Bila
terdapat sebuah amaliah yang dikerjakan salah seorang Ulama namun kita
tidak menemukan dalil yang menjadi pendukungnya menurut jalan pikiran
kita, maka hendaklah kita meyakini bahwa hal tersebut merupakan buah
dari hasil ijtihadnya atas nash-nash Syari’at. Selanjutnya manakala kita
hendak memberikan penilain, maka terlebih dahulu kita melengkapi
pengetahuan kita hingga setara dengan mereka atau membaca jalan pikiran
Ulama tersebut baik dengan cara bertemu dengannya atau murid-muridnya.
Jika ini pun tidak dapat dilakukan, maka sekurang-kurangnya kita membaca
karya-karya tulisnya karena medan ijtihad itu sangat luas bentangannya.
Adalah sebuah kesesatan manakala orang awwam menvonis sesat terhadap hasil ijtihad Ulama.
Sebagai contoh dapat dikemukakan sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ «
إِذَا نُودِىَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى
لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ….رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Apabila
dikumandangkan (Adzan) untuk Shalat, maka Syetan pergi menjauh seraya
terkentut-kentut menghindar hingga tidak mendengar Adzan...” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Pada
umumnya orang memahami bahwa Adzan itu hanya dikumandangkan untuk
menyeru manusia agar menunaikan Shalat dan karenanya hanya dilakukan
pada saat waktu Shalat telah tiba. Akan tetapi di antara Ulama Salaf – merujuk kepada teks ini – memiliki pemahaman lain. Muslim meriwayatkan:
عَنْ
سُهَيْلٍ قَالَ أَرْسَلَنِى أَبِى إِلَى بَنِى حَارِثَةَ - قَالَ -
وَمَعِى غُلاَمٌ لَنَا - أَوْ صَاحِبٌ لَنَا - فَنَادَاهُ مُنَادٍ مِنْ
حَائِطٍ بِاسْمِهِ - قَالَ - وَأَشْرَفَ الَّذِى مَعِى عَلَى الْحَائِطِ
فَلَمْ يَرَ شَيْئًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لأَبِى فَقَالَ لَوْ شَعَرْتُ
أَنَّكَ تَلْقَى هَذَا لَمْ أُرْسِلْكَ وَلَكِنْ
إِذَا سَمِعْتَ صَوْتًا فَنَادِ بِالصَّلاَةِ فَإِنِّى سَمِعْتُ أَبَا
هُرَيْرَةَ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ
قَالَ « إِنَّ الشَّيْطَانَ إِذَا نُودِىَ بِالصَّلاَةِ وَلَّى وَلَهُ
حُصَاصٌ »رواه مسلم
Artinya: Suhail
berkata: Aku diutus oleh ayahku ke Bani Haritsah bersama seorang
temanku. Tiba-tiba dari sebuah dinding ada suara yang memanggil nama
temanku itu. Temanku itu menghampiri dinding tadi namun tidak
mendapatkan siapa-siapa. Aku kemudian menceritakan kejadian itu kepada
ayahku. lalu ia berkata: “Sekiranya aku tahu kamu akan mendapatkan hal
tersebut, niscaya aku tidak akan mengutus kamu. Akan tetapi jika kamu
mendengar suara (tanpa rupa,pen) kumandangkanlah seruan Shalat karena
aku mendengar Abu Hurairah menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Syetan itu apabila dikumandangkan seruan Shalat (Adzan) akan berpaling sambil terkentut-kentut”. (HR Muslim).
Perhatikan
bagaimana seorang Ulama Salaf memahami sabda Rasulullah SAW dari sisi
yang berbeda dengan umumnya manusia. Ia menangkap isyarat bahwa Syetan
takut dan akan menjauh bila mendengar kalimat Adzan dikumandangkan. Oleh
karena itu ia berpendapat bahwa mengumandangkan kalimat Adzan itu
dibenarkan untuk mengusir Syetan. Apakah kita akan mengatakan bahwa ia
telah melakukan bid’ah?. Al Hamdulillah tidak seorang pun Ulama
mengatakannya demikian. Dari sini dapat dipahami bila ada di antara
manusia yang ketika mengusir Jin dari tubuh orang yang kesurupan,
mengumandangkan Adzan di telinganya.
Rasulullah
SAW sendiri berpesan agar kalimat Adzan dikumandangkan di telinga bayi
yang baru dilahirkan dengan tujuan agar bayi tersebut tidak diganggu
Syetan.
عَنْ
حُسَيْنٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ
وُلِدَ لَهُ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ
الْيُسْرَى ، لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ. رواه ابو يعلى الموصلي
Artinya: “Barangsiapa yang mendapatkan anak lalu mengumandangkan Adzan pada telinga kanannya dan Iqamat pada telinga kirinya, maka anak itu tidak akan diganggu oleh Ummu Shibyan (Kuntilanak, pen)” (HR Abu Ya’la).
Bahkan pada masa Rasulullah SAW pun Adzan digunakan untuk menyuruh orang berhenti Shalat dan membangunkan orang yang tidur agar segera bersantap sahur.
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم -
قَالَ « لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ - أَوْ أَحَدًا مِنْكُمْ - أَذَانُ
بِلاَلٍ مِنْ سَحُورِهِ ، فَإِنَّهُ يُؤَذِّنُ - أَوْ يُنَادِى - بِلَيْلٍ ،
لِيَرْجِعَ قَائِمَكُمْ وَلِيُنَبِّهَ نَائِمَكُمْ ، وَلَيْسَ أَنْ
يَقُولَ الْفَجْرُ أَوِ الصُّبْحُ » .
Artinya: “Janganlah
kalian terhalang oleh Adzan Bilal untuk makan sahur karena ia
mengumandangkan adzan masih di waktu malam hanyalah untuk menyuruh
pulang orang yang sedang Qiyamullail di antara kamu dan membangunkan
yang tidur di antara kamu serta bukan untuk memberi tahu kamu bahwa
fajar atau Subuh telah tiba” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Lalu kira-kira hikmah apa di balik penggunaan kalimat Adzan ini untuk membangunkan manusia?. Dalam sebuah Hadis disebutkan:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ - رضى الله عنه - قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ النَّبِىِّ - صلى
الله عليه وسلم - رَجُلٌ فَقِيلَ مَا زَالَ نَائِمًا حَتَّى أَصْبَحَ مَا
قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ . فَقَالَ « بَالَ الشَّيْطَانُ فِى أُذُنِهِ »رواه
البخاري ومسلم
Artinya: Seorang
laki-laki dibicarakan di hadapan Nabi SAW lalu ada yang mengatakan
bahwa ia tertidur hingga pagi dan tidak menunaikan Shalat. Maka
Rasulullah SAW bersabda: “Orang itu telinganya dikencingi Syetan” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Jika pikiran kita buruk maka kita akan mempertanyakan perbuatan Rasulullah SAW dengan mengatakan, “Apa
hubungannya santap sahur dengan Adzan?. Bukankah Adzan dikumandangkan
untuk Shalat bukan malah menghentikan Shalat atau membangunkan tidur?”. Lalu apakah kita akan katakan Rasulullah SAW tidak punya pendirian karena menugaskan Adzan sahabatnya untuk selain Shalat?
Rupanya
Khalifah Utsman Ibn Affan memahami cara pandang Rasulullah SAW sehingga
beliau menggunakan kalimat Adzan untuk menyeru manusia agar pulang dari
pasar sebagai persiapan menghadiri ibadah Jum’at. Al Bukhari dan Muslim
meriwayatkan:
عَنِ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ
أَوَّلُهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ
النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ - رضى الله
عنهما - فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ - رضى الله عنه - وَكَثُرَ النَّاسُ
زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلَى الزَّوْرَاءِ. رواه البخاري ومسلم
Artinya: Pada
mulanya seruan (Adzan) pada hari Jum’at – pada masa Nabi Muhammad SAW,
Abu Bakar dan Umar RA – adalah ketika Imam duduk di Mimbar. Ketika pada
masa Khalifah Utsman RA dimana manusia semakin banyak, maka ia
menambahkan Adzan ketiga yang dikumandangkan di Zaura. (HR Al Bukhari dan Muslim).
Dan
dari sini pula kemudian seolah menjadi tradisi apabila seorang Muslim
hendak memasuki sebuah rumah baru yang lama tidak dihuni biasanya
mengumandangkan kalimat adzan di setiap kamarnya. Untuk apa? Tidak lain
untuk mengusir Syetan. Nah, apakah yang dilakukan kaum Muslimin di
berbagai penjuru dunia dengan mengumandangkan kalimat Adzan ketika
menguburkan Jenazah ada hubungannya dengan ini?. Wallahu A’lam.
Tetapi yang jelas membatasi kalimat Adzan hanya untuk seruan Shalat dan
menganggap haram bagi yang menggunakannya untuk selainnya, perlu dikaji
lebih jauh kebenarannya. Marilah kita senantiasa memperbaiki sangka kita
kepada sesama dengan tidak menceburkan diri kepada yang kita tidak
memahaminya. Hasbunallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar