a. Firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya’ : 7 yang artinya :
“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”.
Para
ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang
yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang yang
mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini
sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah
bertaqlid kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat
diatas adalah firman Allah swt. dalam surat At-Taubah : 122 yang
artinya :
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang).
Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar
mereka dapat menjaga diri”.
Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an
jilid 8/293-294 diterangkan bahwa Allah swt. melarang manusia pergi
berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada
sebagian mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama
sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali,
maka mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada
mereka tentang perkara halal dan haram dan dapat pula memberikan
penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah swt.
b. Ijma’
ulama bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri berbeda-beda dalam tingkat
keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa. Ibnu Khaldun
berkata : ‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat)
semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua : Ada yang termasuk mufti
(yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan
minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat
yang termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang
bertaqlid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat.
Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti ketika menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti pasti menjelaskan dalil-dalil hukum itu.
Rasulallah
saw. pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama kesatu
daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali perkara yang
bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk didaerah itu
mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut, baik itu
yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara
halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu
permasalahan yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun
hadits, maka terhadap perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.
c. Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385 pada bab Taqlid dan Istifta’ bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaqlid, berkata sebagai berikut : “Kami
berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya
adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada
orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad
ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik dari ulama
mereka maupun kalangan rakyat biasa”.
d. Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata : ‘Ijma’ dimaksud adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in sebelum munculnya orang-orang yang menyimpang
yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid
dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para
ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera
tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan
orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya
orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat,
mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang
telah dikenal keahliannya dalam bidang fiqh, riwayat dan istinbath.
Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin
yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal,
Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan para sahabat nabi yang
bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.
e. Pada
zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada
zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para
sahabat Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat
digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits.
Diantara
tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah Alqamah bin Qais
an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim
bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu
bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari. Adapun
tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin
al-Musayyab al-Makhzumi; ‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar;
Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz
dan sekitarnya senantiasa bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada
seorangpun yang mengingkari.
Antara
tokoh-tokoh kedua madzhab diatas ini sering juga terjadi diskusi dan
perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan pelajar tidaklah
ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah bertaqlid
kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada
seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga
perdebatan yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban
dari tanggung jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar.
f. Syekh
Abdullah Darras berkata: “Dalil logika untuk masalah ini adalah bahwa
orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi
padanya satu masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan caranya bersikap :
Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia
melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan
meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taqlid. Untuk
yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan
melakukan penelitian itu berarti ia harus
meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan
sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni
meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan
menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada
kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajibannya
apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan hukum”.
Para
ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an,
hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga
orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad
tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada seorang
mujtahid yang mampu memahami dalil, maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya
fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya
dalil-dalil Al-Qur/an dan Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur’an
sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh
dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga
Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh
dengan fatwa seorang yang mujtahid “.
Dalam hal ini As-Syatibi berkata:
“Fatwa-fatwa
para mujtahid bagi orang-orang awam adalah seperti dalil-dalil syar’i
bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi orang-orang awam yang
taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena mereka tidak
mampu mengambil pengertian darinya. Maka masalah meneliti dalil dan
melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak
diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt.
berfirman : ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’
(Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh
karenanya, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan
kepada mereka- lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah
hukum secara mutlak. Dengan demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu
pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan
syara’ “.
Syekh Khajandi dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat telah menjadikan ucapan Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah
sebagai dalil yang betul-betul telah memperkuat pendapatnya dan
beliaupun tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang
dianggapnya sebagai ucapan dari ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah demikian adanya.
Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut diatas dan sanggahan/ jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti terhadap ucapan Syeikh Khajandi.
1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai berikut:
فَمَنْ أَخَذَ بِجَمِيعِ أَقْوَالِ أَبِي حَنِيْفَة اَوْ جَمِيْعِ أَقْـوَالِ مَالِكٍ
اَوْ جَمِيْعِ أَقْوَالِ الشَّافِعِى اَوْ جَمِيْعِ أَقْوَالِ أحْمَدَ اَوْ غَيـْرِهِمْ
وَلَمْ يَعْـتَمِدْ عَلَى مَا جَاءَ فِى الْكِتَـابِ وَ السُّنَّةِ فَقَدْ
خَالَفَ
إِجْمَاعَ الأُمَّـةِ كُلِّهَا وَالتَّبَعَ غَيْـرَ سَبِـيْلِ
المُؤْمِنِـيْنَ
Artinya : “Barangsiapa
mengambil semua ucapan Abu Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau
semua ucapan Imam Syafi’i atau semua ucapan Imam Ahmad atau yang selain
mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah,
maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’ seluruh ummat dan telah
mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukimin “. Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.
Jawaban :
Terhadap kutipan tersebut, Dr. Sa’id Ramdhan mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata :
إِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ المَذَاهِبَ الأَرْبَعَةَ الْمُدَوَّنَةَ
الْمُحَرَّرَةَ قَدِ اجْتَمَعَتِ الأُمَّةُ
اَوْ مَنْ يُعْـتَدُّ بِهِ مِنْهَا عَلَى جَوَازِ تَقْلِيْدِهَا اِلَى
يَوْمِنَا هَذَا وَ فِي ذَلِكَ
مِنَ الْمَصَالِحِ مَالاَ يَخْفَى لاَ سِيَّمَا فِى هَذِهِ الأَيَّامِ
الَّتِى قَصُرَتْ فِيْـهَا
الهِمَمُ جِدًّا وَ أُشْرِبَتِ النُّـفُوْسُ الْهَوَى وَ اَعْجَبَ كُلُّ
ذِى رَأْيٍ بِرَأْيِهِ
Artinya : “Ketahuilah
! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya
dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat
madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita
sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat
maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana
semangat (mendalami ilmu
agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan
masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “
Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.
2) Syeikh Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam
meng- haramkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan
semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau
berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain tanpa menetapi salah
seorang imam madzhab secara terus menerus.
Jawaban:
Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan
faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi
pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i. Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qowaa’idul Ahkam 11/135 :
وَيُثْتَـثْنَى
مِنْ ذَلِكَ العَامَّةُ فَإِنَّ وَظِيْفَتَهُمْ التَّقْلِيْد لِعَجْزِهِمْ
عَنِ
التَّوَصُّلِّ اِلَى مَعْرِفَةِ الأَحْكَام بِالإِجْتِهَادِ بِخِلاَفِ
الْمُجْتَهِدِ فَإِنَّهُ قَادِرٌ عَلَى النَّظْرِ الْمُؤَدِّى إِلىَ
الحُكْمِ.
وَمَنْ
قَلـَّدَ إِمَامًا مِنَ الأَئِمَّـةِ ثُمَّ اَرَادَ غَيْرَهُ فَهَلْ لَهُ
ذَلِكَ ؟
..
فِيْهِ خِلاَفٌ, وَالْمُخْـتَارُ التَّفْصِيْلُ فَإِنْ كَانَ الْمَذْهَبُ
الَّذِى
اَرَادَ الإِنْتِـقَالَ إِلَيْهِ مِمَّا يَنْقُـضُ فِيْهِ الْحُكْمَ
فَلَيْسَ
لَهُ
الإِنْتِقَالُ إِلَى حُكْمٍ يُوْجِبُ نَقْضَهُ فَإِنَّهُ لَمْ يَجِبْ
نَقْضُهُ
إلَى لِبُطْـلاَنِهِ, فَإِنْ كَانَ الاَخْذَانِ مُتَـقَارِبَِيْنِ جَازَ التَّقْلِيْدُ
وَ
الإِنْتِقَالُ لأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مِنْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ
إِلَى
أَنْ
ظَهَرَتِ الْمَذَاهِبُ الأَرْبَعَـةُ يُقَلِّدُونَ مِنِ التَّفَقَ مِنَ
العُلَمَاءِ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرِ أَحَدٍ يُعْتَـبَرُ إِنْكَارُهُ وَلَوْ
كَانَ ذَلِكَ
بَاطِلاً َلاَنْكَرُوهُ.
Artinya :
“Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad. Maka
tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak mampu mengetahui hukum
dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid yang memang
memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang
taqlid kepada seorang imam (dalam
satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa
boleh yang demikian ? Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan
yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni :
a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab yang menolak
hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum
yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan
kebatalannya.
b)
Jika dua madzhab itu berdekatan ( keputusan hukumnya dalam masalah
itu), maka boleh taqlid dan boleh pula berpindah-pindah. Hal ini karena
sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam madzhab, kaum muslimin
senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang mereka temui. Dan sikap
mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh seseorang yang patut
dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh) niscaya
mereka akan mengingkarinya”.
Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam
yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti Syeikh
Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan
meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua
orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari
Al-Qur’an maupun Hadits.
Imam
Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang taqlid harus
menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada imam
madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih
diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini
condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan
syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang
untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan
pandangannya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin
Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi
3) Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim
memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni
mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua
orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau
berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah
seorang imam madzhab secara terus menerus.
Jawaban:
Syeikh
Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul
Qoyyim akan berpendapat seperti yang tersebut diatas. Karena beliau
(Ibnul Qoyyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam madzhab yang
empat yakni madzhab Hanbali. Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168 :
ذِكْرُ تَفْصِيْلِ الْقَوْلِ فِى التَّقْلِيْدِ وَ انْقِسَامُهُ إلَى
مَا
يَحْرُمُ الْقَوْلُ فِيهِ وَالإِفْتَاءُ بِهِ وَأَلَى مَا يَجِبُ
الْمَصِيْرُ اِلَيْهِ وَاَلَى مَا يُسَوِّغُ مِنْ غَيْرِ إِيْجَابٍ.
فَأَمَّا النَّوْعُ الأَوَّلُ فَهُوَ ثَلاَثَـةُ اَنْوَاعٍ اَحَدُهُمَا
اَْلإِعْرَاضُ عَمَّا اَنْزَلَ اللهُ وَعَدَمُ الإِلْتفَاتِ إِلَيْهِ
إِكْتِفَاءً بِتَقْلِيْدِ الآبَاءِ, اَلثَّانِى : تَقْلِيْدُ مَنْ لاَ
يَعْلَمُ
الْمُقَلِّدُ اَنَّهُ اَهْلٌ لأَنْ يُؤْخَذَ بِقَوْلِهِ, اَلثَّالِثُ :
اَلتَّـقْلِيْدُ بَعْدَ قِيَامِ الحُجَّةِ وَ ظُهُورِ الدَّلِيْلِ عَلَى
خِلاَفِ قَوْلِ الْمُقَلَّدِ ثُمَّ أَطَالَ إبْنُ الْقَيِّم فِى سَرْدِ
وَ شَرْحِ اَضْرَارِ وَ مَسَاوِئِ التَّقـْلِيْدِ الْمُحَرَّمِ
اَلَّذِى حَصَرَهُ فِى هَذِهِ الأَنْوَاعِ الثَّلاَثَةِ.
Artinya
: ( “Rincian pendapat tentang taqlid dan pembagiannya kepada ijtihad
yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni taqlid yang haram
terdiri dari tiga macam: a).
Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau
memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taqlid kepada nenek
moyang. b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak. c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang ditaqlid”. Kemudian
Ibnul Qoyyim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan
keburukan dari taqlid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga
macam tersebut ).
Dengan
demikian, maka pembicaraan Ibnul Qoyyim yang panjang lebar tentang
pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah berkisar
pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang
pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul
Qoyyim mengatakan sebagai berikut :
“Apabila
dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela orang-orang kafir yang taqlid
kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula
mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang taqlid kepada
para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan mereka
untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl : 43) yakni para ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka).
Ayat
An-Nahl : 43 ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui
agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama. Jawaban
terhadap pernyataan diatas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu
adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan
lebih memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini
adalah taqlid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama
salaf dan imam madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah
mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah
diturunkan oleh Allah namun sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan
jelas lalu dia taqlid kepada orang yang lebih alim darinya, maka taqlid
yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala,
bukan mendapat dosa “.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar