http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Rabu, 24 Oktober 2012

memahami pendapat orang lain


Salah satu perbedaan pendapat yang terjadi di tengah kaum muslimin adalah tata cara mereka menyelamatkan akidah dari kesesatan.. Mereka sepakat berkeyakinan bahwa Allah SWT berbeda dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu ketika terdapat dalil-dalil yang mengesankan adanya keserupaan Allah dengan makhluk, mereka berusaha keras menghindarkan kesan tersebut. Hanya saja – karena tujuan mulia itu – justru mereka kemudian berbeda pendapat. Sepeninggal ulama salaf yang memilih berdiam diri tidak memberikan komentar terhadap ayat-ayat mutsyabihat mayoritas Ulama memilih jalan ta’wil karena dianggap paling mudah diterima orang-orang awwam dan paling aman untuk menutup pintu polemik yang justru akan memperpanjang persoalan.
Tetapi belakangan cara seperti ini ditentang oleh ibnu taimiyah dan para pengikutnya seperti muhammad bin abdul wahab yang dikenal dengan aliran wahabi karena memang sejak masanya-lah aliran ini dikembangkan dengan bantuan kerajaan keluarga Sa’ud, tepatnya mulai sekitar abad XIX Masehi


 

Sebagai sebuah upaya atau “Ijtihad Baru” dari seorang Ibnu Taimiyah Rahimahullah, prinsip anti ta'wil tentu saja tidak ada masalah karena memang merupakan haknya untuk melakukan istimbath dari sumber aslinya, Al Qur’an dan As Sunnah, terlepas pada kenyataannya pendapatnya di tolakoleh mayoritas Ulama Hatta oleh para Ulama Madzhab Hanbali, madzhabnya Ibnu Taimiyah. Akan tetapi lain halnya para muqollidnya mereka tidak punya hak untuk menunjukkan telunjuk dengan teriakan kata bid'ah dan sesat kepada yang berbeda dengannya. Sebabnya jelas, bahwa perkara-perkara Furu’iyah – baik itu Furu’ Al Aqidah maupun Furu’ dalam masalah Fiqh – memiliki hak yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Hak itu adalah: Saling menghargai. Untuk itulah, sekedar untuk mengingatkan sebagian pengikut aliran Anti Ta’wil agar kembali hidup dalam kedamaian dan tidak merasa benar sendiri, berikut kami sampaikan sebagian argumen dari kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang secara umum menerima Ta’wil. Bahwa setelah ini masih saja ada yang kaku urat lehernya, memang Allah memiliki hak yang tak dapat diganggu dalam memberikan hidayah kepada hamba-hamba-Nya.

Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat dengan makna dzahir
  .Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.
   mam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.


Salaf yang sholeh mengatakan

قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي:
أمروها كما جاءت بلا تفسير

Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits
bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir



Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه

Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.

Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa

- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia

Bahkan Imam Sayyidina Ali mengatakan bahwa mereka  yang mensifati Allah ta’ala dengan  sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
 ,  Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh

Selain mengikuti sebagian jejak Ulama Salaf, sesungguhnya Ta’wil itu memiliki juga dasar pijakan yang dijadikan Qiyas baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadis. Sebagaimana diketahui Al Qur’an adalah merupakan firman Allah. Akan tetapi dalam Al Qur’an dikatakan:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة:40 التكوير:19)

Artinya: “Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah ucapan Rasul yang mulia (Jibril)” (Al Haqqah:40, At Takwir:19)

Apakah karena ayat ini kita akan mengatakan bahwa Al Qur’an itu merupakan wahyu Jibril atau campuran antara wahyu Allah dan wahyu Jibril ?. Barangsiapa berkeyakinan seperti itu menjadi Kafirlah ia berdasarkan kesepakatan Ulama. Itulah sebabnya para Ulama menterjemahkan ayat tersebut – sebagaimana dalam terjemahan Departemen Agama RI – dengan: Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)”. Ditambahkannya kalimat di antara dua tanda kurung pada terjemahan ini adalah Ta’wil karena memang tidak ada pada aslinya. Barang siapa membiarkan terjemahan ayat tersebut sesuai teks ayat aslinya niscaya akan terjatuh dalam kesesatan karena menganggap Al Qur’an bukan firman Allah tetapi ucapan Jibril.

Contoh lain adalah Hadis:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ » (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Tuhan kita Tabaraka Wata’ala turun pada setiap malam ke langit dunia pada saat sepertiga malam terakhir seraya berseru: “Siapa yang berdo’a kepada-Ku, akan Aku perkenankan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan dan siapa yang memohon kepada-Ku akan Aku ampuni” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Kaum Wahhabi memahami bahwa yang dimaksud dengan “turun” pada Hadis ini adalah bahwa Tuhan itu benar-benar turun. Artinya yang tadinya ada di Arasy seketika berada di langit terdekat dari bumi. Akan tetapi mayoritas Ulama memberikan kalimat pengganti dari kalimat di atas dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “turun” di situ adalah turunnya malaikat Allah yang diutus untuk menyampaikan seruan, bukan Allah turun sendiri. Perhatikan penjelasan Ulama yang menjadi rujukan para pengkaji Hadis di seluruh dunia, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani Rahimahullah:

وَقَدْ حَكَى أَبُو بَكْر بْن فَوْرك أَنَّ بَعْض الْمَشَايِخ ضَبَطَهُ بِضَمِّ أَوَّله عَلَى حَذْف الْمَفْعُول أَيْ يُنْزِل مَلَكًا ، وَيُقَوِّيه مَا رَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيق الْأَغَرّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَأَبِي سَعِيد بِلَفْظِ " إِنَّ اللَّه يُمْهِل حَتَّى يَمْضِي شَطْر اللَّيْل ، ثُمَّ يَأْمُر مُنَادِيًا يَقُول : هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَاب لَهُ " الْحَدِيث . وَفِي حَدِيث عُثْمَان بْن أَبِي الْعَاصِ " يُنَادِي مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَاب لَهُ " الْحَدِيث . قَالَ الْقُرْطُبِيّ : وَبِهَذَا يَرْتَفِع الْإِشْكَال

Artinya: Al Imam Abu Bakar ibn Faurak menceritakan bahwa di antara para Syekh ada yang mendhomahkan kata “yanzilu” (artinya: Allah turun) menjadi “Yunzilu” (artinya: Allah menurunkan) dengan membuang Obyeknya yaitu bahwa Allah menurunkan seorang malaikat (untuk berseru, pen). Hal ini diperkuat oleh sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh An Nasa’i melalui jalur Al Aghar dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id dengan redaksi: “Sesungguhnya Allah membiarkan hingga berlalu separuh malam. Setelah itu lalu Dia memerintahkan seorang penyeru agar berseru: “Siapa orang yang berseru agar diperkenankan..?” (sampai akhir Hadis). Dan dalam Hadis Usman bin Abi Al Ash: “Seorang penyeru menyerukan: “Siapa orang yang berseru akan diperkenankan” (sampai akhir Hadis). Al Imam Al Qurtubi berkata: “Dengan cara seperti ini maka hilanglah kemusykilan memahami hadist  9 (lihat fathul bari juz 3 hal.339)

Model penta’wilan seperti ini sebenarnya telah dicontohkan oleh Allah SWT sendiri sebagaimana dalam sebuah Hadits Qudsi:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِى. قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى.(رواه مسلم)

Artinya: Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah akan berfirman: “Wahai anak adam, Aku sakit namun kamu tidak mau menjenguk-Ku”. Anak Adam berkata: “Ya Tuhanku, bagimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu bahwa seorang hamba-Ku si Anu sakit namun engkau tidak menjenguknya Padahal jika engkau menjenguknya, niscaya engkau dapati Aku di dekatnya. Wahai anak Adam, Aku meminta makan namun engkau tidak memberi-Ku makan”. Anak Adam bertanya: “Wahai Tuhanku, bagaimanakah aku memberi makan Engkau sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang meminta makan kepadamu namun engkau tidak memberinya makan. Padahal jika engkau memberinya makan, niscaya engkau dapati itu ada di sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu namun engkau tidak memberi minum Aku”. Anak Adam berkata: “Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat memberi minum kepada Engkau sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang dating meminta minum kepadamu namun engkau tidak memberinya minum. Padahal jika engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapati itu ada di sisi-Ku” (HR Muslim).

Rupanya sampai hari kiamat masih saja ada anak Adam yang salah faham terhadap firman Tuhan hingga Tuhan sendiri harus menjelaskan maksud sebenarnya. bayangkan jika dalam Hadis Qudsi tersebut tidak dijelaskan panjang lebar niscaya akan ada aliran yang berkeyakinan bahwa Allah itu lapar, haus dan bahkan sakit sebagaimana makhluk-Nya. Na’udzu billah min dzalik !!!. Bagaimana pula dengan firman Allah yang menyebutkan:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ...(ألنور:35)

yang terjemah aslinya “Allah adalah cahaya langit dan bumi...”. Apakah kita akan berkeyakinan bahwa Allah itu berupa cahaya?. tak seorang Ulama pun mengartikannya demikian. Oleh sebab itu mereka mengtatakan bahwa yang dituju dengan “cahaya” adalah “yang menerangi” sehingga ayat tersebut berarti “Allah adalah Dzat yang menerangi langit dan bumi”. Terjemahan ini dinamakan Ta’wil karena menyimpang dari kata aslinya.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar