Cara seperti itu (menempelkan kaki
makmum dengan Imam jika makmum hanya satu orang) sering dilakukan oleh
muslimin anti maulid dan tahlil, entah darimana mereka mengambil
dalilnya, karena bila shalat hanya berdua saja, maka makmum berada di
kanan Imam, ia tidak sejajar dengan Imam dan tidak pula di shaf kedua
dari Imam, namun ditengah tengah, demikian yang masyru’, dan bila makmum
sampai mendepani imam maka tidak sah jamaahnya, karena salah satu dari
syarat sah nya shalat jamaah adalah makmum tidak mendepani Imam. Nah..,
bila makmum ini posisinya seperti yang anda katakan, maka sudah bisa
dipastikan ia mendepani imam, karena saat makmum dalam posisi sujud, dan
Imam berdiri, maka sebelum makmun berdiri pastilah pinggang makmum
dalam posisi lebih depan dari imam, maka tidak sah jamaahnya.
Demikian pula sebagaimana disunnahkan
untuk mundurnya makmum itu bila ada makmum lain yang datang, atau Imam
yang maju, demikian diriwayatkan dalam Shahih Muslim. Maka bila imam
berdempet dengan makmum seperti kasus yang anda tanyakan itu, maka bila
datang makmum lain tentunya akan butuh banyak gerakan untuk menjadikan
shaf pemisah antara makmum dan Imam, dan itu akan membatalkan shalat
karena akan butuh melangkah hingga tiga langkah berturut – turut.
Maka selayaknya kita shalat bermakmum
dengan posisi tidak sejajar dengan Imam dan tidak pula dibelakang Imam,
tapi ditengah tengah shaf dikanan Imam. (Busyralkarim Bab Sifatusshalat
hal 276)
Dzikir berjamaah sejak zaman Rasul
shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam, sahabat, tabi’in dan
selanjutnya, tak pernah dipermasalahkan, bahkan merupakan sunnah Rasul
shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam, dan pula secara akal sehat,
semua orang mukmin akan asyik berdzikir, dan hanya syaitan yang benci
dan akan hangus terbakar dan tak tahan mendengar suara dzikir. Kita bisa
bandingkan mereka ini dari kelompok mukmin, atau kelompok syaitan yang
sesat.., dengan cara mereka yang memprotes dzikir jamaah, telinga mereka
panas, dan ingin segera kabur bila mendengar jamaah berdzikir.
Firman Allah swt : “Sabarkanlah dirimu
bersama kelompok orang – orang yang berdoa pada Tuhan mereka siang dan
malam semata – mata menginginkan keridhoan-Nya dan janganlah kau jauhkan
pandanganmu (dari mereka) untuk menginginkan keduniawian (meninggalkan
mereka memilih kumpulan lainnya”. QS. Al Kahfi : 28
Ayat ini turun ketika Salman Alfarisi ra
berdzikir bersama para sahabat, maka Allah memerintahkan Rasul
shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam dan seluruh ummatnya duduk untuk
menghormati orang – orang yang berdzikir. (rujuk Majmu’ zawaid juz 7 hal
21)
Mereka mengatakan bahwa ini tidak
teriwayatkan bentuk dan tata cara dzikirnya, Masya Allah.. Dzikir ya
sudah jelas dzikir.., menyebut Nama Allah, mengingat Allah swt, adakah
lagi ingin dicari pemahaman lain?
Sahabat Rasul radhiyallahu’anhum
mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul shollallohu ‘alayhi wa
alihi wa sallam justru malah menghindarinya, mestinya merekapun shalat
tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul shollallohu ‘alayhi wa alihi wa
sallam melakukannya lalu menghindarinya, lalu masa Khalifah Abubakar
shiddiq ra tak juga dilakukan berjhamaah, lalu mengapa Khalifah Umar ra
yang terang – benderang dengan keluhuran ini justru mengadakannya dengan
berjamaah?
Sebab mereka merasakan ada kelebihan
dalam berjamaah, yaitu syiar, Syiar..? Mereka masih butuh syiar
dibesarkan…?? Apalagi kita dimasa ini??
Kita di Majelis Majelis menjaharkan
lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung panggung maksiat yg
setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga,
berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia – manusia pendosa dan
mengelu – elukan nama mereka.. menangis, menjilati sepatu dan air seni
mereka.., suara suara itu menggema pula di televisi dirumah – rumah
muslimin, dimobil – mobil dan hampir disemua tempat.
Salahkah bila ada sekelompok muslimin
mengelu – elukan Nama Allah Yang Maha Tunggal?, menggemakan Nama Allah?,
apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi?
Seribu dalil mereka cari agar Nama Allah
tak lagi dikumandangkan.., cukup berbisik bisik..!, sama dengan komunis
yang melarang meneriakkan Nama Allah, dan melarang kumpulan dzikir..
Adakah kita masih bisa menganggap kelompok wahabi ini adalah madzhab..?
Kita Ahlussunnah waljamaah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama.
Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt
berfirman : “Bila ia (hambaku) menyebut Nama-Ku dalam dirinya maka Aku
mengingatnya dalam diriku, bila mereka menyebut (membanggakan) nama
mereka dalam kelompok yang lebih besar dan lebih mulia”. (Shahihain
Bukhari dan Muslim)
Tarekat manapun yang bertentangan dengan
syariah maka tetap sesat. Mengenai ucapan bahwa : mereka yang tidak
mempunyai syeikh maka syeikh nya adalah syaitan, ucapan itu benar, hanya
mereka saja yang gerah dengan ucapan itu, karena makna syeikh disini
adalah guru, maka makna ucapan itu adalah : barangsiapa yang tak punya
guru maka gurunya adalah syaitan.
Ucapan itu benar, karena pastilah semua
muslim itu mengenal islam dari guru, bila ia seorang non muslim dan
membaca buku dan ingin masuk islam tentunya mestilah ia bersyahadat
didepan orang muslim, maka muslim itu menjadi gurunya, demikian pula
setiap muslim yang belajar dari buku, bila ia tak faham mestilah ia
mencari orang lain untuk bertanya, dan tentunya secara hukum orang yang
ditanya itu telah menjadi gurunya.
Apa pendapat anda dengan orang yang tak
mau bertanya?, cukup hanya membaca dan bila ia tak faham ia menafsirkan
sendiri, hatinya sombong dan gengsi untuk bertanya pada orang lain, maka
siapa yang menuntunnya pada kesombongan?, syaitan tentunya.
Bahkan Rasul shollallohu ‘alayhi wa alihi
wa sallam pun mempunyai guru, yaitu Jibril as yang mengajarkan Alqur’an
pada beliau shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam, walaupun Allah
memberikan juga ilham kefahaman yang tidak melalui Jibril as, namun
tetap seluruh ayat Alqur’an tidak langsung didengar oleh Rasul
shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam dari Allah, melainkan melalui
perantara pengajar, yaitu Jibril as, sebagaimana juga diriwayatkan bahwa
Jibril as mendatangi Rasul shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam
setiap bulan ramadhan untuk mengulang – ulangi bacaan Alqur’an dengan
Rasul shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam, mengajarkan Rasul
shollallohu ‘alayhi wa alihi wa sallam cara cara shalat dll (HR
Shahihain Bukhari Muslim).
Lalu bagaimana dengan mereka yang tak mau
mempunyai guru?, tentulah syaitan gurunya, oleh sebab itu saya
membantah ucapan mereka yg mengatakan pernyataan itu salah, terkecuali
bila ada terdapat pengingkaran syariah yang jelas pada tarekat
Naqsyabandi, namun setahu saya Tarekat Naqsyabandi itu sejalan dengan
syariah, bila ada pengingkaran maka itu barangkali dari sebagian
oknumnya saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar