Tahlilan bukanlah sebuah kewajiban, jika ditinggalkan berdosa atau
bukanlah perkara yang diwajibkanNya atau ditetapkanNya atau bukanlah
perkara syariat, syarat sebagai hamba Allah.
Jika berkeyakinan
bahwa tahlilan adalah sebuah kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa
maka keyakinan seperti itu termasuk bid’ah dholalah karena yang
mengetahui atau menetapkan sesuatu perkara atau perbuatan ditinggalkan
berdosa (kewajiban) atau dikerjakan / dilanggar berdosa
(larangan/pengharaman) hanyalah Allah ta’ala
Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya,
“Katakanlah! Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang
telah diberikan kepada hamba-hambaNya dan beberapa rezeki yang baik itu?
Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang
timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang
tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak
turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan
sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf: 32-33)
Tahlilan adalah amal kebaikan, perkara diluar apa yang diwajibkanNya dan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Tahlilan adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh
keluarga ahli kubur sedangkan peserta tahlilan bersedekah diniatkan
untuk ahli kubur dengan tasbih, takbir, tahmid, tahlil, pembacaan surah
Yasiin, Al Fatihah, dzikir dan doa
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas nama
orang yang telah meninggal dunia
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata
telah bercerita kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
‘Aisyah radliallahu ‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya ibuku telah
meninggal dunia secara mendadak dan aku menduga seandainya dia sempat
berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh bershadaqah atas
namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim 2554)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
Telah menceritakan kepada kami Abdullah
bin Muhammad bin Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi
bin Maimun Telah menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari
Yahya bin Uqail dari Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu
Dzar bahwa beberapa orang dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bertanya kepada beliau, Wahai Rosulullah, orang-orang kaya dapat
memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka shalat seperti kami shalat,
puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa harta mereka. Maka
beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara
kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih adalah sedekah,
setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah
sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar
adalah sedekah (HR Muslim 1674)
Tahlilan hukum asalnya adalah
boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau
meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang
(haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau
dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.
Tahlilan
disyiarkan oleh para Wali Songo, Wali Allah generasi ke sembilan dan
kebetulan berjumlah sembilan orang. Salah seorang Wali Songo, Syarif
Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati adalah Wali Allah
keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Wali
Songo mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara
frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat,
namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan
nilai Islam.
Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka
sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya
mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan
atau ke-riang-an lainnya.
Wali Songo tidak serta merta
membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap
berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit. Jadi
istilah tahlil seperti pengertian sekarang tidak dikenal sebelum Wali
Songo.
Disini tahlil muncul sebagai terobosan cerdik dan
solutif dalam merubah kebiasaan negatif masyarakat, solusi seperti ini
pula yang disebut sebagai kematangan sosial dan kedewasaan intelektual
sang da’i yaitu Walisongo.
Kematangan sosial dan kedewasaan
intelektual yang benar-benar mampu menangkap teladan Nabi Muhammad
Shallallahu alaihi wasallam dalam melakukan perubahan sosial bangsa Arab
jahiliyah. Dinamika pewahyuan Al-Quran pun sudah cukup memberikan
pembelajaran bahwa melakukan transformasi sosial sama sekali bukan
pekerjaan mudah, bukan pula proses yang bisa dilakukan secara instant.
Jadi acara kumpul di rumah ahli waris diisi dengan amal kebaikan berupa
pembacaan untaian doa, dzikir, pembacaan surat Yasiin dan tahlil.
Mereka yang melarang tahlilan dengan cara mengutip perkataan ulama seperti
Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy Syafi’i Rahimahullah, beliau berkata dalam I’anatuth Thalibin:
نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام، من البدع
المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر، ثبت الله به قواعد الدين وأيد به
الاسلام والمسلمين.
Ya, apa yang dilakukan manusia, yakni
berkumpul di rumah keluarga si mayit, dan dihidangkan makanan, merupakan
bid’ah munkarah, yang akan diberi pahala bagi orang yang mencegahnya,
dengannya Allah akan kukuhlah kaidah-kaidah agama, dan dengannya dapat
mendukung Islam dan muslimin.” (Imam Sayyid Al Bakr Ad Dimyathi Asy
Syafi’i, I’anatuth Thalibin, 2/165. Mawqi’ Ya’sub.
Berikut teks lengkapnya;
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من
الطعام. وجواب منهم لذلك. (وصورتهما). ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام
دام نفعهم للانام مدى الايام، في العرف الخاص في بلدة لمن بها من الاشخاص
أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء، وحضر معارفه وجيرانه العزاء، جرى العرف
بأنهم ينتظرون الطعام، ومن غلبة الحياء على أهل الميت يتكلفون التكلف
التام، ويهيئون لهم أطعمة عديدة، ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة. فهل لو
أراد رئيس الحكام – بما له من الرفق بالرعية، والشفقة على الاهالي – بمنع
هذه القضية بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية، المأثورة عن خير
البرية وإلى عليه ربه صلاة وسلاما، حيث قال: اصنعوا لآل جعفر طعاما يثاب
على هذا المنع المذكور ؟
“Dan sungguh telah aku perhatikan
mengeni pertanyaan yang ditanyakan (diangkat) kepada para Mufti Mekkah
(مفاتي مكة المشرفة) tentang apa yang dilakukan oleh Ahlu (keluarga)
mayyit perihal makanan (membuat makanan) dan (juga aku perhatikan)
jawaban mereka atas perkara tersebut. Gambaran (penjelasan mengenai
keduanya ; pertanyaan dan jawaban tersebut) yaitumengenai (bagaimana)
pendapat para Mufti yang mulya (المفاتي الكرام) di negeri “al-Haram”,
(semoga (Allah) mengabadikan manfaat mareka untuk seluruh manusia
sepanjang masa) , tentang kebiasaan (‘urf) yang khusus di suatu negeri
bahwa jika ada yang meninggal , kemudian para pentakziyah hadir dari
yang mereka kenal dan tetangganya, lalu terjadi kebiasaan bahwa mereka
(pentakziyah) itu menunggu (disajikan) makanan dan karena rasa sangat
malu telah meliputi ahlu (keluarga mayyit) maka mereka membebani diri
dengan beban yang sempurna (التكلف التام), dan (kemudian keluarga
mayyit) menyediakan makanan yang banyak (untuk pentakziyah) dan
menghadirkannya kepada mereka dengan rasa kasihan. Maka apakah bila
seorang ketua penegak hukum yang dengan kelembutannya terhadap rakyat
dan rasa kasihannya kepada ahlu mayyit dengan melarang (mencegah)
permasalahan tersebut secara keseluruhan agar (manusia) kembali
berpegang kepada As-Sunnah yang lurus, yang berasal dari manusia yang
Baik (خير البرية) dan (kembali) kepada jalan Beliau (semoga shalawat dan
salam atas Beliau), saat ia bersabda, “sediakanlah makanan untuk
keluarga Jakfar”, apakah pemimpin itu diberi pahala atas yang disebutkan
(pelarangan itu) ?
أفيدوا بالجواب بما هو منقول ومسطور. (الحمد
لله وحده) وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم
بعده. اللهم أسألك الهداية للصواب. نعم، ما يفعله الناس من الاجتماع عند
أهل الميت وصنع الطعام، من البدع المنكرة التي يثاب على منعها والي الامر،
ثبت الله به قواعد الدين وأيد به الاسلام والمسلمين.
“Penjelasan
sebagai jawaban terhadap apa yang telah di tanyakan, (الحمد لله وحده)
وصلى الله وسلم على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه والسالكين نهجهم بعده, Ya ..
Allah aku memohon kepada-Mu supaya memberikan petunjuk kebenaran”.
“Iya.., apa yang dilakukan oleh manusia dari berkumpul ditempat ahlu
(keluarga) mayyit dan menghidangkan makanan, itu bagian dari bid’ah
munkarah, yang diberi pahala bagi yang mencegahnya dan menyuruhnya.
Allah akan mengukuhkan dengannya kaidah-kaidah agama dan mendorong Islam
serta umat Islam” Kitab I’anatuth Thalibin, Al-‘Allamah Asy-Syekh
Al-Imam Abi Bakr Ibnu As-Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathiy
Asy-Syafi’i.
Apa yang mereka kutipkan sebenarnya adalah jawaban
atas pertanyaan terhadap sikap pentakziyah yang menunggu disajikan
makanan sehingga keluarga ahli kubur menyediakan makanan dengan terpaksa
atau merasa terbebani.
Sedangkan keluarga ahli kubur yang
mengadakan tahlilan atau mengundang tahlilan, biasanya pada malam
harinya atau malam selanjutnya, pada umumnya mereka telah mempersiapkan
dan tidak merasa terbebani karena mereka meniatkannya sebagai amal
sedekah atau amal kebaikan atas nama ahli kubur.
Dapat juga kita temukan mereka melarang tahlilan dengan mengutip perkataan Imam Mazhab seperti
Pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al
ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada
tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui
kesedihan.”
Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan.
Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka
membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat
istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan
dibayar.
Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai
oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu
buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan
menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak
menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa
beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika
ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat
dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka,
maka beliau memakruhkannya
Hal yang harus kita ingat bahwa
kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah
“Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.
Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah.
Makna makruh secara bahasa adalah benci,
makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.
Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka
tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam
fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh,
mubah, sunnah, wajib
Jika ada fatwa para Imam dalam hukum,
tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas
sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan
haram
Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.
Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang
disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau
kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah
Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.
Begitupula mereka melarang
tahlilan dengan mengutip hasil muktamar I Nahdlatul Ulama (NU) Keputusan
masalah Dinniyah No. 18/13 Rabi'uts Tasaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Di
Surabaya
Tentang keluarga mayit menyediakan makan kepada pentakziah
Tanya:
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan
kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari
berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah
keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
Jawab:
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh
itu hukumnya makruh , apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama
dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak
menghilangkan pahala itu.
Jelas dalam keputusan tersebut bahwa
hukumnya makruh dengan penjelasan kemakruhan sebagaimana yang
disampaikan di atas tetapi tidak menghilangkan pahala sedekahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar