Apa arti tawasul dengan walinya Allah?
Tawasul dengan walinya Allah SWT artinya menjadikan para kekasih
Allah sebagai perantara menuju kepada Allah SWT.dalam mencapai hajat,
karena kedudukan dan kehormatan di sisi Allah yang mereka miliki,
disertai keyakinan bahwa mereka adalah hamba dan makhluk Allah SWT.yang
dijadikan oleh-Nya sebagai lambing kebaikan, barokah, dan pembuka kunci
rahmat. Pada hakekatnya, orang yang bertawasul itu tidak meminta
hajatnya dikabulkan kecuali kepada Allah SWT dan tetap berkeyakinan
bahwa Allah-lah yang maha memberi dan Maha Menolak. Bukan yang lain-Nya.
Ia menuju kepada Allah SWT.dan orang-orang yang dicintai Allah SWT,
karana mereka lebih dekat kepada-Nya, dan Dia menerima doa mereka dan
syafaatnya karena kecintaan-Nya. Allah SWT,mencintai orang-orang yang
baik dan orang-orang yang bertaqwa. Dalam hadits qudsi disebutkan:
ولا يزال عبدي يتقرّب إليّ بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذى
سمع به وبصره الذى يبصر به ويده التى يبطش بها ورجله الذى يمشى بها ولئن
سألني لأعطيته ولئن استعاذني لأعيذنه
Hambaku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan
ibadah-ibadah sunah, sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku
mencintainya, maka Aku pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan
penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya, dan penglihatanny
yang ia melihat dengannya, kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila
ia memohon kepada-Ku, maka aku berinya, dan jia meminta perlindungan,
maka Aku berinya perlindungan.” (HR. Imam al-Bukhori).
Apa hukum tawasul dengan orang-orang yang dikasihi oleh Allah?
Tawasul dengan orang-orang yang dicintai Allah, seperti nabi-nabi dan
orang-orang yang shalih itu boleh, berdasarkan ijma’ ulama’ kaum
muslimin. Bahkan ia merupakan cara orang-orang mukmin yang diridloi.
Tawasul itu telah dikenal sejak zaman dahulu dan sekarang.
Bagaimana halnya dengan orang yang beranggapan bahwa tawasul itu
adalah syirik dan kufur, serta pelakunya adalah musyrik dan kafir?
Tidak dapat diteladani orang yang nyleneh dan berpisah dari jama’ah
yang beranggapan bahwa tawasul adalah perbuatan syirik atau haram, lalu
menghukumi musyrik orang-orang yang bertawasul. Ini jelas tidak benar
dan batil, sebab anggapan seperti ini akan menimbulkan penilaian, bahwa
sebagian umat Islam telah membuat kesepakatan (ijma’) atas perkara yang
haram atau kemusyrikan. Hal demikian adalah mustahil, karena umat
Muhammad ini telah mendapat jaminan tidak bakal membuat kesepakatan atas
perbuatan sesat, berdasarkan hadits-hadits Rasulullah SAW.seperti
hadits:
سألت ربي أن لايجمع أمتي على ضلالة فأعطانيها
“Saya memohon kapada Tuhanku Allah, untuk tidak menghimpunkan umatku
atas perkara sesat, dan Dia mengabulkan permohonanku itu.” (HR. Ahmad
dan at-Thabrani).
لايجمع الله أمتي على ضلالة أبدا
“Allah tidak menghimpunkan umatku untuk bersepakat atas perkara sesat selama-lamanya.” (HR.Imam al-Hakim).
ما رآه المسلمون حسنا فهوعهند الله حسن
“Apa yang diyakini baik oleh orang-orang islam, maka menurut Allah juga baik.”
Apakah ada dalil al-qur’an tentang tawasul?
Ya, ada. Adapun ayat al-Qur’an yang menunjukkan dibolehkan tawasul adalah ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (QS. Al-Maidah: 35)
Ini adalah permintaan dari Allah, agar kita mencari wasilah
(perantara), yaitu segala sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah
sebagai sebab untuk mendekatkan kepada-Nya dan sampai pada terpenuhinya
hajat dari-Nya.
Apakah tawasul itu terbatas pada amal perbuatan saja, tidak pada benda (Dzat)?
Tidak, karena ayat Al-Qur’an tersebut umum (‘amm) meliputi amal-amal
perbuatan baik dan orang-orang shalih, yakni dzat-dzat yang mulia,
seperti Nabi SAW.dan wali-wali Allah yang bertaqwa.
Adapun orang yang berpendapat boleh tawasul dengan amal perbuatan
saja, sedangkan tawasul dengan dzat-dzat tidak boleh, dan ia membatasi
maksud ayat pada pengertian pertama (tawasul dengan amal perbuatan),
maka pendapat ini tidak berdsar, sebab ayat tersebut adalah mutlak.
Bahkan membawa ayat kepada pengertian kedua (tawasul dengan dzat) itu
lebih mendekati, sebab Allah dalam ayat ini memerintahkan taqwa dan
mencari wasilah, sedang arti taqwa adalah mengerjakan perintah dan
menjauhi larangan. Apabila kata “Ibtighoul wasilah” (mencari wasilah)
kita artikan dengan amal-amal sholeh, berarti perintah dalam mencari
wasilah hanya sekedar pengulangan dan pengukuhan. Tetapi jika lafad
“al-Wasilah” ditafsirkan dzat-dzat yang ulia, maka ia berarti yang asal,
dan akna inilah yang lebih diutamakan dan lebih didahulukan. Disamping
itu apabila tawasul itu boleh dengan amal-amal perbuatan baik, padahal
amal-amal perbuatan merupakan sifat yang diciptakan, maka dzat-dzat
yang diridloi oleh Allahlebih berhak dibolehkan, mengingat ketinggian
tingkat ketaatan, keyakinan dan ma’rifat dzat-dzat itu kepada Allah SWT,
allah SWT.berfirman:
(QS. An-Nisa’ : 64).
Ayat ini dengan jelas menerangkan dijadikannya RAsulullah sebagai
wasilah kepada Allah SWT. Firman Allah “Jaa-uuka” (mereka dating
kepadamu) dan “Wastaghfaro lahumurrosuulu” (dan Rasul memohokan ampun
untuk mereka). Andaikata tidak demikian, maka apa kalimat “Jaa-uuka”.
Apakah tawasul itu dibolehkan secara umum, baik dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati?
Ya, dibolehkan secara umum, karena ayat tersebut juga umum (’amm), ketika beliau masih hidup di dunia dan sesudah beliau wafat.
Telah dipastikan, bahwa para nabi dan para wali itu hidup dalam kubur
mereka, dan arwah mereka di sisi Allah SWT. Barangsiapa tawasul dengan
mereka dan menghadap kepada mereka, maka mereka menghadap kepada Allah
dalam rangka tercapainya permintaannya. Dengan demikian, maka yang
dimintai adalah Allah. Dia-lah yang berbuat dan yang mencipta, bukan
lain-Nya. Sesunggguhnya kami golongan ahlussunnah wal jama’ah tidak
meyakini adanya kekuasaan, penciptaan, manfaat, dan mudhorot kecuali
milik Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya. Para Nabi dan para
wali tidak memiliki kekuasaan apapun. Mereka hanya diambil berkah dan
dimintai bantuan karena kedudukan mereka, sebab mereka adalah
orang-orang yang dicintai Allah, karena merekalah Allah memberi rahmat
kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara mereka
yang masih hidup atau mereka yang sudah meninggal dunia. Yang kuasa
berbuat dalam dua kondisi tersebut hakekatnya adalah Allah, bukan
mereaka yang hidup atau yang mati.
Adapun orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang telah
meninggal, sepertinya mereka itu berkeyakinan bahwa orang-orang yang
masih hidup memiliki kemampuan memberi pengaruh kepada orang lain
sedangkan orang yang telah meninggal tidak. Keyakinan seperti ini batil,
sebab Allah-lah pencipta segala sesuatu.
Apa tawasul dengan orang-orang yang telah meninggal itu diperbolehkan?
Dalilnya sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan
ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa’ :64).
Ayat di atas adalah umum (’amm) mencakup pengertian ketika beliau
masih hidup dan ketika sesudah wafat dan berpindahnya ke alam barzakh.
Imam ibnu Al-Qoyyim dalam kitab Zadul ma’ad menyebutkan:
عن أبي سعيد الخضريّ قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم ما خرج رجل
من بيته إلى الصلاة فقال اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ
ممساي هذا إليك فإني لم أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت
اتّقاء سخطك وابتغاء مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي
ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب إلاّ أنت إلاّ وكّل الله به سبعين ألف ملك
يستغفرون له وأقبل الله عليه بوجهه حتّى يقضي صلاته.
“Dari Abu Sa’id al-Khudry, ia berkata, Rasulullah SAW.bersabda: “seseorang dari rumahnya hendak sholat dan membaca do’a:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين عليك وبحقّ ممساي هذا إليك فإني لم
أخرج بطرا ولا أشرا ولا رياءا ولا سمعة وإنما خرجت اتّقاء سخطك وابتغاء
مرضاتك وأسألك أن تنقذني من النّار وأن تغفر لي ذنوبي فإنه لايغفر الذنوب
إلاّ أنت
Kecuali Allah menugaskan 70.000 malaikat agar memohokan ampun untk
oran tersebut, dan Allah menatap orang itu hingga selesai sholat”. (HR.
Ibnu Majjah).
Dari Imam al-Baihaqi, Ibnu As-Sunni dan al-Hafidz Abu Nu’aim
meriwayatkan bahwa do’a Rasulullah ketika hendak keluar menunaikan
shalat adalah:
اللّهم إنّي أسألك بحقّ السائلين….إلخ
Para ulama; berkata, “ini adalah tawasul yang jelas dengan semua
hamba beriman yang hidup atau yang telah mati. Rasulullah mengajarkan
kepada sahabat dan memerintahkan mebaca do’a ini. Dansemua orang salaf
dan sekarang selalu berdo’a dengan do’a ini ketika hendak pegi sholat.”
Abu Nu’aimah dalam kitab al-Ma’rifah, at-Tabrani dan Ibnu Majjah mentakhrij hadits:
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال لمّا ماتت فاطمة بنت أسد أم علي بن ابي
طالب رضي الله عنهما -وذكر الحديث- وفيه: أنه صلى الله عليه وسلم اضطجع
في قبرها وقال: الله الذى يحي ويميت وهو حيّ لايموت اغفر لأمّي فاطمة بنت
أسد ولقنها حجتها ووسّع مدخلها بحقّ نبيّك والأنبياء والمرسلين قبلي فإنك
أرحم الراحمين
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata, “ketika Fatimah binti Asad ibunda
Ali bin Abi Thalib ra meninggal, maka sesungguhnya Nabi SAW berbaring
diatas kuburannya dan bersabda:
“Allah adalah Dzat yang Menghidupkan dan mematikan. Dia adalah Maha
Hidup, tidak mati. Ampunilah ibuku Fatimah binti Asad, ajarilah hujjah
(jawaban) pertanyaan kubur dan lapangkanlah kuburannya dengan hak
Nabi-Mu dan nabi-nabi serta para rasul sebelumku, sesungguhnya Engkau
Maha Penyayang.”
Maka hendaklah diperhatikan sabda beliau yang berbunyi:
بحقّ الأنبياء قبلي
“Dengan hak para nabi sebelumku”.
Jika tawasul dengan orang-orang yang telah mati itu boleh, mengapa
kholifah Umar din al-Khottob tawasul dengan al-Abbas, tidak dengan Nabi
SAW?
Para ulama’ telah menjelaskan hal ini juga, mereka berkata:
“Adapun tawasul Umar bin al-Khottob dengan al-Abbas ra bukanlah dalil
larangan tawasul dengan orang yang telah meninggal dunia. Tawasul Umar
bin al-Khottob dengan al-Abbas tidak dengan Nabi SAW itu untuk
menjelaskan kepada orang-orang bahwa tawasul dengan selain itu boleh,
tidak berdosa. Tentang mengapa dengan al-Abbas bukan dengan
sahabat-sahabat lain, adalah untuk memperlihatkan kemuliaan ahli bait
Rasulullah SAW.
Apa dalilnya?
Dalilnya adalah perbuatan para sahabat. Mereka selalu dan terbiasa bertawasul dengan rasulullah SAW setelah beliau wafat.
Seperti yang diriwayatkan Imam al-Baihaqi dan Ibnu abi Syaibah dengan sanad yang shohih:
“Sesungguhnya orang-orang pada masa kholifah Umaar banal-Khottob ra
tertimpa paceklik karena kekurangan hujan. Kemudian Bilal bin al-Harits
ra dating ke kuburan Rasulullah SAW dan berkata: “Ya rasulullah,
mintakanlah hujjah untuk umatmu karena mereka telah binasa.” Kemudian
ketika Bilal tidur didatangi oleh Rasulullah SAW dan berkata: datanglah
kepada Umar dan sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan kepada
mereka, bahwa mereka akan dituruni hujan. Bilal lalu dating kepada
kholifah Umara dan menyampaikan berita tersebut. Umar menangis dan
orang-orang dituruni hujan.”
Di mana letak penggunaan dalil hadits tersebut?Letak penggunaan dalil
dr hadits tersebut adalah perbuatan Bilal bin Al-Harits, seorang
sahabat Nabi SAW yang tidak diprotes oleh kholifah Umar maupun
sahabat-sahabat Nabi lainnya. Imam ad-Darimi juga mentakhrij sebuah
hadits:
إن أهل المدينة قحطوا قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة رضي الله عنها فقالت
انظروا إلى قبر النبيّ صلى الله عليه وسلّم فاجعلوا منه كوى إلى السماء حتى
يكون بيبه وبين السماء سقف ففعلوا فمطروا مطرا شديدا حتى نبت العشب وسمنت
الإبل حتي تفتقن فيسمّى عام الفتقة
“Sesungguhnya penduduk Madinah mengalami paceklik yang amat parah,
karena langka hujan. Mereka mengadu kepada Aisyah ra dan ia berkata:
“lihatlah kamu semua ke kuburan Nabi SAW lalu buatlah lubang terbuka
yang mengarah ke arah langit, sehingga antara kuburan beliau dan langit
tidak ada atap yang menghalanginya. Meeka melaksanakan perintah Aisyah,
kemudian mereka dituruni hujan yang sangat deras, hingga rumput-rumput
tumbuh dan unta menjadi gemuk.”
Ringkasnya, tawasul itu dibolehkan, baik dengan amal perbuatan yang
baik maupun dengan hamba-hamba Allah yang soleh, baik yang masih hidup
atau yang sudah meninggal dunia. Bahkan tawasul itu telah berlaku
sebelum Nabi Muhammad diciptakan.
Apa dalil bahwa tawasul terjadi sebelum Nabi Muhammad SAW diciptakan?
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khottob:
“Ketika Nabi Adam terpeleset melakukan kesalahan, maka berkata,
“Hai Tuhanku, aku memohon kepada-Mu dengan haq Muhammad, Engkau pasti mengampuni kesalahanku.”
Allah berfirman: “Bagaimana kamu mengetahui Muhammad, padahal belum Aku ciptakan?”
Nabi Adam berkata: “Hai Tuhanku, karena Engkau ketika menciptakanku
dengan tangan kekuasaan-MU, aku mengangkat kepalaku kemudian aku melihat
ke atas tiang-tiang arsy tertulis La ilaaha illa Allah. Kemudian aku
mengerti, sesungguhnya Engkau tidak menyandarkan ke nama-MU, kecuali
makhluk yang paling Engkau cintai.”
Kemudian Allah berfirman: “Benar engkau hai adam. Muhammad adalah
makhluk yang paing Aku cintai. Apabila kamu memohon kepada-Ku dengan hak
Muhammad, maka Aku mengampunimu, dan andaikata tidak karena Muhammad
maka Aku tidak menciptakanmu.” (HR. al-Hakim, at-Thobroni dan
al-Baihaqi).
Nabi Adam as adalah orang yang mula-mula tawasul dengan Nabi Muhammad SAW.
Imam Malik telah memberi anjuran tawasul kepada Khalifah al-Mansur,
yaitu ketika ia ditanya oleh kholifah yang sedang berada di masjid
Nabawi:
Saya sebaiknya menghadap kiblat dan berdo’a atau menghadap Nabi SAW?”
Imam Malik berkata kepada kholifah, “Mengapa engkau memalingkan
wajahmu dari beliau, padahal beliau adalah wasilahmu dan wasilah bapakku
Nabi Adam as.kepada Allah SWT. Menghadaplah kepada beliau dan mohonlah
pertolongan dengannya, Allah akan memberinya pertolongan dalam apa
yang engkau minta.”
Allah befirman:
“Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun
untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisa’ :64).
Keterangan ini disebutkan oleh al-Qodli ‘Iyadl dalam kitab as-Syifa’.
Bagaimana cara tawasul?
Para ulama telah menerangkan, bahwa tawasul dengan dzat-dzat yang
mulia, seperti Nabi SAW, para Nabi dan hamba-hamba Allah itu ada tiga
macam, yaitu:
* Memohon (berdoa) kepada Allah SWT.dengan meminta bantuan mereka. Contoh:
اللهم إني أسألك بنبيك محمد أو بحقه عليك أو أتوجّه به إليك في كذا….
“Ya Allah, saya memohon kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad atau
dengan hak beliau atas Kamu atau supaya saya menghadap kepada-Mu dengan
Nabi SAW untuk…”
* Meminta kepada orang yang dijadikan wasilah agar ia memohon kepada Allah untuknya agar terpenuhi hajat-hajatnya seperti:
يا رسول الله، ادع الله تعالى أن يستقينا أو…
“Ya Rasulullah, mohonkanlah kepada Allah SWT agar Dia menurunkan hujan atau…”
* Meminta sesuatu yang dibutuhkan kepada orang yang dijadikan
wasilah, dan meyakininya hanya sebagai sebab Allah memenuhi
permintaannya karena pertolongan orang yng dijadikan wasilah dank arena
doanya pula. Cara ketiga ini sebenarnya sama dengan cara kedua.
Tiga macam cara tawasul ini semua berdasarkan nash-nash yang shahih
dan dalil-dalil yang jelas. Apa dalil tawasul dengan cara yang pertama?
Dalil tawasul dengan cara yang pertama adalah hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
“Dari Autsman bin Hunaif ra:
Sesungguhnya seorang laki-laki tuna netra datang kepada Nabi SAW dan
berkata, “Ya Rasululah, berdo’alah kepada Allah agar menyembuhkan
saya.”
Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berdoalah. Dan jika engkau mau
bersabarlah (dengan kebutaan) karena hal itu (sabar) lebih baik untuk
kamu.”
Laki-laki itu berkata: “berdo’alah untuk saya, karena mataku benar-benar benar-benar memberatkan (merepotkan)ku.”
Kemudian Nabi SAW memerintahkan si laki-laki itu agar berwudlu,
shalat dua rakaat, lalu berdoa seperti doa dalam hadits yang arti doa
itu adalah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap
kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammad, nabi pembawa rahmat. Ya Muhammad,
sesungguhnya aku melalui kamu menghadap kepada Tuhanku dalam urusan
hajatku ini, agar hajat itu dikabulkan kepadaku. Ya Allah, tolonglah
beliau dalam urusanku.”
Si laki-laki itu melakukan apa yang diperintahkan Rasulullah SAW kemudian pulang dalam keadaan dapat melihat.”
Renungkanlah bagaimana Nabi SAW tidak berdoa sendiri untuk kesembuhan
mata si tuna netra, tetapi beliau mengajarkan kepadanya cara berdoa
dan menghadap kepada Allah melalui kedudukan diri beliau dan memohon
kepada Allah agar meminta bantuan dengan beliau. Dalam hal ini, ada
dalil yang jelas tentang kesunahan tawasul dan meminta bantuan dengan
dzat Nabi Muhammad SAW.
Ajaran tawasul dalam doa yang disebutkan pada hadits tersebut tidak
khusus untuk laki-laki tuna netra itu saja, tetapi umum untuk umatnya
seluruhnya, baik semasa beliau masih hidup atau sesudah wafat. Pemahaman
rawi dalam menghadapi hadits itu dapat dijadikan hujjah sebagaimana
diuraikan dalam ilmu ushul.
Apa dalil tawasul dengan cara kedua?
Dalilnya banyak, diantaranya:
“Dari Anas ra.ia berkata:
Ketika Nabi SAW berkhutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba ada seorang
laki-laki masuk dar pintu masjid dan langsung menghadap kepda Nabi SAW
seraya berteriak:
“Hai Rasulullah, harta benda telah binasa dan jalan-jalan telah putus, maka berdoalah kepada Allah supaya menghujani kami.
Rasulullah SAW.lalu mengangkat tangan dan berdo’a, “Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami tiga kali.
Anas berkata: “Demi Allah kami melihat awan di langit dan kami hari itu dituruni hujan begitu juga hari berikutnya.
Kemudian si laki-laki itu atau orang lainnya datang dan berkata: “Ya Rasulullah rumah-rumah ambruk dan jalan-jalan terputus.
“Kemudian Beliau berdoa: “Allah, turunkanlah hujan disekitar kita
bukan diatas kita,” kemudian awan terbelah dan kami keluar berjalan di
bawah sinar matahari.
Di dalam hadits yang shahih ini ada petunjuk atau dalil, bahwa setiap
orang disamping boleh berdoa (memohon) kepada Allah secara langsung,
boleh juga boleh juga mengunakan perantara orang-orang yang dicintai
Allah yang dijadikan oleh-Nya sebagai sebab terpenuhinya hajat
hamba-hambanya.
Disamping itu, karena manusia ketika melihat dirinya masih berlepotan
dosa yang membuatnya jauh dari Allah yang tentu saja merasa layak
ditolak permohonannya. Sebab itu, ia menghadap kepada Allah melaui
orang-orang yang dicintai-Nya, ia memohon kepada Allah denga kedudukan
dan kemuliaan para kekasih-Nya, agar Allah mengabulkan hajatnya karena
hamba-hamba-Nya yang dicintai-Nya yang mereka itu tidak tahu apa-apa
kecuali ta’at kepada-Nya.
Apa dalil tawasul yang ketiga?
Dalilnya banyak antara lain:
Dari Rabi’ah bin Malik al-Aslami ra.ia berkata Nabi SAW bersabda
kepadaku: “Mintalah apa saja yang kamu inginkan.” Saya berkata: “Saya
memohon kepada-Mu dapat bersama-Mu di surga.” Beliau bersabda: “Selain
itu?” Saya berkata: “Hanya itu.” Kemudian beliau bersabda: “Bantulah
saya untuk memenuhi keinginanmu dengan memperbanyak sujud.” (HR. Imam
Muslim).
أن قتادة نعمان أصيب بسهم في عينه عند يوم أحد فسالت على خدّه فجاء إلى
رسول الله وقال عيني يارسول الله فخيره بين الصبر وبين أن يدعو له فاختار
الدعاء فردّها عليه السلام بيده الشريفة إلى موضعها فعادت كما كانت
Sesungguhnya Qotadah bin Nu’man pada waktu perang Uhud matanta
terkena panah sampai keluar ke pipinya, lalu dating kepada Nabi SAW dan
berkata: “mataku Ya Rasulullah.” Beliau memberinya pilihan antara sabar
dengan sakit pada matanya itu dan beliau berdoa untuk kesembuhannya.
Qotadah memilih agar Rasulullah menyembuhkannya melalui doa. Kemudian
beliau mengembalikan mata Qotadah ke tempatnya semula dengan mata beliau
yang mulia sehingga kembali normal seperti semula.”
Bagaimanakah hukum berdzikir atau berdoa untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Berdoa merupakan perintah Allah. Islam mengajarkan kepada umatnya
untuk selalu berdoa kepada Allah. Karena doa erupakah inti dari ibadah.
Dalam setiap gerak ibadah yang dilakukan olelh seorang mukmin itu ada
doa. Bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan, bahwa doa itu merupakan
pedang bagi seorang muslim. Islam membolehkan berdoa atau dzikir untuk
orang yang sudah mati. Dalam sebuah ayat dinyatakan:
Orang-orang yang datang sesudah mereka(Muhajirin dan Anshar), mereka
berdoa, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami
yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr)
Ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa para sahabat pernah
berdoa untu saudara-saudara mereka yang telah lebih dahulu meninggal
dunia. Ketika para sahabat melakukan hal itu, rasulullah pun tidak
melarangnya. Nabi membiarkan dan membolehkannya. Perintah untuk
mendoakan orang lain juga disebutkan dalam ayat:
“Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Nabi SAW.sendiri dalam beberapa haditsnya memerintahkan secara
terang-terangan supya umat islam membacakan ayat-ayat al-Qur’an untuk
orang yang telah meninggal dunia. Hal ini dapat dilihat dalam hadits
berikut:
Dari Mu’aqqol ibn Yassar ra.: “barang siapa membaca surat yasin
karena mengharap ridlo Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah
lalu, maka bacakanlah surat yasin bagi orang yang mati diantar kamu.”
(Al-Baihaqi, Jami’us Shogir: bab Syu’abul Iman, Vol. 2, hal. 178,
termasuk hadits shohih.)
Senada dengan itu, dalam hadits lain Rasulullah juga menganjurkan
kepada kaum muslimin untuk memohonkan ampunan bagi si mayit atas
dosa-dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan saat hidup di dunia. Dari
Utsman bin Affan ra, dia berkata:
“Ketika Rasulullah selesai menguburkan jeazah, maka beliau berdiam
diri atas mayit, lalu bersabda, “mohon ampunlah kalian semua kepada
Allah SWT.untuk saudaramu. Dan mohonlah ketetapan untuk mayit
sesungguhnya saat ini dia sedang diberi pertanyaan.” (HR. Abu Daud dan
Hakim, termasuk hadits shohih menurut Abu Daud, Bulughul Maram: 115/604)
Bagaimana hukum bersedekah untuk orang yang sudah meninggal dunia?
Dalam islam, sedekah merupakan amalan mulia yang sangat dianjurkan,
bahkan merupakan perintah yang harus dijalankan. Di dalam al-Qur’an
digambarkan bahwa bersedekah merupakan salah satu cirri orang yang
bertaqwa. Dengan kata lain seseorang tidak masuk dalam kategori bertaqwa
(muttaqin) manakala ia tidak mau menyisihkan sebagian hartanya untk
disedekahkan kepada orang yang berhak. Allah befirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan.” (QS. Ali- Imron: 133-134)
Banyak hikmah yang dapat diambil dalam bersedekah. Oranng yang
bersedekah tidak akan mengalami kerugian, baik materil maupun spiritual.
Allah sendiri dalam wahyu-Nya menjanjkan mereka yang mau bersedekah
untuk dilipatgandakan. Seseorang yang mensedekahkan hartanya digambarkan
akan mendapatkan pahala berlipat-lipat ibarat dahan pohon yang
memiliki tujuh ranting, dan setiap ranting memiliki seribu benih. Dalam
ayat lain Allah secara tegas akan menjamin orang yang bersedekah, ia
akan dilindungi dari kejahatan orang-orang dzalim.
“Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi
dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS.
A-Anfal : 60).
Bersedekah tidak saja dapat dilakukan ketika masih hidup. Tetapi
sedekah juga dapt dilakukan untuk orang yang sudah meninggal dunia.
Rasulullah pernah SAW.perah memerintah seseorang suaya bersedekah untuk
keselamatan keluarganya yang telah meninggal dunia.
Dari Aisyah ra.bahwa seorang laki-laki berkata kepada rasulullah SAW.
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal, dan aku melihatnya seolah-olah
dia berkata, bersedekahlah. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah
untuknya?”. Rasulullah SAW. Bersabda,”ya”. (Muttafaqu ‘alaih)
Perintah rasulullah yang senada itu juga dapat ditemukan dalam
hadits-hadits yang lain. Bahkan beliau menyebut amalan sedekah sebagai
amalan yang tidak akanpernah putus meskipun oranng yang bersedekah itu
telah meninggal dunia. Pahala sedekah tidak saja dapat mengalir ketika
yang bersangkutan masih hidup, tetapi juga ketika jasad sudah
ditiggalkan oleh rohnya. Dari Abi Hurairah ra.bahwa rasulullah
SAW.bersabda:
‘Tatkala manusia meninggal maka putuslah semua amalnya, kecuali tiga
perkara. Yaitu amal Jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh
yang mendoakannya.” (HR. Muslim).
Apa hukum talqin (pengajaran) kepada mayit?
Di kalangan ulama ahli ijtihad, tidak ada perbedaan pendapat mengenai
talqin (mengajarkan kalimal La ilaaha illa Allah) kepada orang yang
sedang sekarat, berdasarkan hadits:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
“Hendaklah kamu semua mengajarkan kepada orang-orang meninggal alian
degan kalimat Laa ilaaha illa Allah(tidak ada Tuhan selain Allah)”
Adapun mengajari (talqin) orang yang baru dikuburkan menurut ulama
madzhab Syafi’i, mayoritas ulama madzhab Hambali dan sebagian ulama
madzhab Hanafi dan Maliki hukumya sunnah, berdasarkan riwayat
At-Tabrani:
“Dari Abu Umamah ra., “Apabila salah seorang di antara saudaramu
meninggal dunia dan tanah telah diratakan di atas kuburannya, maka
hendaklah salah seorang diantara kamu berdiri di arah kepala, lalu
ucapkanlah, ‘Hai Fulan bin fulanah (nama mayat dan nama ibunya).
‘Sesungguhnya si mayat itu mendengar, namun tidak dapat menjawab.
Kemudian ucapkan ‘Hai fulan bin fulanah, ‘Sesungguhnya dia duduk. Lalu
ucapkan lagi, ‘hai fulan bin fulanah, maka si mayat berkata, ‘Bimbinglah
kami, semoga Allah merahmatimu. Kemudian katakanlah “ingatlah apa yang
kamu pertahankan saat meninggal dunia berupa kalimat syahadat dan
kerelaanmu trhadap Allah sebagai Tuhan, islam sebagai agama, Muhammad
sebagai Nabi, dan Al-Qur’an sebagai panutan. Sesungguhnya malaikat
munkar dan nakir saling berpegangan tangan dan berkata, ‘ayo pergi.
Tidak perlu duduk di sisi orang yang diajarkan kepadanya jawabannya.
Allah-lah yang dapat memintainya jawaban, bukan malikat munkar dan akir.
Lalu ada seorang laki-laki bertanya, ya Rasulullah bagaimana jika ibu
si mayat tidak diketahui? Beliau menjawab, sambungkan nasabnya ke ibu
Hawa. (HR. At-Thabrani)
Hadits tersebut marfu’, sekalipun dhoif, tetapi hadits ini boleh
diamalkan dalam amal-amal kebaikan (fadhoilul a’mal) dan untuk
mengingatkan orang-orang mukmin, dan juga mengingatkan firman Allah SWT:
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena Sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Dan tentu saja nasehat yang paling dibutuhkan oleh setiap hamba
adalah ketika baru saja dikebumikan. Imam ibnu Taimiyah dalam
fatwa-fatwanya menjelaskan, sesungguhnya talqin sebagaimana tersebut
diatas benar-benar dari sekelompok sahabat Nabi SAW.bahwa mereka
menganjurkan talqin. Diatara mereka adalah Abu Umamah ra. Imam ibnu
Taikiyah berkata, “Hadits-hadits yang menerangkan bahwa orang yang dalam
kubur itu ditanya dan diuji dan perlu di doakan adalah sngat kuat.
Oleh sebab itu talqin berguna baginya, sebab mayat itu dapat mendengar
seruan, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shohih:
“Sesungguhnya Nabi SAW. Bersabda: “Sesungguhnya mayat dalam kubur itu mendengar gesekan sandal-sandal kamu semua.”
Sementara itu, dalam hadits yang lain disebutkan:
“Sesungguhnya beliau bersabda: “kamu semua tidaklah lebih mendengar apa yang kau ucapkan daripada mereka.”
Bagaimana hukumnya tahlil?
Mengapa hukumnya tahlil ditanyakan? Bukankah tahlil itu sighat masdar
dari madzi hallala yang artinya baca Laa Ilaaha Illa Allah.
Bukan. Yang saya maksud adalah tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung itu.
Tahlil menurut istilah yang berlaku di kampung-kampung, kota-kota
bahkan seluruh penjuru adalah berisi bacaan Laa Ilaaha Illa
Allah,Subhaana Allah wa bi Hamdihi, Astaghfirullah al Adzim, sholawat,
ayat-ayat al Quran, fatihah, Muawwidzatain dan sebagainya apakah juga
masih ditanyakan hukumnya?
Tetapi apakah ada aturan berdzikir secara jamaah sebagaimana dilakukan jamaah NU?
وَاصبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الذِيْنَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالغَدَاةِ وَالعَشِيِّ يُرِيْدُونَ وَجْهَهُ وَلاَ تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru
Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridlaan NYA; dan
janganlah kedua matamu berpaling dari mereka…
Di samping ayat disebutkan diatas, diantara ayat yang biasa anda dan kyai NU pahami sebagai anjuran dzikir berjama’ah adalah
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami
dari siksa neraka.” (QS. 3:191)
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir
berjamaah karena menggunakan sighat (konteks) jama’ (plural) yaitu
yadzkuruna. Menurut kyai NU jama’ berarti banyak dan banyak artinya
bersama-sama. Pengambilan dalil semacam ini menurut saya adalah tidak
benar, karena tidak setiap kalimat yang disampaikan dalam bentuk jama’
harus dipahami bahwa itu dilakukan dengan bersama-sama.
Syaikh Dr. Muhammad bin Abdur Rahman al-Khumayyis, penulis makalah
“Adz-Dzikr al-Jama’i baina al-Ittiba’ wal ibtida’ (telah dibukukan
dengan judul yang sama), menjelaskan bahwa sighat (konteks) jama’ dalam
ayat di atas adalah sebagai anjuran yang bersifat umum dan menyeluruh
kepada semua umat Islam untuk berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala
tanpa kecuali, bukan anjuran untuk melakukan dzikir berjama’ah.
Selain itu jika sighat (konteks) jama’ dalam ayat tersebut dipahami
sebagai anjuran untuk melakukan dzikir secara berjama’ah atau
bersama-sama maka kita akan kebingungan dalam memahami kelanjutan ayat
tersebut. Disebutkan bahwa dzikir itu dilakukan dengan cara berdiri
(qiyaman), duduk (qu’udan) dan berbaring (’ala junubihim). Nah
bagaimanakah praktek dzikir bersama-sama dengan cara berdiri, duduk dan
berbaring itu? Apakah ada dzikir berjama’ah dengan cara seperti ini?
Permasalahan lainnya adalah bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat berada di samping beliau.
Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat
memahami ayat tersebut sebagai perintah untuk dzikir bersama-sama satu
suara?
Kalau anda menyatakan bahwa lafadz jama’ itu tidak selalu
bersama-sama, maka bisakah anda menunjukkan bahwa lafadz jama’ itu tidak
mungkin dimaknakan bersama-sama? Bagaimanakah dengan kisah para
sahabat yang berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair
(Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan
sahabat2 radhiyallhu ‘anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan:
“HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..” (lihat Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq).
Perlu anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg
pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena
ia adalah Tabi’in. Sehingga akurasi sumber datanya lebih valid. Begitu
juga pada waktu para sahabat membangun saat membangun Masjidirrasul
saw: mereka bersemangat sambil bersenandung:
“Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah”
Setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat:
“Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal
Muhajirah …” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’
masjidissyarif hal 116)
Ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam
shahihain. Mengenai makna berdiri (qiyaman), duduk (qu’udan) dan
berbaring (’ala junubihim). Tidakkah anda pernah shalat berjamaah?
Bukankah shalat juga melafalkan dzikir? Bukankah shalat itu bisa
berdiri, duduk dan tidur miring? Menafsiri ayat tersebut diatas Ibn
Katsir mengutip hadits Nabi riwayat Bukhari:
عن عِمْران بن حُصَين، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
قال: “صَلِّ قائما، فإن لم تستطع فقاعدا، فإن لَم تستطع فَعَلَى جَنْبِكَ
أي: لا يقطعون ذِكْره في جميع أحوالهم بسرائرهم وضمائرهم وألسنتهم
Jadi ayat tersebut di atas lebih dititikberatkan kepada bagaimana
tata cara orang shalat, namun secara umum dapat juga diartikan dzikir
secara laf-dziy. Seseorang dapat berdzikir kepada Allah dengan segala
tingkah sesuai kemampuannya. Kalau anda memaknakan bahwa dzikir
berjamaah dengan tidur semua, duduk semua atau berdiri semua, manakah
point yang menunjukkan itu? Bagaimana kalau dimaknakan bila dzikir itu
dibaca berjamaah, kita dapat berdiri, duduk dan tiduran sesuai dengan
kondisi kita? Berdiri karena tidak lagi kebagian tempat, tiduran karena
kondisi tubuhnya tidak memungkinkan.
Sahabat Rasul radhiyallahu’anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah,
dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya andapun shalat
tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu
menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg
keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah. Sebab mereka
merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar, mereka masih butuh
syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini.
Kalau anda tidak mau memaknakan kalimat jama’ dengan arti
bersama-sama, dari makna apa anda shalat tarawih berjamaah? Berdasar
hadits dan ayat al Quran yang mana?
Kita Ahlussunnah waljama’ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa
jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama. Sebagaimana
Hadist Qudsiy Allah swt berfirman :
إِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ هُمْ خَيْرٌ مِنْهُمْ
Bila ia (hambaKu) menyebut namaKu dalam dirinya, maka Aku
mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut namaKu dalam kelompok
besar, maka Akupun menyebut (membanggakan) nama mereka dalam kelompok yg
lebih besar dan lebih mulia”. (HR Muslim).
Kita di majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi
panggung-panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya
menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia
manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati
sepatu dan air seni mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi
di rumah rumah muslimin, di mobil2, dan hampir di semua tempat,
Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang
Maha Tunggal? Menggemakan nama Allah? Apakah Nama Allah sudah tak boleh
dikumandangkan lagi dimuka bumi? Mewakili banyak hadits tentang dzikir
berjamaah ini, perhatikan dan camkanlah hadits ini:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ لِلَّهِ
مَلَائِكَةً يَطُوفُونَ فِي الطُّرُقِ يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ
فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى
حَاجَتِكُمْ قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ
الدُّنْيَا قَالَ فَيَسْأَلُهُمْ رَبُّهُمْ وَهُوَ أَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا
يَقُولُ عِبَادِي قَالُوا يَقُولُونَ يُسَبِّحُونَكَ وَيُكَبِّرُونَكَ
وَيَحْمَدُونَكَ وَيُمَجِّدُونَكَ قَالَ فَيَقُولُ هَلْ رَأَوْنِي قَالَ
فَيَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ مَا رَأَوْكَ قَالَ فَيَقُولُ وَكَيْفَ لَوْ
رَأَوْنِي قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْكَ كَانُوا أَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً
وَأَشَدَّ لَكَ تَمْجِيدًا وَتَحْمِيدًا وَأَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيحًا قَالَ
يَقُولُ فَمَا يَسْأَلُونِي قَالَ يَسْأَلُونَكَ الْجَنَّةَ قَالَ
يَقُولُ وَهَلْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا
رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا قَالَ
يَقُولُونَ لَوْ أَنَّهُمْ رَأَوْهَا كَانُوا أَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا
وَأَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَأَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً قَالَ فَمِمَّ
يَتَعَوَّذُونَ قَالَ يَقُولُونَ مِنْ النَّارِ قَالَ يَقُولُ وَهَلْ
رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَا وَاللَّهِ يَا رَبِّ مَا رَأَوْهَا قَالَ
يَقُولُ فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْهَا قَالَ يَقُولُونَ لَوْ رَأَوْهَا كَانُوا
أَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا وَأَشَدَّ لَهَا مَخَافَةً قَالَ فَيَقُولُ
فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنْ
الْمَلَائِكَةِ فِيهِمْ فُلَانٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ
قَالَ هُمْ الْجُلَسَاءُ لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ رواه البخارى
Sabda Rasulullah saw: “Sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar
dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka
menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi
antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para
malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada
mereka dan Allah Maha Tahu : “darimana kalian?” mereka menjawab : kami
datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu,
bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta
kepada Mu,
Maka Allah bertanya: “Apa yg mereka minta”, Malaikat berkata: mereka
meminta sorga, Allah berkata: apakah mereka telah melihat sorgaku?
Malaikat menjawab: tidak, Allah berkata: “Bagaimana bila mereka
melihatnya”. Malaikat berkata: mereka meminta perlindungan Mu, Allah
berkata: “mereka meminta perlindungan dari apa?” Malaikat berkata: “dari
Api neraka”, Allah berkata: “apakah mereka telah melihat nerakaku?”
Malaikat menjawab tidak, Allah berkata: Bagaimana kalau mereka melihat
neraka Ku. Malaikat berkata: mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata:
“sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah
kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya,
malaikat berkata: “wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba
pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata:
baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada
yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka
Semoga bermanfaat dan tidak ragu lagi.