Ahlussunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa Allah tidak diliputi
oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya zaman/waktu. Pendapat ini berbeda
dengan keyakinan kaum Hisyamiyyah dan kaum Karramiyyah yang mengatakan
bahwa Allah menyentuh arsy. Amirul Mu’minin Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya
Allah menciptakan arsy untuk menampakan tanda kekuasaan-Nya, bukan
untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya”. Beliau juga berkata: “Dia
(Allah) ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia sekarang
sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat (tidak
berubah)
”.Pemimpin Karramiyah dahulu bernama Muhammad ibn Karram berkeyakinan
tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), mengatakan Allah
bertempat di atas arsy.
sebuah hal yang sangat ironis di jaman sekarang saya takutkan ada orang yang berkeyakinan semacam itu,berani mensifati allah dengan sifat mahluk,menyamaknnya dengan mahluk
wajib bagi allah ta'ala sifat mukhalafatu lilhawadist maknanya sesungguhnya allah tidak menyerupai dengan seluruh perkara yang baru (mahluk) maka tidak ada bagi allah tangan,mata,telinga dan tidak ada lain-lainnya dari sifat-sifat yang baru.
dan sifat yang berlawanan dengan sifat mkhalafatul lilhawadist yaitu almumaastalah artinya menyerupai allah dengan mahluk
dan dalilnya terhadap sifat mkhalafatulilhawadist yaitu sesungguhnya kalau ada allah menyerupai terhadap yang baru tentunya allah itu baru,dan allah itu baru itu mustahil.
berbeda allah dengan sseluruh yang baru,tegasnya tidak ada titik persamaan antara allah dengan mahluk di dalam seluruh bidang dan segi.
wajib disini wajib aqli tegasnya dimengerti oleh akal kalau allah tidak ada titik sama dengan mahluknya,serta tidak dimengerti oleh akal allah ada titik sama dengan mahluknya.pandangan hukum syara terhadap pandangan hukum akal wajib allah tersifati sifat mukhalafatu lilhawadist
1.hukum syara mewajibkan semua manusia mukalaf harus beritiqod allah yg mukhalafatul lilhawadist
2.hukum syara membenarkan,memperkuat dan menjelaskan bahwa allao yg mukhalafatul lilhawadist, dengan firman allah dalam surah al-ikhalas ayat 4
WA LAM YAKULLAHU KUFUAN AHAD
tidak ada yang menyerupai bagi allah satu perkara juga
Ibnu katsir : Tafsir ayat “istiwa”
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah
asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst
sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang
menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di
sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang
bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah
SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan
terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu
penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah
membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam
memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna
tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir
lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut
tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan
tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT. Ibnu katsir adalah
salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain.
Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang
makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari
Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di
ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah
metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil
oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama
terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena
telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan
ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang
tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan
benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating
dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid
akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka
sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars
,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini
di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan
keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq
terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian
mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di
tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana
mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil
salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid
menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil
mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah
dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah
maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab
A. Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :
1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)
Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah) :
{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia
pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang
memerincikan makna (membuka/menjelaskannya) (lafadz istiwa) dan
sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan
salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad
dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan
ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak
ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif
(memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq)
dan tanpa ta’thil(menafikan) dan (memaknai lafadz istiwa
dengan) makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman
golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah) yaitu Allah tidak
serupa dengan makhluqnya…”
Wahai mujasimmah wahhaby!!
lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat
dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
““Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya
adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin
Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang
mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan
bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah
Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang
telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan
(pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah
sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
- Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan
ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak
seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat
mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
- ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang
tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi
mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak
memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat
tersebut.
- disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya tidak melarang ta’wil.
“…dan selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian,
yakni
membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa
memperincikan maknanya)tanpa takyif (bagaimana, gambaran), tanpa
tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
2. Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian
dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah
yang lain…
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana
pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana
lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk)
dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu
ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas
al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.
II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
1-masak (boleh di makan) contoh:
قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak
2- التمام: sempurna, lengkap
3- الاعتدال : lurus
4- جلس: duduk / bersemayam,
contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil
5- استولى : menguasai,
contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai
hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan
lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul
munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak
lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna
bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia
tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini
tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu
sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat
dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’
Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran
dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling
besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan
Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah
diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk
menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.
III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda
*Bersemayam
yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah
tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah
Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin
Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab
lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk
sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya
berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “
Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam
oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah
Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia
telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya
meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah –
semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap
orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah
benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti
benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi
(W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab
Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan
pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan :
“Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah
kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah
tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota
badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota
badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan
lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas,
bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’
(konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga
abad pertama hijriyah).
III. ulamak 4 mazhab tentang aqidah
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya,
dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al
Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.
IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal
tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa
Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan
Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy
tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang
lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu
mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat
duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci
Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu
Hanifah dari kitab Wasiat.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah
dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat
bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafie:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum
dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan
sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak
harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam
kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al
Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan
oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga
al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil
yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal)
bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau
seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam
Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran)
dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal
tentangnya bidaah.
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan
memberikan makna dhahir jalasa atau duduk atau bersemayam atau
bertempat (istiqrar)…..