Artinya: “Aku melihat Rasulullah SAW memulai Shalat dengan takbir.
Beliau mengangkat kedua tangannya pada saat takbir itu hingga membuat
kedua tangannya itu sejajar dengan pundaknya. Demikian pula beliau
mengangkat tangannya seperti itu ketika Ruku’ dan ketika mengucapkan
Sami’allahu Liman Hamidah. Lalu beliau membaca “Rabbana Walakal hamdu”.
Beliau tidak melakukan seperti itu ketika bersujud dan tidak pula ketika
mengangkat kepalanya dari sujud” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menyebutkan bahwa mengangkat tangan dalam Shalat adalah “Sebatas Pundak”. Tetapi pada Hadis lain disebutkan:
Artinya: Rasulullah SAW itu apabila bertakbir mengangkat kedua tangannya
hingga sejajar dengan kedua telinganya, juga ketika ruku’ beliau
mengangkatnya sejajar telinganya dan ketika mengangkat kepalanya dari
ruku’ lalu membaca “Sami’allahu Liman hamidah” (HR Muslim).
Berdasarkan kedua Hadis ini para Ulama menetapkan bahwa mengangkat
tangan ketika takbiratul ihram adalah sebatas pundak atau sebatas daun
telinga. Ini adalah pilihan yang ditawarkan sejumlah Ulama termasuk
Ulama Wahhabi Mutaakhkhirin semisal Syekh Utsaimin Rahimahullah. Akan
tetapi sejumlah Ulama terdahulu menetapkan bahwa kedua Hadis tersebut
dapat digabungkan maknanya. Kata mereka mengangkat kedua tangan ketika
shalat itu adalah setinggi bahu namun jari telunjuknya sejajar dengan
daun telinga. Model ini adalah yang dipegangi oleh mayoritas Ulama
karena menggabungkan dua dalil. Hal ini diperkuat oleh sebuah Hadis yang
diriwayatkan Abu Dawud:
Artinya: Dari Abdul Jabbar bin Abu Wa’il bahwasanya
ia melihat Rasulullah SAW ketika berdiri untuk Shalat, beliau SAW
mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya
sementara jari telunjuknya sejajar dengan telinganya kemudian bertakbir.
(HR Abu Dawud).
Tetapi belakangan ini marak di Indonesia
pengikut satu aliran yang kalau bertakbiratul ihram sangat “kikir” untuk
mengangkat tangan. Mereka mengangkat kedua tangannya sebatas dada
dengan jari nyaris mengepal dan posisi tangan seperti hendak menerkan.
Model ini dapat dikatakan bid’ah karena tidak ada tuntunannya dan tidak
dikerjakan oleh kaum Muslimin selama ini.
2. Meletakkan Tangan di Dada Bagian Atas
Benar terdapat sebuah hadis yang menyebutkan bahwa ketika berdiri kaum
muslimin diperintah agar bersedekap dengan meletakkan tangan kanan
menumpang di tangan kiri sebatas dada. Ketentuan ini didasarkan kepada
sejumlah Hadis, antara lain:
Artinya: “Wail bin Hujr
mengatakan bahwa ia melihat Rasulullah SAW menunaikan shalat: Rasulullah
SAW menyelimutkan kainnya kemudian meletakkan tangan kanannya di atas
tangan kirinya. Ketika hendak ruku’ beliau mengeluarkan kedua tangannya
dari kain itu kemudian mengangkat keduanya kemudian bertakbir lalu
ruku’. Lalu ketika mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” beliau
mengangkat kembali kedua tangannya dan pada waktu sujud beliau sujud di
antara dua telapak tangannya” (HR Muslim).
Sebagian orang –
belakangan ini – ketika bersedekap meletakkan tangannya tepat di dadanya
bahkan ada yang di bagian atasnya. Padahal Imam Muslim sendiri
memberikan judul untuk Hadis tersebut dengan:
Yang artinya “BAB TENTANG MELETAKKAN
TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI SETELAH TAKBIRATUL IHRAM DI BAWAH
DADANYA DAN DI ATAS PUSARNYA SERTA MELETAKKAN KEDUANYA DI BUMI (LANTAI,
PEN) SEBATAS PUNDAKNYA KETIKA SUJUD”.
Lalu dari manakah
orang-orang tadi memahami Hadis di atas dengan pengertian “dada” dalam
keseharian kita?. Itulah akibat dari kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah
tanpa memperhatikan petunjuk pelaksanaan yang dilakukan para Ulama
sebelumnya.
3. Sedekap saat I’tidal
Mayoritas Ulama
menetapkan bahwa selepas I’tidal tangan dilepaskan terjulur ke bawah.
Tetapi sebagian orang mengharuskan kembali bersedekap. Amaliah ini
dilakukan oleh banyak orang dari penganut madzhab Wahhabi dengan alas an
mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi hal tersebut disanggah oleh
Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah yang mengatakan bahwa
bersedekap saat I’tidal adalah bid’ah dan tidak terdapat dalam fatwa
Imam Ahmad. Berikut penjelasannya:
Artinya: “Maksud Hadis ini jelas sekali yaitu keharusan tuma’ninah dalam
berdiri. Adapun istidlal sebagian saudara kita dari penduduk Hijaz dan
lainnya dengan Hadis ini atas disyari’atkannya meletakkan tangan kanan
di atas tangan kiri pada berdiri ini, adalah jauh sekali dari seluruh
riwayat Hadis. Bahkan ini adalah istidlal batil karena meletakkan tangan
seperti ini sama sekali tidak disebutkan sekali saja dalam jalur jalur
Hadis maupun lafalnya ..... (sampai ucapannya) Dan aku tidak ragu lagi
mengatakan bahwa meletakkan tangan di atas dada dalam duduk I’tidal ini
adalah Bid’ah dan kesesatan karena sama sekali tidak ada dalam
hadis-hadis shalat – padahal amat banyak –sekiranya ia memiliki dasar
niscaya dinukil kepada kita sekalipun hanya melalui satu jalur. Hal ini
diperkuat oleh kenyataan bahwa tak seorang pun Ulama Salaf
mengerjakannya dan – sepengetahuanku – tidak pula ada seorang saja di
antara Imam Hadis yang menyebutkannya” (Shifatu Shalat An Nabi, halaman
105)
4. Sujud dengan Melompat
Syari’at telah
menetapkan bahwa cara turun ketika hendak sujud adalah dengan meletakkan
lutut terlebih dahulu. Namun sebagian Ulama meletakkan tangan terlebih
dahulu. Kedua ini merupakan khilafiyah yang sudah berjalan di kalangan
Ulama. Tetapi belakangan terdapat sekelompok orang yang mengerjakannya
dengan “aneh”. Mereka meletakkan tangan kemudian memindahkannya ke depan
(seperti melompat) untuk memanjangkan posisi badannya. Jadi, dalam
sekali sujud mereka meletakkan tangan dua kali. Ini adalah bid’ah yang
tidak dikenal di kalangan Ulama sepanjang zaman. Tetapi di Indonesia
sekarang banyak dilakukan terutama oleh yang mengaku “Kembali Kepada Al
Qur’an dan Sunnah”.
5. Bangkit dengan Mengepalkan Tangan
Ketika bangkit dari sujud dan hendak bediri terdapat dua pendapat
Ulama. Sebagian mengatakan bertumpu pada lutut dan sebagian bertumpu
dengan kedua tangannya seperti orang yang mengaduk tepung. Yang dimaksud
dengan “seperti mengaduk tepung” dalam hadis adalah bertumpu pada kedua
telapak tangan. Tetapi baru-baru ini, muncul satu aliran yang ketika
bangkit dari sujud itu mengepalkan tangan beralasan dengan Hadis
“Mengaduk tepung” itu. Pendapat dan praktek seperti ini adalah Bid’ah
karena sama sekali tidak pernah ada di dunia Islam. Kesalahan mereka
adalah dalam memahami hadis “Mengaduk Tepung” itu. Mereka mengira yang
namanya mengaduk tepung itu sama dengan memeras ampas kelapa. Barangkali
mereka belum pernah menyaksikan orang mengaduk tepung. Wallahu A’lam.
6. Menggerakkan Jari tanpa Henti
Para Ulama berbeda pendapat mengenai jari telunjuk saat tasyahhud
(tahiyyat). Mayoritas Ulama mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk
tanpa menggerak-gerakkannya. Mereka menggabungkan dua dalil dalam
masalah ini. tetapi sebagian Ulama menggerak-gerakkan jarinya pada waktu
memanjatkan do’a, bukan dari awal tasyahhud. Kelompok ini pun terbagi
menjadi dua. Kelompok pertama menggerakkan jarinya ke atas ke bawah
dengan gerakan besar. Adapun kelompok kedua, di antaranya dianut Albani,
mengatakan bahwa cara di atas salah sebab yang demikian itu namanya
bukan menggerakkan melainkan “Mengangkat dan Menurunkan” atau “Turun
Naik”. Dengan demikian, menggerak-gerakkan jari telunjuk sejak awal
tasyahhud tidak ada dasarnya. Dalam sebuah Hadis dikatakan:
…وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ
قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ
إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “… Rasulullah SAW meletakkan siku tangan kanannya di atas paha
kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya dan membentuk
lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan kulihat
menggerakkannya berdo’a dengannya” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Jadi jelas, menggerakkan jari itu dimulai pada saat membaca do’a bukan
dari awal tahiyyat. Lalu atas dasar apakah orang-orang menggerakkan
jarinya semenjak baru duduk tahiyyat?
7. Menggerakkan Jari Ketika Duduk di Antara Dua Sujud
Ini lebih aneh dari yang sebelumnya. Seorang Ulama menfatwakan bahwa
menggerakkan jari telunjuk itu bukan hanya waktu tasyahhud melainkan
juga pada duduk di antara dua sujud. Fatwa ini – sepengetahuan kami –
pertama kali dikeluarkan oleh Syekh Utsaimin Rahimahullah. Dalam
fatawanya disebutkan:
Artinya: Yang mulia Syekh Utsaimin ditanya, “Apakah ada dalil Hadis
shahih berkenaan dengan menggerakkan telunjuk saat duduk di antara dua
sujud ?”. Maka beliau menjawab: “Benar terdapat Hadis Shahih di dalam
Shahih Muslim bersumber dari Ibnu Umar RA “bahwasanya Nabi SAW itu
apabila duduk di dalam Shalat dan berdzikir berisyarat dengan
telunjuknya” dan dalam satu dengan lafazh “apabila duduk dalam
tasyahhud”. Maka lafazh pertama adalah umum dan lafazh kedua adalah
khusus, dalam kai’dah ada ketentuan bahwa penyebutan sesuatu yang khusus
dengan hukum yang sejalan dengan yang umum tidak menghendaki takhsis.
Contoh dalam masalah ini adalah bila ada seseorang yang lain berkata,
“Muliakanlah para pencari ilmu”. Dan ia pun berkata pula kepadanya:
“Muliakanlah Muhammad”, sementara si Muhammad itu salah seorang di
antara para pencari ilmu, ini tidak berarti bahwa ia tidak harus
memuliakan pencari ilmu yang lain”. Para Ulama Ushul telah mengemukakan
masalah ini dan Asy Syinqithi – Rahimahullah – mengemukakannya dalam
kitabnya Adhwa Al Bayan. (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il, Syekh Utsaimin Juz
13 halaman 191-192).
Fatwa ini tidak pelak lagi dikecam oleh Syekh Albani. Albani mengatakan:
Artinya: Dan adapun berisyarat (menunjuk) pada saat duduk di antara dua
sujud sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian mereka pada hari ini,
tidak ada dasarnya kecuali dalam riwayat Abdurrazzaq dalam hadis Wa’il
bin Hujur dan Hadis tersebut adalah Syadz sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya ketika membahas Hadis sebelum ini dengan penjelasan yang
tidak anda dapatkan di tempat lain. Segala puji bagi Allah atas
taufiq-Nya dan aku memohon tambahan anugerah kepada-Nya. (Lihat Kitab
Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, Juz 5, halaman 314 pada pembahasan
Hadis nomor 2248 ).
Jadi fatwa Syekh Utsaimin di atas menurut Syekh Albani adalah Bid’ah. Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar