Abdul al-Fattah ‘Asakir – Pemikir Islam yang terkenal;
Dr. Abdullah Al-Sa’dawi – Pemikir dan pembangkang nasional al-Hijazi
Dr. Ahmad Shawqi al-Fanjari – Pemikir Islam yang terkenal;
Dr. Ali Abdul Jawwad – Pakar kajian Gerakan-gerakan Islam;
Dan beberapa ulama’ dan pakar-pakar yang lain.

Pada simposium ini telah sepakat dari beberapa cadangan dan kesimpulan, dan yang paling penting adalah seperti berikut:

Pertama:
Pakar-pakar dan para ulama’ menegaskan di dalam penyelidikan mereka (terdapat tujuh (7) penelitian ) dan pembahasan bahwa sesungguhnya:

Al-Wahhabiyyah sebagai satu bentuk dakwah/seruan dan pemikiran berdiri di atas prinsip menolak dan mengkafirkan pihak lain. Dan sesungguhnya ia mengancam keamanan dan kesejahteraan di seluruh negara-negara Islam dengan sebab ia menyebarkan pemikiran-pemikiran teroris/keganasan dan doktrin yang sangat bahaya. Pemikiran-pemikiran ini menyebabkan pemuda-pemuda Muslim mengkafirkan serta membuat kekacauan terhadap masyarakat dan pemerintah dengan berlandaskan alasan/sebab yang sangat remeh. Dan dunia sekarang ini tidak mendukung pergerakan atau dakwah semacam al-Wahhabiyyah baik dalam bentuk (Al-Qaedah) ataupun pergerakan-pergerakan yang lain.

Dan sesungguhnya jikalau tidak karena harta/dana Saudi, Al-Wahhabiyyah tidak akan tersebar, dan jikalau tidak dengan sikap berpura-pura/kemunafikan Amerika, pasti ia dapat ditentang dan dihapuskan. Tetapi Amerika dan Saudi mendapat manfaat dari pemikiran pelik/jumud ini yang disandarkan secara palsu kepada Islam dan yang dinamakan al-Wahhabiyyah ini. Dan ia digunakan pada sesuatu masa untuk melancarkan serangan keganasan kepada dunia atau pada masa yang lain untuk melakukan pemerasan.

Kedua:
Para peserta simposium menegaskan bahwa sesungguhnya Al-Wahhabiyyah mempunyai sikap/pendirian yang sangat negatif terhadap wanita dan ilmu, muzik dan segala bentuk kesastraan, serta terhadap penganut agama Kristian, bahkan terhadap orang-orang dari mazhab-mazhab Islam yang lain (seperti Shi’ah, Al-Asha’irah dan lain-lain). Dan ia sesungguhnya adalah satu bentuk dakwah/seruan kepada Jahiliyyah. Dan kebanyakan kesan-kesan Wahhabi adalah dalam bentuk teroris pemikiran dan agama, menolak realiti dan intelek.

Dan oleh sebab itu, sebagian (pengkaji) menganggapnya sebagai (sebuah agama yang baru) selain dari agama Islam; ia adalah agama yang menyeru kepada terorisme/keganasan dan pembunuhan dengan menggunakan nama Allah sedangkan Allah “bebas” dari (dakwaan mereka). Dan apa yang berlaku di Iraq dan Afghanistan, bahkan di Saudi – yang merupakan penaja kepada pemikiran ini – dari pembunuhan dan keganasan dengan mudah menguatkan lagi bahwa kita sedang berdepan dengan satu gerakan dakwah/seruan yang menyeru kepada jinayah dan pembunuhan dan bukanlah dakwah/seruan kepada Islam yang bertoleransi dan sederhana (tidak ekstrim).

Ketiga:
Para ulama’ dan pakar di dalam simposium ini membuat tuntutan berkenaan kepentingan penyediaan satu strategi yang Islamic di peringkat antar bangsa serta strategi kebudayaan dan politik untuk menentang al-Wahhabiyyah. Dan sesungguhnya perlu bagi Al-Azhar Al-Syarif memainkan peranan dalam hal ini karena ia merupakan satu institusi Islam yang bersikap sederhana/tidak ekstrim sebelum ia dirusakkan oleh al-Wahhabiyyah dan golongan yang menamakan diri mereka sebagai pendakwah pembaharuan dari golongan Salafiyyin yang keras/melampau batas.

Sesungguhnya sekiranya Al-Azhar Al-Syarif kembali menjadi institusi yang menerangi dengan sikap sederhananya dan tidak melampau batas, maka ia sesungguhnya mampu dan mempunyai kekuatan untuk menolak sikap melampaui Wahhabi yang memusuhi ruh Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang bersifat sederhana/tidak melampaui batas.

tahlilan 3


Tahlilan bukanlah sebuah kewajiban, jika ditinggalkan berdosa atau bukanlah perkara yang diwajibkanNya atau ditetapkanNya atau bukanlah perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah.

Jika berkeyakinan bahwa tahlilan adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa maka keyakinan seperti itu termasuk bid’ah dholalah karena yang mengetahui atau menetapkan sesuatu perkara atau perbuatan ditinggalkan berdosa (kewajiban) atau dikerjakan / dilanggar berdosa (larangan/pengharaman) hanyalah Allah ta’ala

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,

“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu? Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)

Tahlilan adalah amal kebaikan, perkara diluar apa yang diwajibkanNya dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.

Tahlilan adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil, pembacaan surah Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dunia

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا

Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah sedekah (HR Muslim 1674)

Tahlilan hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.

Tahlilan disyiarkan oleh para Wali Songo, Wali Allah generasi ke sembilan dan kebetulan berjumlah sembilan orang. Salah seorang Wali Songo, Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati adalah Wali Allah keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Wali Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam.

Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.

Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali Songo.

Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual sang da’i yaitu Walisongo.

Kematangan sosial dan kedewasaan intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.

Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.

Mereka yang melarang tahlilan dengan cara mengutip perkataan ulama seperti

Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau berkata dalam I’anatuth Thalibin:

نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya, dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat mendukung Islam dan muslimin.” (Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i, I’anatuth Thalibin, 2/165. Mawqi’ Ya’sub.

Berikut teks lengkapnya;

وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب على هذا المنع المذكور ؟

“Dan sungguh telah aku perhatikan mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah (مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga) mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan) jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana) pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”, (semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka (pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah) permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan (pelarangan itu) ?

أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.

“Penjelasan sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya .. Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.

“Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu (keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya. Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam serta umat Islam” Kitab I’anatuth Thalibin, Al-‘Allamah Asy-Syekh Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy Asy-Syafi’i.

Apa yang mereka kutipkan sebenarnya adalah jawaban atas pertanyaan terhadap sikap pentakziyah yang menunggu disajikan makanan sehingga keluarga ahli kubur menyediakan makanan dengan terpaksa atau merasa terbebani.

Sedangkan keluarga ahli kubur yang mengadakan tahlilan atau mengundang tahlilan, biasanya pada malam harinya atau malam selanjutnya, pada umumnya mereka telah mempersiapkan dan tidak merasa terbebani karena mereka meniatkannya sebagai amal sedekah atau amal kebaikan atas nama ahli kubur.

Dapat juga kita temukan mereka melarang tahlilan dengan mengutip perkataan Imam Mazhab seperti

Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”

Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.

Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar.

Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya

Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.

Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.

Makna makruh secara bahasa adalah benci,

makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib

Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram

Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.

Begitupula mereka melarang tahlilan dengan mengutip hasil muktamar I Nahdlatul Ulama (NU) Keputusan masalah Dinniyah No. 18/13 Rabi'uts Tasaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Di Surabaya

Tentang keluarga mayit menyediakan makan kepada pentakziah

Tanya:

Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?

Jawab:

Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya makruh , apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.

Jelas dalam keputusan tersebut bahwa hukumnya makruh dengan penjelasan kemakruhan sebagaimana yang disampaikan di atas tetapi tidak menghilangkan pahala sedekahnya.

kesalahan kelompok musyabihhah

Menurut Ibnu AlJauzy didlm kitab Daf`u Syubhatu AlTasybih, kesalahan kelompok musyabihhah mujassimah wahabi salafy dlm memahami sifat khabariyah.
Seperti tentang istiwa. disebabkan karena.

1. Mereka menamakan khabar-khabar dgn khabar sifat, padahal realitanya hanyalah sebagai idhafat (penyandaran).
Secara kaidah dijelaskan bahwa tidak semua idhafah bermakna sifat.
Perhatikanlah Allah berfirman :

ونفخت فيه من روحى

“Aku meniupkan kepadanya ruhKu”

Di sini jelas bahwa ada idhafah Allah dgn ruh.
Akan tetapi tidak ada yg mengatakan bahwa Allah memiliki sifat ruh.


2. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yg diriwayatkan adalah hadits mutasyabihat, yg tidak diketahui makna dan maksudnya kecuali oleh Allah. Namun kemudian mereka menafsirkannya dgn makna yg dzhahir! Sangat mengherankan sekali, hal yg tidak diketahui kecuali oleh Allah, akan tetapi zhahir bagi mereka! Bukankah makna zhahir dari kalimat استواء (bersemayam) kecuali bermakna القعود (duduk) ?!
& kalimat النزول (turun) tidak dipahami,
kecuali bermakna الانتقال (perpindahan).


3. Mereka kemudian menetapkan pelbagai sifat bagi Allah, sedangkan sifat yg layak bagi Allah tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yg layak untuk DZat Allah, yg bersifat qath`iy.


4. Di dalam masalah istbat (mentapkan sifat), mereka tidak bisa membedakan, bahwa khabar ada yg bersifat khabar masyhur seperti:

ينزل تعالى الى سماء الدنيا

Allah turun ke langit dunia

Dan ada khabar yg tidak sahih, seperti: hadits
رأيت ربى فى أحسن صورة .

Aku melihat Tuhanku pada sebaik-baik bentuk.

Akan tetapi mereka justru menetapkan sifat bagi Allah dgn hadits masyhur dan hadits yg tidak shohih ini!


5. Mereka tidak bisa membedakan antara hadits yg marfu` (bersambungan sanadz) kepada Nabi Muhammad SAW ., & hadits yg mauquf (terputus sanad hanya sampai) kepada sahabat dan tabi`in, namun mereka menetapkan sifat dgn kedua hadits tersebut.


6. Mereka mentakwil sebagian lafaz pada tempat-tempat tertentu, seperti hadits:

ومن أتانى يمشى اتيته هرولة

Dan barangsiapa yg mendatangi Ku dgn berjalan, Aku mendatanginya dgn berlari.

Mereka mengatakan bahwa hadits ini adalah untuk menunjukkan makna Allah memberikan nikmat. Anehnya mereka tidak melakukan takwil pada tempat yg lain?!


7. Mereka memahami hadits-hadits berdasarkan pemahaman indrawi, oleh karena itu mereka berani mengatakan.
Allah turun dgn zatNya & berpindah pindah dari suatu tempat ke tempat yg lain”, kemudian mereka mengatakan “bukan sebagaimana yg difikirkan!” Mereka justru sudah duluan memikirkan & membuat bingung orang2 yg mendengar pernyataan mereka serta melumpuhkan indra dan akal mereka.

واللــــه أعلـم بالصـــــــــــــواب

rekayasa

WASPADALAH AKAN KITAB REKAYASA WAHABI.
Lagi2 kejahatan wahabi talafi memalsukan kitab.
_____________________________________________________

بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد رسول الله وعلى اله وجميع انبياءالله

KITAB REKAYASA WAHABI Berjudul.
JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT.
Bukan Kitab Buatan Imam Nawawi
Dakwah Salafy Wahaby walaupun kita sering bertanya, Kenapa Marah Di Sebut Wahaby? yang sulit di terima oleh dunia Islam, kecuali hanya sebagian kecil orang awam, sehingga menghalalkan segala cara demi sebuah faham yang mereka anggap benar, dakwahnya yang lebih pantas di sebut dengan fitnah terhadap Islam, Al-Quran, Hadits dan para Ulama Islam.
Karena setiap sisi syari’at Islam yang tidak sepaham dengan pemahaman mereka selalu ada cerita dusta dan fitnah terhadap Ulama, baik Salaf atau Khalaf, ketidak siapan mereka dalam menyikapi perbedaan atau dengan kata yang lebih jelas WAHABY / SALAFY TIDAK MAMPU MENERIMA PERBEDAAN dan tidak cukup nya pendukung dakwah mereka, hingga memaksa mereka memutarbalikkan fakta dengan cerita dusta terhadap para pakar Ulama Islam separti Imam Mazhab empat, Syaikh Abdul Qadir Al-Jiilani, Ibnu Katsir, Imam Baihaqqi, Imam Asy’ari, Imam Nawawi,Ibnu Hajar al-Ashqalani, Shalahuddin al-Ayyubi dan masih banyak lagi, semoga Allah selalu menjaga Para Ulama Islam dari bermacam fitnah Wahaby.
Adapun yang ingin kami sampaikan di sini adalah cerita dusta terhadap Imam Nawawi yang bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marri asy-Syafi’i al-Asy’ari an-Nawawi, ada dua fitnah Wahabi terhadap Imam Nawawi yang saling bertolak-belakang, yaitu tuduhan sesat dan tuduhan taubat. Dan sudah banyak yang Membongkar Kitab Rekayasa Wahabi Yang Dinisbahkan Kepada Imam Nawawi Pengarang Kitab Riyadhus Shalihin ini.
1. Tuduhan sesat yang masyhur adalah mengenai kitab adzkar, dan tuduhan yang dilakukan oleh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam kitab nya Liqa’ al-Bab al-Maftuh bahwa Imam Nawawi bukan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, tuduhan ini memang sudah lumrah, karena setiap yang tidak sama dengan mereka pasti dituduh sesat, lebih lagi karena Imam Nawawi adalah seorang Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari, fitnah ini telah dilemparkan oleh Wahabi terhadap semua Ulama Sufi dan beraqidah Asy’ari atau Maturidi, semua di cap sebagai ahlu bid’ah sesat, semoga Allah menolong semua penolong Islam.
2. Tuduhan bahwa Imam Nawawi telah bertaubat dari aqidah Asy’ari ke aqidah Salafy Wahaby, bukan Salafy murni, karena tidak ada takfiri antara Salaf dan Khalaf, fitnah ini bersumber dari sebuah rekayasa pembenci Imam Nawawi lewat lembaran2 kitab rekayasa yang dinisbahkan kepada Imam Nawawi yang katanya “beliau sempat bertaubat dari aqidah Asy’ari dan kembali ke aqidah Salaf kira-kira dua bulan sebelum beliau wafat, dan sempat menulis kitab tentang aqidah Ulama Salaf serta mencela Asya’irah.
Akan tetapi kitabnya hilang dan yang tersisa hanya satu Juzuk/Jilid yang membahas tentang.
KALAMULLAH HURUF dan SUARA.
Sehingga jilid itu disebut
جزء الحروف والأصوات
JUZK HURUF WAL ASHWAT- atau -JUZK FIL HURUF WAL ASHWAT.
atau
جزء فيه ذكر اعتقاد السلف في الحروف و الأصوات

JUZK FI HI DZIKRU I’TIQAD SALAF FIL HURUF WAL ASHWAT.
Dan kitab rekayasa itu di tahqik oleh pentahkiq Wahabi yaitu Abu Fadhl Ahmad Ibnu Ali ad-Dimyati, agar penyamaran itu sempurna dan terkesan benar adanya, serta menumbuhkan keragu-raguan pada pengikut Ahlu Sunnah Waljama’ah yang beraqidah Asy’ari,

Istawa bukan bersemayam menurut Imam abu Hanifah


Kesalah-pahaman Salafi Wahabi dalam memahami nash-nash mutasyabihat , membuat mereka kesusahan memahami pernyataan-pernyataan para ulama salaf , dan akhirnya mereka salah memahami hakikat Manhaj Salaf , sengaja atau tidak, mereka telah menisbahkan pemikiran mereka kepada Manhaj Salaf , sementara Manhaj mereka sangat berbeda jauh dari Manhaj Salaf nya ulama Salaf , sebagai bukti mari lihat bagaimana pemahaman Salafi Wahabi tentang “Istawa” mereka beriman bahwa “Allah bersemayam di atas ‘Arasy” karena memahaminya dari kata “Istawa” dan mereka tidak peduli telah menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya, karena menurut mereka persamaan seperti itu bukan masalah selamatidak sama kaifiyat nya, dan menurut mereka begitulah para ulama Salaf beriman, padahal tidak ada satupun ulama Salaf yang berkata “Istawa”yakni “bersemayam” . Manhaj ulama Salaf terlepas dari anggapan Salafi Wahabi, sebagai bukti mari kita lihat bagaimana pemahaman Imam Abu Hanifah tentang “Istawa” .
Berkata Imam Abu Hanifah –rahimahullah-:
نُقِرُّ بأنَّ اللهَ تعالى على العرشِ استوى من غيرِ أن يكونَ له حاجةٌ إليه واستقرار عليه وهو الحافظُ للعرش وغيرِ العرش منْ غيرِ احتياج، فلو كان محتاجا لما قَدَرَ على إيجادِ العالم وتدبيرِه كالمخلوق ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلقِ العرشِ أين كان الله تعالى الله عن ذلك علوًا كبير
“Kita akui bahwa Allah “ber-Istiwa’ “ atas Arasy tanpa berhajat Allah kepada ‘Arasy, dan tanpa berada di atas ‘Arasy, dan Dia lah yang menjaga Arasy dan lainnya dengan tanpa berhajat, seandainya Allah berhajat, sungguh Ia tidak kuasa menjadikan alam dan mengaturnya seperti makhluk, dan seandainya Allah berhajat kepada duduk dan menetap (berada di satu tempat), maka di mana Allah sebelum menciptakan ‘Arasy,maha suci Allah dari demikian" .[al-Jauharah al-Munifahfi Syarhi Washiyah – halaman 10].
Perhatikan scan kitab di bawah ini
نُقِرُّ بأنَّ اللهَ تعالى على العرشِ استوى
“Kita akui bahwa Allah “ber-Istiwa’ “ atas Arasy”
Maksudnya : Tidak ada keraguan bahwa Allah Istiwa’ atas ‘Arasy , tapi jangan terburu-buru mengambil kesimpulan bahwa itulah dalil Allah bersemayam di atas ‘Arasy , karena justru Imam Abu Hanifah baru akan menjelaskan pemahaman kata “Istawa” setelah itu, Imam Abu Hanifah hanya memakai kata"Istawa" sebagaimanayang tersebut dalam Al-Quran, inilah yang biasa disebut “memberlakukan sebagaimana datangnya” tidak memakai kata lain untuk makna dari kata “Istawa” .
Lalu Imam Abu Hanifahmenjelaskan maksud “Istawa”
من غيرِ أن يكونَ له حاجةٌ إليه واستقرار عليه
“tanpa berhajat Allah kepada ‘Arasy, dan tanpa berada di atas ‘Arasy”
Maksudnya : Istawa Allah yang tersebut dalam Al-Quran bukan dalam artian Allah berhajat kepada ‘Arasy , dan bukan dalam artian Allah berada /bersemayam di atas ‘Arasy , Imam Abu Hanifah di sini tidak memaknai “Istawa” dengan makna lughat, karena dari makna lughat akandi pahami bahwa Allah berhajat dan berada di atas ‘Arasy , tapi Imam Abu Hanifah jelas berkata bukan demikian, memaknai “Istawa” dengan makna bahasa berarti telah menuduh Allah berhajat kepada ‘Arasy, karena tanpa ‘Arasy, Allah tidak bisabersifat dengan “Bersemayam” , dan juga memaknai “Istawa” dengan “bersemayam” berarti telah menetapkan Allah di suatu tempat atau di arah tertentu, sementara Imam Abu Hanifah telah berkata bukan demikian.
وهو الحافظُ للعرش وغيرِ العرش منْ غيرِ احتياج
“dan Dia lah yang menjaga Arasy dan lainnya dengan tanpa berhajat”
Maksudnya : Allah yangmenjaga ‘Arasy, bukan‘Arasy yang menjaga Allah, Allah tidak butuh‘Arasy, Allah telah bersifat dengan sifat maha tinggi dan maha sempurna sebelum adanya ‘Arasy, adanya‘Arasy tidak berpengaruh apapun terhadap dzat Allah dan sifat-Nya, ‘Arasy tidak dapat merubah Allah dan sifat-Nya darikeazalian-Nya.
كان محتاجا لما قَدَرَ على إيجادِ العالم وتدبيرِه كالمخلوق
“seandainya Allah berhajat, sungguh Ia tidak kuasa menjadikan alam dan mengaturnya seperti makhluk”
Maksudnya : Seandainya Allah berhajat kepada sesuatu, maka tentunya Allah tidak bisa menciptakan dan mengatur alam yakni semua makhluk-Nya, sebagaimana makhluk berhajat kepada pencipta, maka makhluk tidak dapat menciptakan apa pun, begitu juga dengan ‘Arasy, seandainya Allah berhajat kepada ‘Arasy, tentu Allah tidak bisa menciptakan‘Arasy, seandainya ‘Arasy menjaga Allah tentu Allah tidak menjaganya, padahal Allah lah yang menciptakan dan menjaga ‘Arasy.
ولو كان محتاجا إلى الجلوس والقرار فقبل خلقِ العرشِ أين كان الله
“dan seandainya Allah berhajat kepada duduk dan menetap (berada di satu tempat), maka di mana Allah sebelum menciptakan ‘Arasy”

Maksudnya : Seandainya Allah berhajat kepada sifat duduk atau menetap atau berada /bersemayam di satu tempat atau arah, maka di mana tempat atau arah tersebut sebulum ada tempat dan arah ? begitu juga dengan ‘Arasy, seandainya Allah berhajat kepada sifat bersemayam di atas ‘Arasy, maka di mana Allah bersemayam sebelum diciptakan ‘Arasy , maka dapat dipastikan bahwa Allahtidak bersemayam atau berada di suatu tempat atau arah sekalipun di atas ‘Arasy, Allah sebelum ada ‘Arasy tidak bersifat dengan sifat tersebut, beginilah cara ulama Salaf menafikanarah dan tempat pada Allah .
تعالى الله عن ذلك علوًا كبير
“maha suci Allah dari demikian”
Maksudnya : Allah tidakbersifat dengan sifat demikian yakni berhajat kepada sesuatu atau berada atau bersemayam di satu tempat atau arah , dan kepada sesuatu pun yang selain keazalian-Nya, karena Allah telah bersifat dengan segala sifat kesempurnaan-Nya pada Azali, tidak ada pertambahan atau perubahan setelah nya.
Allah ada tanpa arahdan tanpa tempat
Wallahua’lam.