http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Minggu, 26 Oktober 2014

hewan sembelihan pada aqiqah


Dalam kitab al-Muhazzab, Syeikh al-Syairazi menjelaskan bahwa aqiqah dengan menyembelih hewan untuk menyambut kelahiran anak, hukumnya adalah sunnah berdasarkan hadits Nabi SAW dari Buraidah berbunyi :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عن الحسن والحسين عليهما السلام
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW telah melakukan aqiqah untuk Hasan a.s. dan Husein a.s. (H.R. al-Nisa-i)
dan perintah aqiqah itu tidak wajib karena bersandarkan kepada riwayat Abdurrahman bin Abi Sa’id dari bapaknya berkata, sesungguhnya Nabi SAW ditanyai mengenai aqiqah, maka beliau bersabda :
ومن ولد له ولد فاحب أن ينسك له فليفعل
Artinya : Barangsiapa yang mempunyai anak, maka ia menyukai melakukan ibadah untuk anaknya, maka lakukanlah. (H.R. Abu Daud dan Baihaqi)
Perintah melakukan melakukan aqiqah dalam hadits di atas disangkutkan kepada menyukai/mencintai, karena itu menunjukkan kepada tidak wajib. Alasan lain yang menunjukkan kepada tidak wajib adalah karena aqiqah merupakan menumpah darah yang bukan karena jinayat dan nazar, maka ia sama halnya dengan hukum qurban.
Adapun yang sunnah disembelih adalah dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan seekor kambing untuk anak perempuan. Sunnah ini berdasarkan hadits Nabi SAW riwayat Ummu Kurz berbunyi :
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عن العقيقة فقال للغلام شاتان مكافئتان وعن الجارية شاة
Artinya : Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang aqiqah, beliau sabda : untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sama keduanya dan untuk anak perempuan seekor kambing.(H.R Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah.)
Alasan lain kenapa anak laki-laki lebih banyak adalah karena aqiqah disyari’atkan untuk menunjukkan kegembiraan lahir anak, sedangkan kegembiraan dengan muncul anak laki-laki lebih besar. Karena itu, penyembelihan untuk anak laki-laki lebih patut di lebih banyak. Adapun apabila disembelih untuk anak laki hanya satu ekor kambing, maka itu diperbolehkan juga, karena bersandar kepada hadits Nabi SAW riwayat dari Ibnu Abbas berkata :
عق رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الحسن والحسين عليهما السلام كبشا كبشا
Artinya : Rasulullah SAW pernah melakukan aqiqah untuk Hasan .a.s dan Husein a.s. masing-masing satu ekor kambing.(H.R. Abu Daud)
Demikian penjelasan Syeikh al-Syairazi dalam kitab al-Muhazzab.[1]
Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab menjelaskan bahwa hadits Buraidah di atas diriwayat oleh al-Nisa-i dengan isnad shahih. Adapun hadits kedua, yaitu hadits riwayat Abdurrahman bin Abi Sa’id dari bapaknya telah diriwayat oleh Abu Daud dan Baihaqi dengan dua jalur sanad. Kedua jalur tersebut dha’if, namun Baihaqi mengatakan hadits ini kuat karena datang dari dua jalur. Adapun hadits Ummu Kurz telah diriwayat oleh Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah. Turmidzi mengatakan, hadits ini shahih. Sedangkan hadits Ibnu Abbas di atas telah diriwayat oleh Abu Daud dengan isnad shahih.[2]
Menurut mazhab Syafi’i dibolehkan juga aqiqah dengan unta dan lembu/kerbau sebagaimana halnya aqiqah dengan kambing. Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
مَذْهَبُنَا جَوَازُ الْعَقِيقَةِ بِمَا تَجُوزُ بِهِ الْأُضْحِيَّةُ مِنْ الابل والبقر والغنم وبه قال أنس ابن مَالِكٍ وَمَالِكُ بْنُ أَنَسٍ
“Mazhab kita (mazhab Syafi’i) boleh aqiqah dengan hewan-hewan yang dibolehkan pada qurban, yakni unta, lembu dan kambing. Pendapat ini juga merupakan pendapat Anas bin Malik dan Malik bin Anas.”[3]
Dalam mengomentari perkataan pengarang al-Minhaj, Qalyubi mengatakan :
قَوْلُهُ: (بِشَاتَيْنِ) وَأَفْضَلُ مِنْهُمَا ثَلَاثٌ وَمَا زَادَ إلَى سَبْعٍ ثُمَّ بَعِيرٌ ثُمَّ بَقَرَةٌ وَكَالشَّاتَيْنِ سَبُعَانِ مِنْ نَحْوِ بَدَنَةِ فَأَكْثَرَ، وَتَجُوزُ مُشَارَكَةُ جَمَاعَةٍ سَبْعَةٍ فَأَقَلَّ فِي بَدَنَةٍ أَوْ بَقَرَةٍ سَوَاءٌ كَانَ كُلُّهُمْ عَنْ عَقِيقَةٍ أَوْ بَعْضُهُمْ عَنْ أُضْحِيَّةٍ أَوْ لَا، وَلَا كَمَا مَرَّ
“Perkataan pengarang : (dengan dua ekor kambing), yang lebih utama dari itu adalah tiga ekor atau lebih dari itu sampai tujuh ekor, kemudian unta, kemudian lembu. Sama dengan dua ekor kambing sepertujuh dari seumpama seekor unta atau lebih. Dibolehkan berkongsi jama’ah tujuh orang atau kurang pada seekor unta atau lembu, baik semuanya untuk aqiqah atau sebagiannya untuk qurban ataupun tidak  semuanya untuk aqiqah dan tidak sebagiannya untuk qurban sebagaimana yang telah lalu.”[4]
                     
              Berdasarkan dari dhahir nash-nash kitab fiqh Syafi’i di atas, dapat dipahami bahwa kebolehan aqiqah dengan unta dan lembu ini, karena diqiyaskan kepada hewan-hewan yang disembelih pada qurban, karena sebagaimana dimaklumi bahwa hukum aqiqah banyak disamakan dengan dengan qurban pada syara’.



[1] Al-Syairazi, al-Muhazzab, (Dicetak dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab), Maktabah al-Irsyad, Jeddah,  Juz. VIII, Hal. 406
[2] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah,  Juz. VIII, Hal. 407
[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah,  Juz. VIII, Hal. 431
[4] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 255 
kitab kuneng blogspot.com

penafsiran wajhullah pada firman allah Q.S AL Baqarah 115

           
Firman Allah Q.S. al-Baqarah : 115 berbunyi :فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِArtinya : Kemana saja kamu menghadap, maka di sana wajhullah (Q.S. al-Baqarah : 115)Golongan Salek Buta (Golongan sesat di Aceh, yang menyatakan tuhan menyatu dengan makhluq) menafsirkan ayat ini dengan arti, Allah ada di mana-mana, kemana saja di hadap disitu ada Allah. Singkat kata, mereka mengatakan Allah ada pada setiap makhluk (i’tiqad hulul dan ittihad). Wajhullah pada ayat di atas diartikan dengan makna zat Allah. Disamping itu, kalangan mujassamah (yang beri’tiqad Allah berjisim/berjasad) menafsirkan wajhullah pada ayat di atas bermakna wajah Allah. Mereka mengatakan Allah mempunyai wajah sebagaimana mereka mengatakan bahwa Allah mempunyai jari-jari, tangan dan sebagainya.Penafsiran yang haq. Sekarang mari kita berandai-andai dulu, seandainya wajhullah pada ayat di atas, bermakna wajah, maka ini sungguh bertentangan Q.S. al-Syuraa : 11, berbunyi :لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌArtinya : Tidak ada Allah menyerupai dengan sesuatupun (Q.S. al-Syuraa : 11)Dalam ayat ini dengan jelas disebutkan Allah Ta’ala itu tidak menyerupai dengan makhluk. Karena itu, wahullah pada Q.S. al-Baqarah : 115 tidak boleh ditafsir dengan makna wajah Allah, karena wajah hanya terdapat makhluk yang bertubuh dan berjisim. Kalau ditafsir juga seperti itu, maka sungguh kita telah menetapkan pada Allah sesuatu yang menyerupai dengan makhluk. Lalu bagaimana seandainya ditafsir wajhullah dengan zat Allah ? Jawab kita, ini mengarah kepada penetapan bahwa Allah mempunyai arah dan tempat. Karena kalau ditafsir sedemikian, maka makna ayat menjadi « Kemana saja kamu menghadap, di situ ada zat Allah ». Padahal telah ijmak ulama salaf dan khalaf bahwa Allah tidak ada pada tempat dan arah sesuatu dan penafsiran seperti ini juga sama halnya kita telah menetapkan pada Allah sesuatu yang menyerupai dengan makhluk. Lalu bagaimana penafsiran Q.S. al-Baqarah : 115 yang haq ?Jawab kita : Q.S. al-Baqarah : 115 ini membicarakan masalah qiblat musafir yang melaksanakan shalat sunnat di atas kenderaan sebagaimana terlihat pada hadits riwayat Muslim di bawah ini :عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى وَهُوَ مُقْبِلٌ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ كَانَ وَجْهُهُ - قَالَ - وَفِيهِ نَزَلَتْ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِArtinya : Dari Ibnu Umar, beliau berkata : « Rasulullah SAW melaksanakan shalat di atas kenderaan, beliau menghadap kemana saja arah perjalanannya yakni pada ketika berangkat dari Makkah menuju Madinah. Pada ketika itu, diturunkanlah ayat : « Kemana saja kamu menghadap, maka di sana wajhullah » (H.R. Muslim) 1 Berdasarkan hadits shahih ini, maka makna « wajhullah » yang lebih sesuai pada ayat di atas adalah bermakna qiblat atau arah ayang diperintah menghadap dalam shalat. Tafsir « wahjullah » dengan qiblat juga merupakan penafsiran yang datang dari Mujahid, salah seorang ahli tafsir dari kalangan Tabi’in.2 Imam al-Razi, ahli tafsir dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah menjelaskan dalam tafsir beliau, Mafatih al-Ghaib,3 bahwa pengertian « wajhullah » pada ayat di atas mempunyai kemungkinan makna sebagai berikut : a). Bermakna arah yang dihadap pada waktu shalat, yakni qiblat. Diidhafah wahj kepada Allah adalah seperti idhafah bait kepada Allah (baitullah) dan naaqah (unta) kepada Allah (naaqatullah). Idhafah seperti ini, maksudnya adalah idhafaf bil-khlaq wal-ijaad ‘ala sabilil tasyrif (menyandarkan ciptaannya kepada Allah untuk memuliakannya). b). Bermakna niat dan qashad. Ayat lain yang sama dengan pengertian ini adalah firman Allah, Q.S. al-An’am : 79, berbunyi :إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا Artinya : Sesungguhnya aku hadapkan niatku dengan mengikuti agama yang benar kepada Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi (Q.S. al-An’am : 79)c). Bermakna keridhaan Allah. Ayat lain yang sama dengan pengertian ini adalah firman Allah Q.S. al-Insan : 9, berbunyi :إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ الله Artinya : Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu karena mencari keridhaan Allah. (Q.S. al-Insan : 9)d). Bermakna karunia Allah. Ayat lain yang sama dengan pengertian ini adalah firman Allahكُلُّ شَىْء هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُArtinya : Setiap sesuatu binasa kecuali kurnia Allah (Q.S. al-Qashas : 88)Berdasarkan keterangan ahli tafsir diatas, tidaklah tepat pengertian « wajhullah » pada ayat Q.S. al-Baqarah : 115 di atas ditafsirkan bermakna zat Allah, lebih-lebih lagi kalau ditafsirkan bahwa pada benda yang dihadap itu menyatu dengan zat Allah. na’uzubillah min dzalik. Demikian juga, kalau ayat tersebut dimaknai dengan makna wajah Allah, karena hal itu sama halnya dengan menetapkan suatu yang berjisim pada Allah Ta’ala.--------------------
[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 149, No. hadits : 1646
[2] Al-Thabary, Tafsir al-Thabary, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 536
[3] Imam al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 307-308
sumber kitab kuneng