Salah
satu perbedaan pendapat yang terjadi di tengah kaum Muslimin adalah
tata cara mereka menyelamatkan Akidah dari kesesatan. Mereka sepakat
berkeyakinan bahwa Allah SWT berbeda dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu
ketika terdapat dalil-dalil yang mengesankan adanya keserupaan Allah
dengan makhluk, mereka berusaha keras menghindarkan kesan tersebut.
Hanya saja – karena tujuan mulia itu – justru mereka kemudian berbeda
pendapat. Sepeninggal Ulama Salaf yang memilih berdiam diri tidak
memberikan komentar terhadap ayat-ayat mutsyabihat, mayoritas
Ulama memilih jalan ta’wil karena dianggap paling mudah diterima
orang-orang awwam dan paling aman untuk menutup pintu polemik yang
justru akan memperpanjang persoalan. Tetapi belakangan cara seperti ini
ditentang oleh Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya seperti Muhammad bin
Abdul Wahhab yang dikenal dengan aliran Wahhabi karena memang
sejak masanya-lah aliran ini dikembangkan dengan bantuan kerajaan
keluarga Sa’ud, tepatnya mulai sekitar abad XIX Masehi.
Sebagai sebuah upaya atau “Ijtihad Baru” dari seorang Ibnu Taimiyah Rahimahullah, prinsip Anti Ta’wil tentu saja tidak ada masalah karena memang merupakan haknya untuk melakukan istimbath
dari sumber aslinya, Al Qur’an dan As Sunnah, terlepas pada
kenyataannya pendapatnya itu ditolak oleh mayoritas Ulama Hatta oleh
para Ulama Madzhab Hanbali, madzhabnya Ibnu Taimiyah. Akan tetapi lain
halnya para Muqallidnya, mereka tidak punya hak untuk menunjukkan
telunjuk dengan teriakan kata bid’ah dan sesat kepada yang berbeda
dengannya. Sebabnya jelas, bahwa perkara-perkara Furu’iyah – baik itu Furu’ Al Aqidah maupun Furu’
dalam masalah Fiqh – memiliki hak yang harus dipenuhi oleh setiap
muslim. Hak itu adalah: Saling menghargai. Untuk itulah, sekedar untuk
mengingatkan sebagian pengikut aliran Anti Ta’wil agar kembali hidup
dalam kedamaian dan tidak merasa benar sendiri, berikut kami sampaikan
sebagian argumen dari kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang secara
umum menerima Ta’wil. Bahwa setelah ini masih saja ada yang kaku urat
lehernya, memang Allah memiliki hak yang tak dapat diganggu dalam
memberikan hidayah kepada hamba-hamba-Nya.
Selain
mengikuti sebagian jejak Ulama Salaf, sesungguhnya Ta’wil itu memiliki
juga dasar pijakan yang dijadikan Qiyas baik dari ayat-ayat Al Qur’an
maupun Hadis. Sebagaimana diketahui Al Qur’an adalah merupakan firman
Allah. Akan tetapi dalam Al Qur’an dikatakan:
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة:40 التكوير:19)
Artinya: “Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah ucapan Rasul yang mulia (Jibril)” (Al Haqqah:40, At Takwir:19)
Apakah
karena ayat ini kita akan mengatakan bahwa Al Qur’an itu merupakan
wahyu Jibril atau campuran antara wahyu Allah dan wahyu Jibril ?.
Barangsiapa berkeyakinan seperti itu menjadi Kafirlah ia berdasarkan
kesepakatan Ulama. Itulah sebabnya para Ulama menterjemahkan ayat
tersebut – sebagaimana dalam terjemahan Departemen Agama RI – dengan: “Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)”.
Ditambahkannya kalimat di antara dua tanda kurung pada terjemahan ini
adalah Ta’wil karena memang tidak ada pada aslinya. Barang siapa
membiarkan terjemahan ayat tersebut sesuai teks ayat aslinya niscaya
akan terjatuh dalam kesesatan karena menganggap Al Qur’an bukan firman
Allah tetapi ucapan Jibril.
Contoh lain adalah Hadis:
عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه
وسلم - قَالَ « يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ
إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ
يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ
مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ » (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Tuhan kita Tabaraka Wata’ala
turun pada setiap malam ke langit dunia pada saat sepertiga malam
terakhir seraya berseru: “Siapa yang berdo’a kepada-Ku, akan Aku
perkenankan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan dan siapa
yang memohon kepada-Ku akan Aku ampuni” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Kaum Wahhabi
memahami bahwa yang dimaksud dengan “turun” pada Hadis ini adalah bahwa
Tuhan itu benar-benar turun. Artinya yang tadinya ada di Arasy seketika
berada di langit terdekat dari bumi. Akan tetapi mayoritas Ulama
memberikan kalimat pengganti dari kalimat di atas dengan mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan “turun” di situ adalah turunnya Malaikat
Allah yang diutus untuk menyampaikan seruan, bukan Allah turun sendiri.
Perhatikan penjelasan Ulama yang menjadi rujukan para pengkaji Hadis di
seluruh dunia, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani Rahimahullah:
وَقَدْ
حَكَى أَبُو بَكْر بْن فَوْرك أَنَّ بَعْض الْمَشَايِخ ضَبَطَهُ بِضَمِّ
أَوَّله عَلَى حَذْف الْمَفْعُول أَيْ يُنْزِل مَلَكًا ، وَيُقَوِّيه مَا
رَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيق الْأَغَرّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَأَبِي
سَعِيد بِلَفْظِ " إِنَّ اللَّه يُمْهِل حَتَّى يَمْضِي شَطْر اللَّيْل ،
ثُمَّ يَأْمُر مُنَادِيًا يَقُول : هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَاب لَهُ "
الْحَدِيث . وَفِي حَدِيث عُثْمَان بْن أَبِي الْعَاصِ " يُنَادِي مُنَادٍ
هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَاب لَهُ " الْحَدِيث . قَالَ الْقُرْطُبِيّ :
وَبِهَذَا يَرْتَفِع الْإِشْكَال
Artinya:
Al Imam Abu Bakar ibn Faurak menceritakan bahwa di antara para Syekh
ada yang mendhomahkan kata “yanzilu” (artinya: Allah turun) menjadi
“Yunzilu” (artinya: Allah menurunkan) dengan membuang Obyeknya yaitu
bahwa Allah menurunkan seorang Malaikat (untuk berseru, pen). Hal ini
diperkuat oleh sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh An Nasa’i melalui
jalur Al Aghar dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id dengan redaksi: “Sesungguhnya
Allah membiarkan hingga berlalu separuh malam. Setelah itu lalu Dia
memerintahkan seorang penyeru agar berseru: “Siapa orang yang berseru
agar diperkenankan..?” (sampai akhir Hadis). Dan dalam Hadis Usman bin Abi Al Ash: “Seorang penyeru menyerukan: “Siapa orang yang berseru akan diperkenankan”
(sampai akhir Hadis). Al Imam Al Qurtubi berkata: “Dengan cara seperti
ini maka hilanglah kemusykilan memahami Hadis” (Lihat Fathul Bari Juz 3 halaman 339).
Model penta’wilan seperti ini sebenarnya telah dicontohkan oleh Allah SWT sendiri sebagaimana dalam sebuah Hadits Qudsi:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ
مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ
رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ
فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى
عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِى. قَالَ يَا
رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا
عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا
عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى يَا ابْنَ
آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ
وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ
تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى.(رواه
مسلم)
Artinya: Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah akan berfirman: “Wahai anak Aam, Aku
sakit namun kamu tidak mau menjenguk-Ku”. Anak Adam berkata: “Ya
Tuhanku, bagimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan seru
sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu bahwa seorang
hamba-Ku si Anu sakit namun engkau tidak menjenguknya. Padahal jika
engkau menjenguknya, niscaya engkau dapati Aku di dekatnya. Wahai anak
Adam, Aku meminta makan namun engkau tidak memberi-Ku makan”. Anak Adam
bertanya: “Wahai Tuhanku, bagaimanakah aku memberi makan Engkau
sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman:
“Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang meminta makan
kepadamu namun engkau tidak memberinya makan.
Padahal jika engkau memberinya makan, niscaya engkau dapati itu ada di
sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu namun engkau tidak
memberi minum Aku”. Anak Adam berkata:
“Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat memberi minum kepada Engkau
sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman:
“Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang dating meminta
minum kepadamu namun engkau tidak memberinya minum. Padahal jika engkau
memberinya minum, niscaya engkau akan mendapati itu ada di sisi-Ku” (HR
Muslim).
Rupanya
sampai hari kiamat masih saja ada anak Adam yang salah faham terhadap
firman Tuhan hingga Tuhan sendiri harus menjelaskan maksud sebenarnya.
bayangkan jika dalam Hadis Qudsi tersebut tidak dijelaskan panjang lebar
niscaya akan ada aliran yang berkeyakinan bahwa Allah itu lapar, haus
dan bahkan sakit sebagaimana makhluk-Nya. Na’udzu billah min dzalik !!!. Bagaimana pula dengan firman Allah yang menyebutkan:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ...(ألنور:35)
yang terjemah aslinya “Allah adalah cahaya langit dan bumi...”.
Apakah kita akan berkeyakinan bahwa Allah itu berupa cahaya?. tak
seorang Ulama pun mengartikannya demikian. Oleh sebab itu mereka
mengtatakan bahwa yang dituju dengan “cahaya” adalah “yang menerangi”
sehingga ayat tersebut berarti “Allah adalah Dzat yang menerangi langit
dan bumi”. Terjemahan ini dinamakan Ta’wil karena menyimpang dari kata aslinya.
Nah,
dengan “pintu” yang telah dibuka oleh Allah inilah, rasanya sudah pada
tempatnya bila para Ulama dan ummat Islam pada umumnya mempergunakan
Ta’wil sebagai jalan pengajarannya karena diyakini sebagai cara paling
aman untuk disampaikan – terutama untuk orang awwam – agar tidak
terjatuh ke dalam salah asumsi tentang Tuhannya. Bahwa saudara-saudara kita penganut aliran Wahhabi yang menamakan dirinya Salafi
tidak sependapat dan bersikukuh dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang
muncul pada abad VIII H dan belakangan dikembangkan oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab dengan bantuan kerajaan keluarga Sa’ud di Arab, itu bukan
masalah. Masalah timbul setelah orang-orang yang berstatus Muqallid
(ikut-ikutan) dengan ajarannya menisbatkan kata sesat kepada ummat
Islam pada umumnya karena melakukan Ta’wil dan tidak mau tahu argumen
kaum Muslimin itu. Semoga Allah menganugerahi kita kebijaksanaan, Amin. Hasbunallah.
H. Syarif Rahmat RA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar