http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Jumat, 26 Oktober 2012

dzikir dan jabatan tangan

Dzikir Jahar setelah shalat fardu adalah Sunnah berdasarkan Hadis:
 
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَخْبَرَهُ أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم   (رواه البخاري ومسلم)  
 
Artinya: Bahwasanya Ibnu Abbas RA berkata memberitahukan bahwa berdzikir dengan mengangkat suara ketika orang-orang selesai menunaikan shalat fardu itu ada pada zaman nabi Muhammad SAW” (HR Al Bukhar dan Muslim).
 
Demikian juga berjabatan tangan merupakan Sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW:
 
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا ».(رواه احمد وابوداود والترمذي وابن ماجة)
 
Artinya: “Tidaklah dua orang Muslim bertemu lalu berjabatan-tangan, kecuali Allah akan mengampuni dosa-dosa keduanya sebelum mereka berpisah” (HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah).
 
Dengan kedua keterangan ini maka yang anda lakukan sudah benar dan mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tindakan ketua DKM yang melarang anda adalah perbuatan bid’ah sesat menyesatkan. Kepada kaum Muslimin – terutama jamaah Masjid tersebut – wajib menasehati dan menyadarkan ketua DKM tersebut. Dan jika tidak mau merubah kelakuannya maka wajib menggantinya. Wallahu A’lam.
 
Pertanyaan: Di kala sekelompok orang berdzikir bertasbih untuk mengingat Allah ada segelintir orang yang bilang “ini bid’ah” apa yang harus saya lakukan pak Kyai? Apakah para sahabat, tabi’in atau Ulama tidak ada yang pernah melakukannya?  Pak Kyai mohon penjelasan agar bisa mengobati rasa gundah kami pak Kyai, Terima kasih. (Abdul Hannan).
 
Jawaban: Berdzikir berjama’ah itu Sunnah hukumnya sesuai – antara lain – Hadis:
 
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِي مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّي وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلْإِسْلَامِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلَّا ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلَّا ذَاكَ قَالَ أَمَا إِنِّي لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ وَلَكِنَّهُ أَتَانِي جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِي أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِي بِكُمْ الْمَلَائِكَةَ.رواه مسلم
Artinya: “Mu’awiyah keluar menuju satu riungan di Masjid. Ia bertanya kepada orang-orang: “Apa yang mendorong kalian duduk berkumpul di sini ?”. Mereka berkata: “Kami duduk di sini berdzikir kepada Allah”. Mu’awiyah bertanya lagi: “Benarkah tak ada yang mendorong kalian duduk di sini selain dzikrullah ?”. Mereka menjawab: “Demi Allah, tak ada yang mendorong kami duduk duduk di sini kecuali dzikrullah”. Mu’awiyah berkata: “Sungguh, aku tidak menyumpah kalian karena ragu-ragu, tetapi karena ada suatu kejadian pada Rasulullah SAW ketika beliau keluar tiba tiba mendapatkan sahabatnya duduk-duduk dalam satu riungan. Rasulullah SAW bertanya: “Apakah yang mendorong kalian melakukan hal ini ?”. Mereka menjawab: “kami duduk-duduk bedzikir dan memuji Allah karena hidayah yang telah diberikan-Nya kepada kami sehingga kami memeluk Agama Islam”. Nabi kemudian bertanya: “Demi Allah kalian tidak duduk-duduk selain karena itu ?”. Mereka menjawab: “Demi Allah kami tidak duduk-duduk kecuali karena itu”. Maka beliau SAW bersabda: “Aku menyumpah kalian bukan karena ragu-ragu, melainkan karena barusan Jibril datang kepadaku memberitahukan bahwa Allah Azza wa Jalla membanggakan kalian semua di hadapan para Malaikat-Nya” (HR Muslim).
Rasulullah SAW bahkan memerintahkan orang beriman agar mampir apabila ada majelis dzikir.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعُوا قَالُوا وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ قَالَ حِلَقُ الذِّكْرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ مِنْ حَدِيثِ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ.رواه الترمذي
Artinya: “Jika kalian melalui taman-taman Surga, singgahlah”. para sahabat bertanya: “Apakah yang dimaksud dengan taman-taman Surga itu ?” Rasulullah SAW bersabda: “Riungan Dzikir”.(HR At Tirmidzi)
Berdasarkan keterangan ini kita wajib berbaik sangka, para sahabat , tabi’in dan para  Ulama Salaf pasti melakukannya. Dan itulah yang kita dapatkan dari pendahulu kita secara turun-temurun. Maka apabila ada orang mengatakan bid’ah kepada orang yang sedang dzikir berjama’ah, yang sebaiknya anda lakukan adalah membaca isti’adzah (memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan Syetan) karena sesungguhnya ia adalah Syetan dalam wujud manusia. Wallahu A’lam
 
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

model shalat baru



Belakangan di Indonesia muncul shalat yang tidak dikenal sebelumnya. Di antara shalat itu adalah:

1. Mengangkat Tangan Sebatas Dada

Ketentuan mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram adalah sebagaimana dalam Hadis:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ - رضى الله عنهما - قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - افْتَتَحَ التَّكْبِيرَ فِى الصَّلاَةِ ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ فَعَلَ مِثْلَهُ ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَعَلَ مِثْلَهُ وَقَالَ « رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ » . وَلاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ حِينَ يَسْجُدُ وَلاَ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ السُّجُودِ . (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Aku melihat Rasulullah SAW memulai Shalat dengan takbir. Beliau mengangkat kedua tangannya pada saat takbir itu hingga membuat kedua tangannya itu sejajar dengan pundaknya. Demikian pula beliau mengangkat tangannya seperti itu ketika Ruku’ dan ketika mengucapkan Sami’allahu Liman Hamidah. Lalu beliau membaca “Rabbana Walakal hamdu”. Beliau tidak melakukan seperti itu ketika bersujud dan tidak pula ketika mengangkat kepalanya dari sujud” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menyebutkan bahwa mengangkat tangan dalam Shalat adalah “Sebatas Pundak”. Tetapi pada Hadis lain disebutkan:

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِىَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». فَعَلَ مِثْلَ ذَلِكَ. (رواه مسلم)

Artinya: Rasulullah SAW itu apabila bertakbir mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua telinganya, juga ketika ruku’ beliau mengangkatnya sejajar telinganya dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ lalu membaca “Sami’allahu Liman hamidah” (HR Muslim).

Berdasarkan kedua Hadis ini para Ulama menetapkan bahwa mengangkat tangan ketika takbiratul ihram adalah sebatas pundak atau sebatas daun telinga. Ini adalah pilihan yang ditawarkan sejumlah Ulama termasuk Ulama Wahhabi Mutaakhkhirin semisal Syekh Utsaimin Rahimahullah. Akan tetapi sejumlah Ulama terdahulu menetapkan bahwa kedua Hadis tersebut dapat digabungkan maknanya. Kata mereka mengangkat kedua tangan ketika shalat itu adalah setinggi bahu namun jari telunjuknya sejajar dengan daun telinga. Model ini adalah yang dipegangi oleh mayoritas Ulama karena menggabungkan dua dalil. Hal ini diperkuat oleh sebuah Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud:

عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ وَائِلٍ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ أَبْصَرَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- حِينَ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى كَانَتَا بِحِيَالِ مَنْكِبَيْهِ وَحَاذَى بِإِبْهَامَيْهِ أُذُنَيْهِ ثُمَّ كَبَّرَ. (رواه ابو داود)

Artinya: Dari Abdul Jabbar bin Abu Wa’il bahwasanya ia melihat Rasulullah SAW ketika berdiri untuk Shalat, beliau SAW mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan kedua pundaknya sementara jari telunjuknya sejajar dengan telinganya kemudian bertakbir. (HR Abu Dawud).

Tetapi belakangan ini marak di Indonesia pengikut satu aliran yang kalau bertakbiratul ihram sangat “kikir” untuk mengangkat tangan. Mereka mengangkat kedua tangannya sebatas dada dengan jari nyaris mengepal dan posisi tangan seperti hendak menerkan. Model ini dapat dikatakan bid’ah karena tidak ada tuntunannya dan tidak dikerjakan oleh kaum Muslimin selama ini.

2. Meletakkan Tangan di Dada Bagian Atas

Benar terdapat sebuah hadis yang menyebutkan bahwa ketika berdiri kaum muslimin diperintah agar bersedekap dengan meletakkan tangan kanan menumpang di tangan kiri sebatas dada. Ketentuan ini didasarkan kepada sejumlah Hadis, antara lain:

عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ وَمَوْلًى لَهُمْ أَنَّهُمَا حَدَّثَاهُ عَنْ أَبِيهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ - وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ - ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ ثُمَّ رَفَعَهُمَا ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ فَلَمَّا قَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ». رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ. (رواه مسلم)

Artinya: “Wail bin Hujr mengatakan bahwa ia melihat Rasulullah SAW menunaikan shalat: Rasulullah SAW menyelimutkan kainnya kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika hendak ruku’ beliau mengeluarkan kedua tangannya dari kain itu kemudian mengangkat keduanya kemudian bertakbir lalu ruku’. Lalu ketika mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah” beliau mengangkat kembali kedua tangannya dan pada waktu sujud beliau sujud di antara dua telapak tangannya” (HR Muslim).

Sebagian orang – belakangan ini – ketika bersedekap meletakkan tangannya tepat di dadanya bahkan ada yang di bagian atasnya. Padahal Imam Muslim sendiri memberikan judul untuk Hadis tersebut dengan:

باب وَضْعِ يَدِهِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى بَعْدَ تَكْبِيرَةِ الإِحْرَامِ تَحْتَ صَدْرِهِ فَوْقَ سُرَّتِهِ وَوَضْعِهِمَا فِى السُّجُودِ عَلَى الأَرْضِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ.

Yang artinya “BAB TENTANG MELETAKKAN TANGAN KANAN DI ATAS TANGAN KIRI SETELAH TAKBIRATUL IHRAM DI BAWAH DADANYA DAN DI ATAS PUSARNYA SERTA MELETAKKAN KEDUANYA DI BUMI (LANTAI, PEN) SEBATAS PUNDAKNYA KETIKA SUJUD”.

Lalu dari manakah orang-orang tadi memahami Hadis di atas dengan pengertian “dada” dalam keseharian kita?. Itulah akibat dari kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah tanpa memperhatikan petunjuk pelaksanaan yang dilakukan para Ulama sebelumnya.

3. Sedekap saat I’tidal

Mayoritas Ulama menetapkan bahwa selepas I’tidal tangan dilepaskan terjulur ke bawah. Tetapi sebagian orang mengharuskan kembali bersedekap. Amaliah ini dilakukan oleh banyak orang dari penganut madzhab Wahhabi dengan alas an mengikuti Imam Ahmad bin Hanbal. Tetapi hal tersebut disanggah oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah yang mengatakan bahwa bersedekap saat I’tidal adalah bid’ah dan tidak terdapat dalam fatwa Imam Ahmad. Berikut penjelasannya:

اِنَّ الْمُرَادَ مِنْ هَذَا الْحَدِيْثِ بَيِّنٌ وَاضِحٌ وَهُوَ الْاِطْمِئْنَانُ فِيْ هَذَا الْقِيَامِ. وَاَمَّا اسْتِدْلَالُ بَعْضِ اِخْوَانِنَا مِنْ اَهْلِ الْحِجَازِ وَغَيْرِهَا بِهَذَاالْحَدِيْثِ عَلَى مَشْرُوْعِيَةِ وَضْعِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فِيْ هَذَاالْقٍِيَامِ فَبَعِيْدٌ جِدًّا عَنْ مَجْمُوْعِ رِوَايَاتِ الْحَدِيْثِ بَلْ هُوَ اسْتِدْلَالٌ بَاطِلٌ لِأَنَّ الْوَضْعَ الْمَذْكُوْرَ لَمْ يَرِدْ لَهُ ذِكْرٌ فِي الْقِيَامِ الْاَوَّلِ فِيْ شَيْئٍ مِنْ طُرُقِ الْحَدِيْثِ وَاَلَفاِظِه …وَلَسْتُ اَشُكُّ فِيْ اَنَّ وَضْعَ الْيَدَيْنِ عَلَى الصَّدْرِ فِيْ هَذَاالْقِيَامِِ بِدْعَةٌ وَضَلَالَةٌ لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ مُطْلَقًا فِيْ شَيْئٍ مِنْ اَحَادِيْثِ الصَّلَاةِ – وَمَا اَكْثَرَهَا – وَلَوْ كَانَ لَهُ اَصْلٌ لَنُقِلَ اِلَيْنَا وَلَوْ عَنْ طَرِيْقٍ وَاحِدٍ وَيُؤَيِّدُهُ اَنَّ اَحَدًا مِنَ السَّلَفِ لَمْ يَفْعَلْهُ وَلَا ذَكَرَهُ اَحَدٌ مِنْ اَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ فِيْمَا اَعْلَمُ.

Artinya: “Maksud Hadis ini jelas sekali yaitu keharusan tuma’ninah dalam berdiri. Adapun istidlal sebagian saudara kita dari penduduk Hijaz dan lainnya dengan Hadis ini atas disyari’atkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada berdiri ini, adalah jauh sekali dari seluruh riwayat Hadis. Bahkan ini adalah istidlal batil karena meletakkan tangan seperti ini sama sekali tidak disebutkan sekali saja dalam jalur jalur Hadis maupun lafalnya ..... (sampai ucapannya) Dan aku tidak ragu lagi mengatakan bahwa meletakkan tangan di atas dada dalam duduk I’tidal ini adalah Bid’ah dan kesesatan karena sama sekali tidak ada dalam hadis-hadis shalat – padahal amat banyak –sekiranya ia memiliki dasar niscaya dinukil kepada kita sekalipun hanya melalui satu jalur. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa tak seorang pun Ulama Salaf mengerjakannya dan – sepengetahuanku – tidak pula ada seorang saja di antara Imam Hadis yang menyebutkannya” (Shifatu Shalat An Nabi, halaman 105)

4. Sujud dengan Melompat

Syari’at telah menetapkan bahwa cara turun ketika hendak sujud adalah dengan meletakkan lutut terlebih dahulu. Namun sebagian Ulama meletakkan tangan terlebih dahulu. Kedua ini merupakan khilafiyah yang sudah berjalan di kalangan Ulama. Tetapi belakangan terdapat sekelompok orang yang mengerjakannya dengan “aneh”. Mereka meletakkan tangan kemudian memindahkannya ke depan (seperti melompat) untuk memanjangkan posisi badannya. Jadi, dalam sekali sujud mereka meletakkan tangan dua kali. Ini adalah bid’ah yang tidak dikenal di kalangan Ulama sepanjang zaman. Tetapi di Indonesia sekarang banyak dilakukan terutama oleh yang mengaku “Kembali Kepada Al Qur’an dan Sunnah”.

5. Bangkit dengan Mengepalkan Tangan

Ketika bangkit dari sujud dan hendak bediri terdapat dua pendapat Ulama. Sebagian mengatakan bertumpu pada lutut dan sebagian bertumpu dengan kedua tangannya seperti orang yang mengaduk tepung. Yang dimaksud dengan “seperti mengaduk tepung” dalam hadis adalah bertumpu pada kedua telapak tangan. Tetapi baru-baru ini, muncul satu aliran yang ketika bangkit dari sujud itu mengepalkan tangan beralasan dengan Hadis “Mengaduk tepung” itu. Pendapat dan praktek seperti ini adalah Bid’ah karena sama sekali tidak pernah ada di dunia Islam. Kesalahan mereka adalah dalam memahami hadis “Mengaduk Tepung” itu. Mereka mengira yang namanya mengaduk tepung itu sama dengan memeras ampas kelapa. Barangkali mereka belum pernah menyaksikan orang mengaduk tepung. Wallahu A’lam.

6. Menggerakkan Jari tanpa Henti

Para Ulama berbeda pendapat mengenai jari telunjuk saat tasyahhud (tahiyyat). Mayoritas Ulama mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk tanpa menggerak-gerakkannya. Mereka menggabungkan dua dalil dalam masalah ini. tetapi sebagian Ulama menggerak-gerakkan jarinya pada waktu memanjatkan do’a, bukan dari awal tasyahhud. Kelompok ini pun terbagi menjadi dua. Kelompok pertama menggerakkan jarinya ke atas ke bawah dengan gerakan besar. Adapun kelompok kedua, di antaranya dianut Albani, mengatakan bahwa cara di atas salah sebab yang demikian itu namanya bukan menggerakkan melainkan “Mengangkat dan Menurunkan” atau “Turun Naik”. Dengan demikian, menggerak-gerakkan jari telunjuk sejak awal tasyahhud tidak ada dasarnya. Dalam sebuah Hadis dikatakan:

…وَجَعَلَ حَدَّ مِرْفَقِهِ الْأَيْمَنِ عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ وَحَلَّقَ حَلْقَةً ثُمَّ رَفَعَ إِصْبَعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “… Rasulullah SAW meletakkan siku tangan kanannya di atas paha kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan kulihat menggerakkannya berdo’a dengannya” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Jadi jelas, menggerakkan jari itu dimulai pada saat membaca do’a bukan dari awal tahiyyat. Lalu atas dasar apakah orang-orang menggerakkan jarinya semenjak baru duduk tahiyyat?

7. Menggerakkan Jari Ketika Duduk di Antara Dua Sujud

Ini lebih aneh dari yang sebelumnya. Seorang Ulama menfatwakan bahwa menggerakkan jari telunjuk itu bukan hanya waktu tasyahhud melainkan juga pada duduk di antara dua sujud. Fatwa ini – sepengetahuan kami – pertama kali dikeluarkan oleh Syekh Utsaimin Rahimahullah. Dalam fatawanya disebutkan:

وَسُئِلَ فَضِيْلَةُ الشَّيْخِ: هَلْ وَرَدَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ فِيْ تَحْرِيْكِ السَّبَابَةِ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ فِي الصَّلَاةِ؟فَأَجَابَ فَضِيْلَتُهُ بِقَوْلِهِ: نَعَمْ، وَرَدَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ فِيْ صَحِيْحِ مُسْلِمٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ – رضي الله عنهما – أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَعَدَ فِي الصَّلَاةِ وَذَكَرَ أَنَّهُ يُشِيْرُ بِإِصْبُعِهِ، وَفِيْ لَفْظٍ، إِذَا قَعَدَ فِي التَّشَهُّدِ. فَاللَّفْظُ الْأَوَّلُ عَامٌ، وَالثَّانِيْ خَاصٌ، وَالْقَاعِدَةُ أَنَّ ذِكْرَ الْخَاصِ بِحُكْمٍ يُوَافِقُ الْعَامَ لَا يَقْتَضِي التَّخْصِيْصَ، وَمِثَالُ ذَلِكَ أَنْ يَقُوْلَ رَجُلٌ لِآخَرَ: أَكْرِمْ طَلَبَةَ الْعِلْمِ، وَيَقُوْلُ لَهُ: أَكْرِمْ مُحَمَّدًاً، وَمُحَمَّدٌ مِنْ طَلَبَةِ الْعِلْمِ، فَهَذَا لَا يَقْتَضِيْ أَنَّهُ لَا يُكْرِمُ بَقِيَّةَ طَلَبَةِ الْعِلْمِ، وَقَدْ نَصَّ عُلَمَاءُ الْأُصُوْلِ عَلَى هَذَا، وَذَكَرَهُ الشَّيْخُ الشِّنْقِيْطِيُّ – رحمه الله – فِيْ أَضْوَاءِ الْبَيَانِ.

Artinya: Yang mulia Syekh Utsaimin ditanya, “Apakah ada dalil Hadis shahih berkenaan dengan menggerakkan telunjuk saat duduk di antara dua sujud ?”. Maka beliau menjawab: “Benar terdapat Hadis Shahih di dalam Shahih Muslim bersumber dari Ibnu Umar RA “bahwasanya Nabi SAW itu apabila duduk di dalam Shalat dan berdzikir berisyarat dengan telunjuknya” dan dalam satu dengan lafazh “apabila duduk dalam tasyahhud”. Maka lafazh pertama adalah umum dan lafazh kedua adalah khusus, dalam kai’dah ada ketentuan bahwa penyebutan sesuatu yang khusus dengan hukum yang sejalan dengan yang umum tidak menghendaki takhsis. Contoh dalam masalah ini adalah bila ada seseorang yang lain berkata, “Muliakanlah para pencari ilmu”. Dan ia pun berkata pula kepadanya: “Muliakanlah Muhammad”, sementara si Muhammad itu salah seorang di antara para pencari ilmu, ini tidak berarti bahwa ia tidak harus memuliakan pencari ilmu yang lain”. Para Ulama Ushul telah mengemukakan masalah ini dan Asy Syinqithi – Rahimahullah – mengemukakannya dalam kitabnya Adhwa Al Bayan. (Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il, Syekh Utsaimin Juz 13 halaman 191-192).

Fatwa ini tidak pelak lagi dikecam oleh Syekh Albani. Albani mengatakan:

وَأَمَّا الْإِشَارَةُفِي الْجَلْسَةِ الَّتِيْ بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ الَّتِيْ يَفْعَلُهَا بَعْضُهُمْ الْيَوْمَ ، فَلَا أَصْلَ لَهَا إِلَّا فِيْ رِوَايَةٍ لِعَبْدِ الرَّزَّاقِ فِيْ حَدِيْثِ وَائِلِ بْنِ حثجُرٍ وَ هِيَ شَاذَّةٌ كَمَا تَقَدَّمَ بَيَانُهُ فِي الْحَدِيْثِ الَّذِيْ قَبْلَهُ بَيَانًا لَا تَرَاهُ فِيْ مَكَانٍ آخَرَ وَالْحَمْدُ لِلهِ عَلَى تَوْفِيْقِهِ ، وَ أَسْأَلُهُ الْمَزِيْدَ مِنْ فَضْلِهِ .

Artinya: Dan adapun berisyarat (menunjuk) pada saat duduk di antara dua sujud sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian mereka pada hari ini, tidak ada dasarnya kecuali dalam riwayat Abdurrazzaq dalam hadis Wa’il bin Hujur dan Hadis tersebut adalah Syadz sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya ketika membahas Hadis sebelum ini dengan penjelasan yang tidak anda dapatkan di tempat lain. Segala puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku memohon tambahan anugerah kepada-Nya. (Lihat Kitab Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah, Juz 5, halaman 314 pada pembahasan Hadis nomor 2248 ).

Jadi fatwa Syekh Utsaimin di atas menurut Syekh Albani adalah Bid’ah. Wallahu A’lam

KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

basmalah pada AL-FATIHAH

membaca surah AL-FATIHAH merupakan rukun shalat ,baik shalat fardu maupun sunnahhal ini di dasarkan pada hadist nabi : dari ubadah bin shamit, nabi S.A.W. menyampaikan padanya bahwa tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca surah AL-FATIHAH (H.R MUSLIM)sementara basmalah merupakan ayat dari surah AL-FATIHAH,maka tidak sah jika seseorang shalat tanpA MEMBACA BASMALAH. berdasarksan firman alloh S.W.T. '' dan sungguh kami telah berikan kepada mu ( nabi muhamad )tujuh ayat yang berulang-ulang dan alquran yang agung ( Q.S hijr;87 ) dan yang di maksud dengan tujuh ayat yang berulang-ulang adalh surah AL-FATIHAH karena AL-FATIHAH sendiri terdiri dari ayat yang dibaca secara berulang-ulang pada tiap-tiap rakaat shalat,dan ayat pertama adalah basmalah.dalam sebuah hadist disebutkan dari abu hurairoh beliau berkata ;rosul saw bersabda alhamdu lillahi rabbil 'alamin merupakan induk al-qur'an, pokoknya kitab (H.R. ABU DAWUD ) berdasarkan dalil diatas imam syafi'i mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari ayat tujuh dalam surat al-fatihah,jika ditinggalkan baik seluruhnya atau sebagian maka rakaat shalatnya tidak sah.maka imam syafi'i RA menyatakn bahwa basmalah merupakan tujuh ayat dari surah al-fatihah apabila ditinggalkan atau tidak dibaca sebagian ayatnya maka rakaatnya tidak sah (al umm,juz 1,hal 129 ) karena merupakan bagian dari surah al-fatihah

ZAKAT FITRAH


  
Zakat adalah salah Satu dari lima hal yang merupakan A'zham umur al Islam (lima perkara yang paling agung dalam Islam) yang disebut dalam hadits Jibril 'alayhissalam ketika beliau mendatangi Nabi r dan bertanya (dengan tujuan memberi pelajaran bagi para sahabat) mengenai Iman, Islam dan Ihsan. Karena itu, eksistensi zakat tidak bisa dipisahkan dari bangunan ajaran agama Islam. Zakat adalah hak dalam harta seseorang untuk mereka yang berhak menerimanya (Mustahiqqun) atau sesuatu yang diwajibkan atas jiwa setiap muslim dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Yang pertama dikenal dengan istilah Zakat Mal (harta benda) dan yang kedua adalah Zakat al Fithr. Dalam sebuah hadits   yang   diriwayatkan  oleh  al  Baihaqi dengan sanad yang para rawinya tsiqah (terpercaya) bahwa: "Puasa menggantung antara langit dan bumi selagi belum dibayar zakat al Fithr". Ini tidak berarti bahwa bila tidak dibayar zakat al Fithr maka puasa kita sama sekali tidak diterima, melainkan yang dimaksud adalah bahwa puasa tersebut tidak mendapat pahala dengan derajat yang tinggi (pahala yang sempurna). Untuk lebih jelasnya pembahasan mengenai zakat al-fithr ini, marilah dengan seksama kita simak uraian berikut !

قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَأَقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَءَاْتُوْا الزَّكَاةَ (البقرة : 43)

Maknanya: "Dirikanlah shalat dan tunaikan-lah zakat" (Q.S. al Baqarah :43)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى الله عَليْه وَسَلّم: "الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ" (رواه مسلم)

Maknanya: "Agama (memerintahkan) nase-hat" (H.R. Muslim)

Zakat al Fithr (Fithrah) ialah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim, baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang yang wajib ia beri nafaqah (ia tanggung biaya hidupnya), seperti orang tuanya yang fakir, istri dan anaknya yang belum baligh. Zakat al Fithr ini wajib ia keluarkan jika ia mempunyai harta yang lebih  dari  kebutuhan  sandang, papan, makanan pokoknya dan makanan pokok orang-orang yang wajib ia nafkahi pada hari raya dan malam hari raya dan juga ada kelebihan untuk membayar hutangnya. Ukuran makanan pokok yang wajib dikeluarkan zakat fithrahnya adalah 1 sha' atau 4 mudd (sekitar 2 kg). Dalam mengeluarkan zakat ini diwajibkan untuk niat ketika memisahkan kadar zakat yang akan ia keluarkan. Sebagai contoh, ketika ia memisahkan kadar zakat untuk dirinya, dalam hati ia berniat:

" هَذِهِ زَكَاةُ بَدَنِيْ "
"ini zakat badan-ku".

Sedangkan jika seseorang ingin mengeluarkan zakat al Fithr untuk anaknya yang sudah baligh, maka diharuskan untuk meminta izin terlebih dahulu dari si anak tersebut. Jika tidak demikian, maka zakat itu tidak sah karena anak yang sudah baligh -secara hukum fiqh- nafaqah (biaya hidupnya) bukan lagi menjadi kewajiban orang tuanya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kebanyakan orang cenderung mengabaikannya.
Zakat al Fithr ini wajib bagi orang yang mendapati bagian dari bulan Ramadhan dan Syawwal. Oleh karena itu, bayi yang lahir setelah matahari terbenam pada akhir bulan Ramadhan (tidak mendapati bagian dari bulan Ramadhan) atau lahir pada bulan Ramadhan dan mati sebelum terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan, tidaklah dikeluarkan zakatnya.
Waktu mengeluarkan zakat ini dimulai dari awal Ramadhan (Ta'jil) hingga terbenamnya matahari pada hari raya. Jika dikeluarkan setelah matahari terbenam pada hari raya tanpa udzur, maka hukumnya haram. Sedangkan yang paling utama (Afdlal) adalah dikeluarkan pada pagi hari raya sebelum shalat 'id (hukumnya sunnah). Apabila dikeluarkan setelah shalat 'Id, maka hukumnya adalah makruh.

Orang-Orang Yang Berhak Menerima Zakat (al Fithr)

Orang-orang yang berhak menerima zakat al Fithr adalah orang-orang yang juga berhak menerima zakat-zakat yang lain, mereka telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوْبُهُمْ وَفِيْ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ (التوبة :60)

Maknanya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang : 

  1. Faqir : Orang yang tidak bekerja atau bekerja tetapi hasilnya tidak mencapai separuh dari kebutuhan pokoknya. Seperti orang yang sehari membutuhkan Rp.10.000,-, akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp. 4000,- 
  2. Miskin : Orang yang hanya bisa memenuhi separuh saja dari kebutuhan pokoknya. Seperti orang yang dalam sehari membutuhkan Rp.10.000,- akan tetapi dia hanya bisa menghasilkan Rp. 8000,- atau Rp.7000,-. 
  3. 'Amil : Orang yang ditunjuk oleh khalifah atau sulthan dengan tanpa diberi gaji dari Baitul Mal (kas Negara) untuk mengambil (menerima) dan membagikan zakat. Dikarenakan tidak adanya khalifah di masa ini, maka 'Amilpun menjadi tidak ada. Sedangkan panitia yang biasanya dibentuk di setiap daerah, mereka bukanlah 'Amil dalam pengertian syara', yang berhak men-dapatkan zakat. Namun jika mereka tergolong fakir atau miskin atau termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat (selain 'Amil), mereka boleh   menerima  zakat  atas  nama golongan-golongan tersebut. Jadi, status mereka hanyalah wakil dari orang-orang yang mengeluarkan zakat untuk menya-lurkannya ke tangan orang-orang yang berhak menerimanya. 
  4. Al Muallafah Qulubuhum : Seperti orang yang baru masuk Islam dan niatnya masih lemah. Mereka diberi bagian zakat supaya niat masuk Islamnya menjadi kuat. Atau mereka adalah orang-orang yang terpandang di antara kaumnya. Dengan diberikannya zakat kepada mereka, diharapkan orang-orang semacam mereka yang masih kafir tertarik untuk masuk Islam. 
  5. Riqab : Budak mukatab, yakni hamba sahaya yang memiliki perjanjian dengan tuannya, jika dia bisa membayar uang dalam jumlah tetentu, maka ia merdeka. keberadaan budak saat ini sangat jarang dijumpai, kecuali di beberapa tempat seperti di Mauritania (kebanyakan para budak di sana tidak lagi diperjualbelikan layaknya budak-budak zaman dulu). 
  6. Gharim : Orang yang berhutang bukan untuk digunakan dalam kemaksiatan dan tidak mampu melunasinya pada waktu-nya (sudah jatuh tempo). 
  7. Fi Sabilillah : Akan diuraikan dengan detail Insya Allah.
  8. Ibn as-Sabil : Musafir yang kehabisan bekal untuk bisa sampai ke tujuannya. (Q.S. At-Taubah : 60)

Fi Sabilillah, Siapakah Mereka ?

Secara umum, Fi Sabilillah dapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam. akan tetapi dalam hal zakat, para ulama mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian, yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang sukarelawan).

Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumah sakit, masjid atau madrasah dan aktifitas lain yang baik seperti mengajar adalah masuk dalam kategori Fi Sabilillah yang berhak menerima (mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak bisa dibenarkan dengan beberapa alasan sebagai berikut :

  • Tidak satupun di antara ulama salaf, imam mujtahid atau yang setingkat dengan mereka yang mengatakan bahwa Fi Sabilillah  dalam hal zakat adalah mencakup semua amal kebaikan.
  • Pendapat tersebut muncul dari orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat ijtihad.
  • Pendapat tersebut menyalahi perkataan Imam Malik: "Jalan menuju Allah sangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat di kalangan para ulama) bahwa yang dimaksud fi sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan dengan peperangan" (Ibn al 'Arabi al Maliki, Ahkam al Qur'an).
  •  Adanya Ijma' (konsensus) para pakar tafsir bahwa yang dimaksud Fi Sabilillah dalam ayat tersebut adalah para pejuang suka relawan. Hal ini dapat ditela'ah dalam kitab-kitab tafsir mu'tabar seperti al Bahr al Muhith atau an-Nahr al Madd karya Abu Hayyan, at-Tafsir al Kabir karya ar-Razi, Zad al Masir karangan al Hafizh Ibn al Jawzi, Tafsir al Baidlawi, Tafsir al Qurthubi, Tafsir Ibn 'Athiyyah dan masih banyak lagi.
  •  Pendefinisian Fi Sabilillah dengan para pejuang suka relawan merupakan ijma' para ulama yang telah dinyatakan oleh para fuqaha' (ahli fiqih), mereka antara lain: Imam Syafi'i dalam al Umm, Juz VI, h. 62, Imam Malik  dalam  al  Muwaththa', h. 179, Muhammad ibn al Hasan dalam al Mudawwanah, Juz II, h. 59, Ibnu Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah, h. 108, Ibn Qudamah dalam al Mughni, Ibn al Mundzir dalam al Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja Imam Ahmad menambahkan bahwa termasuk juga Fi Sabilillah dalam hal ini adalah Haji.

Cukup sebagai dalil, bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai dengan penjelasan para ulama bahwa ayat 60 dari surat at-Taubah tersebut menggunakan lafazh "innama" (termasuk lafazh yang berfungsi Hashr yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti, zakat hanya sah jika diberikan kepada delapan golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan, maka tidak ada artinya al Hashr (pembatasan) dengan lafazh tersebut.
Juga sabda Rasulullah ketika beliau berbicara tentang zakat :

"إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِغَنِّيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ" (رواه أبو داود والبيهقي)

Maknanya: "Sesungguhnya zakat tidak halal bagi orang kaya dan bagi orang yang mempunyai pekerjaan yang mencu-kupinya" (H.R. Abu Dawud dan al Baihaqi)

Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah, kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang, baik kaya ataupun miskin maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut.
Kutipan al Fakhrur Razi dari al Qaffal asy-Syasyi bahwa sebagian Fuqaha' mengatakan: "Sabilullah" mencakup semua jalan kebaikan adalah kutipan dari orang-orang yang Majhul (tidak dikenal) dan merupakan pendapat yang rusak (menyimpang dari kebenaran) dari al Majahil (orang-orang yang tidak dikenal) dan ini menyalahi ijma' yang telah dinyatakan oleh para ulama seperti Imam Malik. Karenanya pendapat ini tidak bisa diterima sebab menyalahi ijma' (Muhammad Zahid al Kautsari, Maqalat al Kautsari, h. 222).

Jika ada sebagian orang yang menukil dari Imam Ahmad bahwa ia mengatakan: "Zakat boleh diberikan untuk semua amal kebaikan", perlu diketahui bahwa ia menyalahi nash-nash Fuqaha Hanabilah (para ahli fiqih dari Madzhab Hanbali) sendiri seperti yang telah dikemukakan oleh Ibn Hubairah al Hanbali dalam al Ifshah, Ibn Qudamah al Hanbali dalam al Mughni, dan juga ulama-ulama mujtahid atau yang di bawah derajat mereka dari luar kalangan Fuqaha' Hanabilah.

Karena semua inilah, maka para ulama seperti Sulthan al Ulama al 'Izz ibn Abdissalam berfatwa bahwa tidak boleh mengambil bagian zakat untuk diberikan kepada tentara muslim yang sudah mendapat gaji dari uang kas Negara, meskipun para penguasa waktu itu sangat memerlukan biaya untuk berperang melawan pasukan tartar. Beliau tidak mengatakan kepada penguasa waktu itu: "Gunakanlah harta zakat untuk setiap yang dinamakan jihad". Peristiwa ini diceritakan oleh imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi'iyyah dan Ibn Katsir dalam al Bidayah wa an-Nihayah.

Bahwa yang di maksud Fi Sabilillah hanyalah para pejuang suka relawan, hal ini juga ditegaskan oleh mantan mufti mesir yang terkenal, Syekh Muhammad Bakhit al Muthi'i  dan Syekh Muhammad Zahid al Kautsari yang merupakan wakil Syekh al Islam terakhir dalam Khilafah Utsmaniyyah.

(( Catatan Penting ))

Kiyai, Ustadz, Guru ngaji, masjid, musolla, pesantren, madrasah, dan prasarana umum lainnya bukanlah dimaksud Fi Sabilillah dalam ayat di atas, sehingga mereka tidak boleh mengambil/menerima zakat, kecuali bila ada dari orang yang kita sebutkan masuk dalam kategori faqir, miskin.

Faedah Penting

Bagi setiap muslim hendaklah menjadikan tujuan hidupnya adalah mencari ridla Allah semata dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dan hendaklah ia senantiasa  mengingat  bahwa Allah akan menghisab segenap perbuatannya. Rasulullah bersabda:

"لاَتَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلُ عَنْ أَرْبَعٍ "- وَذَكَرَ فِيْهِ -  "وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ أَخَذَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ" (رواه الترمذي)

Maknanya: "Tidaklah seorang hamba berpindah dari satu mawqif (pos) ke mawqif yang lain pada hari kiamat sehingga dia ditanya tentang empat perkara, di antaranya tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya dan untuk apa ia menafkahkannya"  (H.R. at-Tirmidzi)

Karenanya, hendaklah setiap muslim berusaha dengan segenap upayanya sehingga ia yakin bahwa zakatnya telah sampai ke tangan orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Oleh karena itu, para ulama di antaranya Imam Ahmad menyatakan: "Disunnahkan bagi seseorang untuk menyalurkan zakatnya (kepada mustahiq) dengan tangannya sendiri". Bahkan ats-Tsauri menyatakan: "Sumpahlah mereka (penguasa) dan jangan percayai mereka dan jangan beri mereka apapun jika mereka tidak menempatkan sesuai dengan tempat yang semestinya" (asy-Syarh al Kabir fi al Fiqh al Hanbali, Juz II, h. 673).

Bagi mereka yang tidak menempatkan zakat sesuai dengan tempatnya atau mengambil bagian zakat yang bukan haknya, hendaklah ia ingat sabda Rasulullah:

"إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُوْنَ فِيْ مَالِ اللهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ" (رواه البخاري)

Maknanya: "Sesungguhnya orang-orang yang mengambil atau membelanjakan harta Allah (harta Bait al Mal) tanpa ada hak, maka mereka berhak mendapatkan siksa neraka di hari kiamat". (H.R. al Bukhari)

Semoga semua amal ibadah kita, shalat, puasa, bacaan al Qur'an, zakat fitrah, dan sebagainya selama bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah ta'ala. Amin


Fidyah

Kewajiban Yang Harus Dipenuhi Oleh Orang Yang Membatalkan Puasa Dengan Sengaja 

Membatalkan puasa dengan sengaja pada bulan ramadhan adakalanya:

  1. Wajib mengqadha saja.
  2. Wajib mengqadha serta membayar fidyah.
  3. Wajib membayar fidyah saja sebagai ganti dari puasa.
  4. Wajib mengqadha dan kafarat.

1. Yang hanya wajib mengqadha saja adalah:
  • Yang membatalkan puasa sebab sakit.
  • Yang melakukan perjalanan jauh (musafir) dan membatalkan puasanya.
  • Perempuan yang haidh atau nifas.
  • Yang membatalkan puasa tanpa udzur, atau sudah berpuasa lalu membatalkan puasanya bukan dengan  bersetubuh.

2. Yang wajib mengqadha dan membayar fidyah adalah :
  • Perempuan yang hamil atau menyusui, jika keduanya khawatir terhadap anaknya, sehingga membatalkan puasa.
Fidyah adalah satu mud (satu cakupan kedua telapak tangan orang sedang) makanan pokok mayoritas masyarakat setiap hari. Sementara dalam mazhab Hanafi fidyah adalah memberi makan orang miskin seukuran makan siang dan malamnya atau harganya jika diuangkan.
  • Bagi orang yang masih punya tanggungan untuk mengqadha puasa, lalu ia memperlambatnya sampai datang ramadhan selanjutnya maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah setiap harinya satu mud.

3. Yang wajib membayar fidyah saja adalah:
  • Orang tua yang lemah yang tidak kuat berpuasa atau merasakan kesulitan yang berat maka ia boleh tidak berpuasa namun sebagai gantinya ia wajib membayar fidyah pada setiap harinya. 
  • Orang yang sakit yang tidak diharapkan lagi kesembuhannya, orang seperti ini tidak wajib berpuasa dan tidak wajib mengqadha puasa yang ia tinggalkan, tetapi hanya wajib membayar fidyah saja. Yaitu seukuran makan siang dan malam menurut mazhab Hanafi atau satu mud gandum atau yang lainnya sesuai makanan pokok kebanyakan masyarakat. 

4. Yang wajib mengqadla dan wajib membayar kafarat adalah :
  • Orang yang membatalkan puasanya dengan bersetubuh dengan sengaja, tidak dipaksa serta ingat bahwa ia sedang berpuasa, walaupun tidak sampai mengeluarkan mani.

Yang dimaksud dengan kafarat adalah:
  1. Memerdekakan budak mukmin, jika tidak mampu
  2. Berpuasa dua bulan berturut-turut, tidak termasuk hari untuk mengqadha. Jika selama dua bulan tersebut ada satu hari yang tidak dilaksanakan puasa pada hari itu walaupun karena sakit, maka harus mengulang kembali dari awal. Jika tidak mampu juga maka,
  3. Memberi makan 60 orang miskin, masing-masing dari mereka satu mud makanan pokok kebanyakan masyarakat. Sementara menurut  Imam Abu Hanifah yaitu memberi masing-masing dari mereka seukuran makan siang dan malam.
Jika masih tidak mampu juga melaksanakan ketiga hal tersebut maka kafarat tetap menjadi tanggungannya dan tidak ada lagi yang bisa menebusnya sebagai ganti dari kafarat tersebut.

Rabu, 24 Oktober 2012

tafsir istawa ibnu katsir

   Ahlussunnah Wal Jama’ah sepakat bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat, tidak berlaku atas-Nya zaman/waktu. Pendapat ini berbeda dengan keyakinan kaum Hisyamiyyah dan kaum Karramiyyah yang mengatakan bahwa Allah menyentuh arsy. Amirul Mu’minin Ali ibn Abi Thalib berkata: “Sesungguhnya Allah menciptakan arsy untuk menampakan tanda kekuasaan-Nya, bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya”. Beliau juga berkata: “Dia (Allah) ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia sekarang sebagaimana pada sifat-Nya yang azali; ada tanpa tempat (tidak berubah)

”.Pemimpin Karramiyah dahulu bernama Muhammad ibn Karram berkeyakinan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), mengatakan Allah bertempat di atas arsy.

 sebuah hal yang sangat ironis di jaman sekarang saya takutkan ada orang yang berkeyakinan semacam itu,berani mensifati allah dengan sifat mahluk,menyamaknnya dengan mahluk


wajib bagi allah ta'ala sifat mukhalafatu lilhawadist maknanya sesungguhnya allah tidak menyerupai dengan seluruh perkara yang baru (mahluk) maka tidak ada bagi allah tangan,mata,telinga dan tidak ada lain-lainnya dari sifat-sifat yang baru.




 dan sifat yang berlawanan dengan sifat mkhalafatul lilhawadist yaitu almumaastalah artinya menyerupai allah dengan mahluk
dan dalilnya terhadap sifat mkhalafatulilhawadist yaitu sesungguhnya kalau ada allah menyerupai terhadap yang baru tentunya allah itu baru,dan allah itu baru itu mustahil.
berbeda allah dengan sseluruh yang baru,tegasnya tidak ada titik persamaan antara allah dengan mahluk di dalam seluruh bidang dan segi.
wajib disini wajib aqli tegasnya dimengerti oleh akal kalau allah tidak ada titik sama dengan mahluknya,serta tidak dimengerti oleh akal allah ada titik sama dengan mahluknya.pandangan hukum syara terhadap pandangan hukum akal wajib allah tersifati sifat mukhalafatu lilhawadist
1.hukum syara mewajibkan semua manusia mukalaf harus beritiqod allah yg mukhalafatul lilhawadist
2.hukum syara membenarkan,memperkuat dan menjelaskan bahwa allao yg mukhalafatul lilhawadist, dengan firman allah dalam surah al-ikhalas ayat 4
WA LAM YAKULLAHU KUFUAN AHAD
tidak ada yang menyerupai bagi allah satu perkara juga


Ibnu katsir : Tafsir ayat “istiwa”
Bagaimana cara ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami masalah asma wa sifat atau yang sering di sebut dngan ayat-aya dan hadit-haditst sifat?ayat-ayat sifat disini adalah ayat Alquran atau Hadits Nabi yang menyebutkan tentang aggota tubuh seperti mata ,tangan,naik turun yang di sandarkan kepada Allah dll yang jika salah dalam memahamimya seseorang bisa masuk dalam kesesatan aqidah mujassimah(yang megatakan bahwa Allah SWT mempunyai aggota badan yang menyerupai dengan hambanya).Atau akan terjerumus dalam ta’thil (yang menolak sifat-sifat Allah SWT ).Begitu penting dan bahaya permasalahan ini maka ulama benar-benar telah membahasnya dengan detail dan rinci agar ummat ini tidak salah dalam memahami ayat –ayat dan hadits-hadits sifat .
Ada dua catara yang di ambil oleh ulama ahli sunnah waljamaah dalam memahami ayat-ayat sifat ini :
Pertama adala tafwidh, maksudnuya menyerahkan pemahaman makna tersebut kepada Allah SWT karena khawatir jika di fahami sesuai dhohir lafatnya akan merusak aqidah. Misanya disaat Allah menyebut tangan yang di nisbatkan kepada Allah, maka maknanya tidak di bahas akan tetapi dilalui dan diserahkan kepada Allah SWT.   Ibnu katsir adalah salah satu ulama yang menggunkan methode ini.
Kedua adalah dengan cara mentakwili ayat tersebut dengan makna yang ada melalaui dalil lain. Seperti tangan Allah di artikan dengan kekuasaan Allah yang memang makna kekuasaa itu sendiri di tetapkan dengan dalil yang pasti dari Alquran dan hadits.
Perhatian
1-Dua cara ini yakni attafwid dan attakwil adalah cara yang di ambil oleh ulama salaf dan kholaf,sungguh tidak benar jika tafwid adalah metode tyang di ambil oleh ulama salaf dan ta’wil adalah yang di ambil oleh ulama kholaf saja.
2-Ada sekelompok orang di akhir zaman ini menfitnah para ulama terdahulu(salaf) dan menyebut mereka sebagai ahli bidah dan sesat karena telah mentakwili ayat-ayat sifat ini.maka kelompok yang membid’ahkan ulama terdahulu karena takwil ,sungguh mereka adalah orang –orang yang tidak mengerti bagaimana mentakwil dan mereka uga tidak kenal dengan benar dengan ulama terdahulu karena banyak riwayat ta’wil yang dating dari para salaf..
3-ada sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai ahli tafwid akan tetapi telah terjerumus dam kesesatan takwil yang tidak mereka sadari.misalnya disaat mereka mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘ars ,mereka mengatakan tidak boleh ayat tentang keberadaan Allah di ars ini di ta’wili.akan tetapi dengan tidak di sadari mereka menjelaskan keberadan Allah di ars dengan penjelasan bahwa ars adlah makhluq terbesar(seperti bola dan semua mkhluk yang lain di dalamnya.kemudian mereka mengatakkan dan Allah swt berada di atas Arsy nag besar itu di tempat yang namany makan ‘adami(tempat yang tidak ada).Lihat dari mana mereka mengatakan ini semua. Itu adalah takwil fasid dan ba’id(takwil salah mereka yang jauh dari kebenaran.
Adapun ulama ahli kebenaran, ayat tentang Allah dan ars,para ahli tafwid menyerahkan pemahaman maknanya kepada Allah swt,adapu ahli ta’wil mengatakan Alah menguasai Ars dan tidaklah salah karena memang Allah dzat yang maha kuasa terhadap makhluk terbesar Ars, sebab memang Allah maha kuasa terhadap segala sesuatu.wallhu a’lam bishshowab



A.  Tafsir Ayat Mutasyabihat ISTIWA
I. Tafsir Makna istiwa Menurut Kitab Tafsir Mu’tabar
lihat dalam tafsir berikut :
1. Tafsir Ibnu katsir menolak makna dhahir (lihat surat al -a’raf ayat 54, jilid 2 halaman 295)

Tarjamahannya (lihat bagian yang di line merah)  :
{kemudian beristawa kepada arsy} maka manusia pada bagian ini banyak sekali perbedaan pendapat , tidak ada yang memerincikan makna (membuka/menjelaskannya)  (lafadz istiwa) dan sesungguhnya kami menempuh dalam bagian ini seperti apa yang dilakukan salafushalih, imam malik, imam auza’I dan imam atsuri, allaits bin sa’ad dan syafi’I dan ahmad dan ishaq bin rawahaih dan selainnya dan ulama-ulama islam masa lalu dan masa sekarang. Dan lafadz (istawa) tidak ada yang memerincikan maknanya seperti yang datang tanpa takyif (memerincikan bagaimananya) dan tanpa tasybih (penyerupaan dgn makhluq) dan tanpa ta’thil(menafikan)  dan (memaknai lafadz istiwa dengan)  makna dhahir yang difahami (menjerumuskan) kepada pemahaman golongan musyabih yang menafikan dari (sifat Allah)  yaitu Allah tidak serupa dengan makhluqnya…”
Wahai mujasimmah wahhaby!!
lihatlah ibnu katsir melarang memaknai ayat mutasyabihat  dengan makana dhohir karena itu adalah pemahaman mujasimmah musyabihah!
bertaubatlah dari memaknai semua ayat mutasyabihat dengan makna dhahir!!
Kemudian Ibnu katsir melanjutkan lagi :
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [al-Syura: 11]. Bahkan perkaranya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh para imam, diantaranya Nu’aim bin Hammad al-Khuza’i, guru al-Bukhari, ia berkata: “Siapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, ia telah kafir, dan siapa yang mengingkari apa yang Allah mensifati diri-Nya, maka ia kafir, dan bukanlah termasuk tasybih (penyerupaan) orang yang menetapkan bagi Allah Ta’ala apa yang Dia mensifati diri-Nya dan Rasul-Nya dari apa yang telah datang dengannya ayat-ayat yang sharih (jelas/ayat muhkamat) dan berita-berita (hadits) yang shahih dengan (pengertian) sesuai dengan keagungan Allah dan menafikan dari Allah sifat-sifat yang kurang; berarti ia telah menempuh hidayah.”
Inilah selengkapnya dari penjelasan Ibnu Katsir.Berdasarkan penjelasan ibnu katsir :
- Ayat mutasyabihat harus di tafsir dengan ayat syarif (ayat muhkamat) atau ayat yang jelas maknanya/Bukan ayat mutasyabihat!! Tidak seperti wahhaby yang menggunakan ayat mutasyabihat utk mentafsir ayat mutasyabihat yang lain!!!! ini adalah kesesatan yang nyata!
- ibnu katsir mengakui ayat ‘istiwa’ adalah ayat mutasyabihat yang tidak boleh memegang makna dhahir dari ayat mutasyabihat tapi mengartikannya dengan ayat dan hadis yang – jadi ibnu katsir tidak memperincikan maknanya tapi juga tidak mengambil makna dhahir ayat tersebut.
- disitu imam ibnu katsir, imam Bukhari dan imam ahlsunnah lainnya  tidak melarang ta’wil.
“…dan  selain mereka dari para imam kaum muslimin yang terdahulu maupun kemudian, yakni membiarkan (lafadz)nya seperti apa yang telah datang (maksudnya tanpa memperincikan maknanya)tanpa takyif  (bagaimana, gambaran), tanpa tasybih (penyerupaan), dan tanpa ta’thil (menafikan)….”
sedangkan wahaby melarang melakukan tanwil!
2.    Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir al Qurtubi
(ثم استوى على العرش ) dengan makna penjagaan dan penguasaan
2- Tafsir al-Jalalain
(ثم استوى على العرش ) istiwa yang layak bagi Nya
3- Tafsir an-Nasafi Maknanya:
makna ( ثم استوى على العرش) adalah menguasai Ini adalah sebahagian dari tafsiran , tetapi banyak lagi tafsiran-tafsiran ulamak Ahlu Sunnah yang lain…
4- Tafsir Ibnu Kathir , darussalam -riyadh, Jilid 2 , halaman 657, surat ara’ad ayat 2):
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf,  sesungguhnya ia ditafsirkan sebagaimana lafadznya yang datang (tanpa memrincikan maknanya) tanpa kaifiat(bentuk) dan penyamaan, tanpa permisalan, maha tinggi
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy iaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya.


II. Makna istiwa yang dikenal dalam bahasa arab dan dalam kitab-kitab Ulama salaf
Di dalam kamus-kamus arab yang ditulis oleh ulama’ Ahlu Sunnah telah menjelaskan istiwa datang dengan banyak makna, diantaranya:
1-masak (boleh di makan) contoh:
قد استوى الطعام—–قد استوى التفاح maknanya: makanan telah masak—buah epal telah masak
2- التمام: sempurna, lengkap
3- الاعتدال : lurus
4- جلس: duduk / bersemayam,
contoh: – استوى الطالب على الكرسي : pelajar duduk atas kerusi -استوى الملك على السرير : raja bersemayam di atas katil
5- استولى : menguasai,
contoh: قد استوى بشر على العراق من غير سيف ودم مهراق
Maknanya: Bisyr telah menguasai Iraq, tanpa menggunakan pedang dan penumpahan darah.
Al Hafiz Abu Bakar bin Arabi telah menjelaskan istiwa mempunyai hampir 15 makna, diantaranya: tetap,sempurna lurus menguasai, tinggi dan lain-lain lagi, dan banyak lagi maknannya. Sila rujuk qamus misbahul munir, mukhtar al-Sihah, lisanul arab, mukjam al-Buldan, dan banyak lagi. Yang menjadi masalahnya, kenapa si penulis memilih makna bersemayam. Adakah makna bersemayam itu layak bagi Allah?, apakah dia tidak tahu bersemayam itu adalah sifat makhluk? Adakah si penulis ini tidak mengatahui bahawa siapa yang menyamakan Allah dengan salah satu sifat daripada sifat makhluk maka dia telah kafir?
sepertimana kata salah seorang ulama’ Salaf Imam at Tohawi (wafat 321 hijrah):
ومن وصف الله بمعنى من معانى البشر فقد كفر
Maknanya: barang siapa yang menyifatkan Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia maka dia telah kafir. Kemudian ulama’-ulama’ Ahlu Sunnah telah menafsirkan istiwa yang terkandung di dalam Al quran dengan makna menguasai arasy kerana arasy adalah makhluk yang paling besar, oleh itu ia disebutkan dalam al Quran untuk menunjukkan kekuasaan Allah subhanahu wata’ala sepertimana kata-kata Saidina Ali yang telah diriwayatkan oleh Imam Abu Mansur al-Tamimi dalam kitabnya At-Tabsiroh:
ان الله تعالى خلق العرش اظهارا لقدرته ولم يتخذه مكان لذاته
Maknanya: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mencipta al-arasy untuk menzohirkan kekuasaanya, bukannya untuk menjadikan ia tempat bagi Nya.
Allah ada tanpa tempat dan arah adalah aqidah salaf yang lurus.
III. Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah Benda


*Bersemayam yang bererti Duduk adalah sifat yang tidak layak bagi Allah dan Allah tidak pernah menyatakan demikian, begitu juga NabiNya. Az-Zahabi adalah Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Uthman bin Qaymaz bin Abdullah ( 673-748H ). Pengarang kitab Siyar An-Nubala’ dan kitab-kitab lain termasuk Al-Kabair.Az-Zahabi mengkafirkan akidah Allah Duduk sepertimana yang telah dinyatakan olehnya sendiri di dalam kitabnya berjudul Kitab Al-Kabair. Demikian teks Az-Zahabi kafirkan akidah “ Allah Bersemayam/Duduk” :Nama kitab: Al-Kabair.
Pengarang: Al-Hafiz Az-Zahabi.
Cetakan: Muassasah Al-Kitab Athaqofah,cetakan pertama 1410h.Terjemahan.
Berkata Al-Hafiz Az-Zahabi:
“Faidah, perkataan manusia yang dihukum kufur jelas terkeluar dari Islam oleh para ulama adalah: …sekiranya seseorang itu menyatakan: Allah Duduk untuk menetap atau katanya Allah Berdiri untuk menetap maka dia telah jatuh KAFIR”. Rujuk scan kitab tersebut di atas m/s 142.
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya meriwayatkan perkataan asy-Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah – semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda, mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)”.
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
“Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak seperti benda-benda maka ia telah kafir” (dinukil oleh Badr ad-Din az-Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi’i dalam kitab Tasynif al Masami’ dari pengarang kitab al Khishal dari kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn Hanbal).
Al Imam Abu al Hasan al Asy’ari dalam karyanya an-Nawadir mengatakan : “Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya”.
As-Salaf ash-Shalih Mensucikan Allah dari Hadd, Anggota badan, Tempat, Arah dan Semua Sifat-sifat Makhluk
Al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi -semoga Allah meridlainya- (227-321 H) berkata:
“Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan,
kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”.
Perkataan al Imam Abu Ja’far ath-Thahawi di atas merupakan Ijma’ (konsensus) para sahabat dan Salaf (orang-orang yang hidup pada tiga abad pertama hijriyah).
III.  ulamak 4 mazhab tentang aqidah
1- Imam Abu hanifah:
لايشبه شيئا من الأشياء من خلقه ولا يشبهه شيء من خلقه
Maknanya:: (Allah) tidak menyerupai sesuatu pun daripada makhlukNya, dan tidak ada sesuatu makhluk pun yang menyerupaiNya.Kitab Fiqh al Akbar, karangan Imam Abu Hanifah, muka surat 1.


IMAM ABU HANIFAH TOLAK AKIDAH SESAT “ ALLAH BERSEMAYAM/DUDUK/BERTEMPAT ATAS ARASY.
Demikian dibawah ini teks terjemahan nas Imam Abu Hanifah dalam hal tersebut ( Rujuk kitab asal sepertimana yang telah di scan di atas) :
“ Berkata Imam Abu Hanifah: Dan kami ( ulama Islam ) mengakui bahawa Allah ta’al ber istawa atas Arasy tanpa Dia memerlukan kepada Arasy dan Dia tidak bertetap di atas Arasy, Dialah menjaga Arasy dan selain Arasy tanpa memerlukan Arasy, sekiranya dikatakan Allah memerlukan kepada yang lain sudah pasti Dia tidak mampu mencipta Allah ini dan tidak mampu mentadbirnya sepeti jua makhluk-makhluk, kalaulah Allah memerlukan sifat duduk dan bertempat maka sebelum diciptaArasy dimanakah Dia? Maha suci Allah dari yang demikian”. Tamat terjemahan daripada kenyatan Imam Abu Hanifah dari kitab Wasiat.
Amat jelas di atas bahawa akidah ulama Salaf sebenarnya yang telah dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah adalah menafikan sifat bersemayam(duduk) Allah di atas Arasy.
Semoga Mujassimah diberi hidayah sebelum mati dengan mengucap dua kalimah syahadah kembali kepada Islam.
2-Imam Syafie:
انه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لايجوز عليه التغيير
Maknanya: sesungguhnya Dia Ta’ala ada (dari azali) dan tempat belum dicipta lagi, kemudian Allah mencipta tempat dan Dia tetap dengan sifatnnya yang azali itu seperti mana sebelum terciptanya tempat, tidak harus ke atas Allah perubahan. Dinuqilkan oleh Imam Al-Zabidi dalam kitabnya Ithaf al-Sadatil Muttaqin jilid 2 muka surat 23
3-Imam Ahmad bin Hanbal :
-استوى كما اخبر لا كما يخطر للبشر
Maknanya: Dia (Allah) istawa sepertimana Dia khabarkan (di dalam al Quran), bukannya seperti yang terlintas di fikiran manusia. Dinuqilkan oleh Imam al-Rifae dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, dan juga al-Husoni dalam kitabnya Dafu’ syubh man syabbaha Wa Tamarrad.
وما اشتهر بين جهلة المنسوبين الى هذا الامام المجتهد من أنه -قائل بشىء من الجهة أو نحوها فكذب وبهتان وافتراء عليه
Maknanya: dan apa yang telah masyhur di kalangan orang-orang jahil yang menisbahkan diri mereka pada Imam Mujtahid ini (Ahmad bin Hanbal) bahawa dia ada mengatakan tentang (Allah) berada di arah atau seumpamanya, maka itu adalah pendustaan dan kepalsuan ke atasnya(Imam Ahmad) Kitab Fatawa Hadisiah karangan Ibn Hajar al- Haitami
4- Imam Malik :
الاستواء غير المجهول والكيف غير المعقول والايمان به واجب و السؤال عنه بدعة
Maknannya: Kalimah istiwa’ tidak majhul (diketahui dalam al quran) dan kaif(bentuk) tidak diterima aqal, dan iman dengannya wajib, dan soal tentangnya bidaah.
lihat disini : imam malik hanya menulis kata istiwa (لاستواء) bukan memberikan makna dhahir  jalasa atau duduk atau bersemayam atau bertempat (istiqrar)…..


memahami pendapat orang lain


Salah satu perbedaan pendapat yang terjadi di tengah kaum muslimin adalah tata cara mereka menyelamatkan akidah dari kesesatan.. Mereka sepakat berkeyakinan bahwa Allah SWT berbeda dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu ketika terdapat dalil-dalil yang mengesankan adanya keserupaan Allah dengan makhluk, mereka berusaha keras menghindarkan kesan tersebut. Hanya saja – karena tujuan mulia itu – justru mereka kemudian berbeda pendapat. Sepeninggal ulama salaf yang memilih berdiam diri tidak memberikan komentar terhadap ayat-ayat mutsyabihat mayoritas Ulama memilih jalan ta’wil karena dianggap paling mudah diterima orang-orang awwam dan paling aman untuk menutup pintu polemik yang justru akan memperpanjang persoalan.
Tetapi belakangan cara seperti ini ditentang oleh ibnu taimiyah dan para pengikutnya seperti muhammad bin abdul wahab yang dikenal dengan aliran wahabi karena memang sejak masanya-lah aliran ini dikembangkan dengan bantuan kerajaan keluarga Sa’ud, tepatnya mulai sekitar abad XIX Masehi


 

Sebagai sebuah upaya atau “Ijtihad Baru” dari seorang Ibnu Taimiyah Rahimahullah, prinsip anti ta'wil tentu saja tidak ada masalah karena memang merupakan haknya untuk melakukan istimbath dari sumber aslinya, Al Qur’an dan As Sunnah, terlepas pada kenyataannya pendapatnya di tolakoleh mayoritas Ulama Hatta oleh para Ulama Madzhab Hanbali, madzhabnya Ibnu Taimiyah. Akan tetapi lain halnya para muqollidnya mereka tidak punya hak untuk menunjukkan telunjuk dengan teriakan kata bid'ah dan sesat kepada yang berbeda dengannya. Sebabnya jelas, bahwa perkara-perkara Furu’iyah – baik itu Furu’ Al Aqidah maupun Furu’ dalam masalah Fiqh – memiliki hak yang harus dipenuhi oleh setiap muslim. Hak itu adalah: Saling menghargai. Untuk itulah, sekedar untuk mengingatkan sebagian pengikut aliran Anti Ta’wil agar kembali hidup dalam kedamaian dan tidak merasa benar sendiri, berikut kami sampaikan sebagian argumen dari kaum Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang secara umum menerima Ta’wil. Bahwa setelah ini masih saja ada yang kaku urat lehernya, memang Allah memiliki hak yang tak dapat diganggu dalam memberikan hidayah kepada hamba-hamba-Nya.

Para ulama terdahulu yang sholeh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat dengan makna dzahir
  .Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.
   mam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.


Salaf yang sholeh mengatakan

قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي:
أمروها كما جاءت بلا تفسير

Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits
bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir



Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu mengatakan:
كل ما وصف الله تعالى به نفسه فتفسيره تلاوته و السكوت عنه

Setiap sesuatu yang Allah menyifati diri-Nya dengan sesuatu itu, maka tafsirannya adalah bacaannya (tilawahnya) dan diam daripada sesuatu itu”.
Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu ingin memalingkan kita dari mencari makna dzahir dari ayat-ayat sifat dengan cukup melihat bacaannya saja, tafsiruhu tilawatuhu: tafsirannya adalah bacaannya. Bacaannya adalah melihat dan mengikuti huruf-perhurufnya, bukan maknanya, bukan tafsiruhu ta’rifuhu.
Terhadap lafazh-lafazh ayat sifat kita sebaiknya tidak mengi’tiqodkan berdasarkan maknanya secara dzahir karena akan terjerumus kepada jurang tasybih (penyerupaan), sebab lafazh-lafazh ayat sifat sangat beraroma tajsim dan secara badihi (otomatis) pasti akan menjurus ke sana.

Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa

- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia

Bahkan Imam Sayyidina Ali mengatakan bahwa mereka  yang mensifati Allah ta’ala dengan  sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”
 ,  Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “Jawaban yang kita pilih tentang hal ini dan ayat-ayat yang semacam dengannya bagi orang yang tidak memiliki kompetensi di dalamnya adalah agar mengimaninya dan tidak –secara mendetail– membahasnya dan membicarakannya. Sebab bagi orang yang tidak kompeten dalam ilmu ini ia tidak akan aman untuk jatuh dalam kesesatan tasybîh

Selain mengikuti sebagian jejak Ulama Salaf, sesungguhnya Ta’wil itu memiliki juga dasar pijakan yang dijadikan Qiyas baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun Hadis. Sebagaimana diketahui Al Qur’an adalah merupakan firman Allah. Akan tetapi dalam Al Qur’an dikatakan:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (الحاقة:40 التكوير:19)

Artinya: “Sesungguhnya Al Qur’an itu adalah ucapan Rasul yang mulia (Jibril)” (Al Haqqah:40, At Takwir:19)

Apakah karena ayat ini kita akan mengatakan bahwa Al Qur’an itu merupakan wahyu Jibril atau campuran antara wahyu Allah dan wahyu Jibril ?. Barangsiapa berkeyakinan seperti itu menjadi Kafirlah ia berdasarkan kesepakatan Ulama. Itulah sebabnya para Ulama menterjemahkan ayat tersebut – sebagaimana dalam terjemahan Departemen Agama RI – dengan: Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)”. Ditambahkannya kalimat di antara dua tanda kurung pada terjemahan ini adalah Ta’wil karena memang tidak ada pada aslinya. Barang siapa membiarkan terjemahan ayat tersebut sesuai teks ayat aslinya niscaya akan terjatuh dalam kesesatan karena menganggap Al Qur’an bukan firman Allah tetapi ucapan Jibril.

Contoh lain adalah Hadis:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ » (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: “Tuhan kita Tabaraka Wata’ala turun pada setiap malam ke langit dunia pada saat sepertiga malam terakhir seraya berseru: “Siapa yang berdo’a kepada-Ku, akan Aku perkenankan. Siapa yang meminta kepada-Ku akan Aku berikan dan siapa yang memohon kepada-Ku akan Aku ampuni” (HR Al Bukhari dan Muslim).


Kaum Wahhabi memahami bahwa yang dimaksud dengan “turun” pada Hadis ini adalah bahwa Tuhan itu benar-benar turun. Artinya yang tadinya ada di Arasy seketika berada di langit terdekat dari bumi. Akan tetapi mayoritas Ulama memberikan kalimat pengganti dari kalimat di atas dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “turun” di situ adalah turunnya malaikat Allah yang diutus untuk menyampaikan seruan, bukan Allah turun sendiri. Perhatikan penjelasan Ulama yang menjadi rujukan para pengkaji Hadis di seluruh dunia, Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani Rahimahullah:

وَقَدْ حَكَى أَبُو بَكْر بْن فَوْرك أَنَّ بَعْض الْمَشَايِخ ضَبَطَهُ بِضَمِّ أَوَّله عَلَى حَذْف الْمَفْعُول أَيْ يُنْزِل مَلَكًا ، وَيُقَوِّيه مَا رَوَاهُ النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيق الْأَغَرّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَأَبِي سَعِيد بِلَفْظِ " إِنَّ اللَّه يُمْهِل حَتَّى يَمْضِي شَطْر اللَّيْل ، ثُمَّ يَأْمُر مُنَادِيًا يَقُول : هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَاب لَهُ " الْحَدِيث . وَفِي حَدِيث عُثْمَان بْن أَبِي الْعَاصِ " يُنَادِي مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَاب لَهُ " الْحَدِيث . قَالَ الْقُرْطُبِيّ : وَبِهَذَا يَرْتَفِع الْإِشْكَال

Artinya: Al Imam Abu Bakar ibn Faurak menceritakan bahwa di antara para Syekh ada yang mendhomahkan kata “yanzilu” (artinya: Allah turun) menjadi “Yunzilu” (artinya: Allah menurunkan) dengan membuang Obyeknya yaitu bahwa Allah menurunkan seorang malaikat (untuk berseru, pen). Hal ini diperkuat oleh sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh An Nasa’i melalui jalur Al Aghar dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id dengan redaksi: “Sesungguhnya Allah membiarkan hingga berlalu separuh malam. Setelah itu lalu Dia memerintahkan seorang penyeru agar berseru: “Siapa orang yang berseru agar diperkenankan..?” (sampai akhir Hadis). Dan dalam Hadis Usman bin Abi Al Ash: “Seorang penyeru menyerukan: “Siapa orang yang berseru akan diperkenankan” (sampai akhir Hadis). Al Imam Al Qurtubi berkata: “Dengan cara seperti ini maka hilanglah kemusykilan memahami hadist  9 (lihat fathul bari juz 3 hal.339)

Model penta’wilan seperti ini sebenarnya telah dicontohkan oleh Allah SWT sendiri sebagaimana dalam sebuah Hadits Qudsi:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِى فُلاَنًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِى عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِى. قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ. قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِى. قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِى فُلاَنٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِى.(رواه مسلم)

Artinya: Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah akan berfirman: “Wahai anak adam, Aku sakit namun kamu tidak mau menjenguk-Ku”. Anak Adam berkata: “Ya Tuhanku, bagimana aku menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu bahwa seorang hamba-Ku si Anu sakit namun engkau tidak menjenguknya Padahal jika engkau menjenguknya, niscaya engkau dapati Aku di dekatnya. Wahai anak Adam, Aku meminta makan namun engkau tidak memberi-Ku makan”. Anak Adam bertanya: “Wahai Tuhanku, bagaimanakah aku memberi makan Engkau sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang meminta makan kepadamu namun engkau tidak memberinya makan. Padahal jika engkau memberinya makan, niscaya engkau dapati itu ada di sisi-Ku. Wahai anak Adam, Aku meminta minum kepadamu namun engkau tidak memberi minum Aku”. Anak Adam berkata: “Wahai Tuhanku, bagaimana aku dapat memberi minum kepada Engkau sedangkan Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?”. Allah berfirman: “Tidakkah engkau tahu ada seorang hamba-Ku si Anu yang dating meminta minum kepadamu namun engkau tidak memberinya minum. Padahal jika engkau memberinya minum, niscaya engkau akan mendapati itu ada di sisi-Ku” (HR Muslim).

Rupanya sampai hari kiamat masih saja ada anak Adam yang salah faham terhadap firman Tuhan hingga Tuhan sendiri harus menjelaskan maksud sebenarnya. bayangkan jika dalam Hadis Qudsi tersebut tidak dijelaskan panjang lebar niscaya akan ada aliran yang berkeyakinan bahwa Allah itu lapar, haus dan bahkan sakit sebagaimana makhluk-Nya. Na’udzu billah min dzalik !!!. Bagaimana pula dengan firman Allah yang menyebutkan:

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ...(ألنور:35)

yang terjemah aslinya “Allah adalah cahaya langit dan bumi...”. Apakah kita akan berkeyakinan bahwa Allah itu berupa cahaya?. tak seorang Ulama pun mengartikannya demikian. Oleh sebab itu mereka mengtatakan bahwa yang dituju dengan “cahaya” adalah “yang menerangi” sehingga ayat tersebut berarti “Allah adalah Dzat yang menerangi langit dan bumi”. Terjemahan ini dinamakan Ta’wil karena menyimpang dari kata aslinya.











Sabtu, 06 Oktober 2012

dalil kewajiban bertaqlid ketika tidak mampu berijtihad


     




a.   Firman Allah swt. dalam surat Al-Anbiya’ : 7  yang artinya :

“Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui”.

Para ulama telah sepakat bahwa ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya agar mengikuti orang-orang yang mengetahui hal tersebut. Para ulama ushul fiqih menjadikan ayat ini sebagai dasar utama bahwa orang yang tidak mengerti (awam) haruslah bertaqlid kepada orang yang alim yang mujtahid. Senada dengan ayat diatas adalah firman Allah swt. dalam surat At-Taubah : 122  yang artinya :

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu untuk pergi semuanya (kemedan perang). Mengapakah tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga diri”.

Dalam kitab Tafsiirul Jaarmi’ Li Ahkaamil Qur’an jilid 8/293-294 diterangkan bahwa  Allah swt. melarang manusia pergi berperang dan berjihad secara keseluruhan tetapi memerintahkan kepada sebagian mereka meluangkan waktunya untuk memperlajari ilmu-ilmu agama sehingga ketika saudara-saudara mereka yang berperang itu telah kembali, maka mereka akan menemukan orang-orang yang dapat memberi fatwa kepada mereka tentang perkara halal dan haram dan dapat pula memberikan penjelasan kepada mereka tentang hukum-hukum Allah swt.

b.   Ijma’ ulama bahwa para sahabat Nabi saw. sendiri berbeda-beda dalam tingkat keilmuan dan tidak semuanya mampu untuk memberikan fatwa. Ibnu Khaldun berkata : ‘Ilmu-ilmu agama tidaklah diambil dari mereka (para sahabat) semua”. Memang, para sahabat itu terbagi dua : Ada yang termasuk mufti (yang mampu melakukan ijtihad) dan mereka ini termasuk golongan minoritas dibandingkan seluruh sahabat. Ada juga diantara para sahabat yang termasuk golongan mustafti yakni peminta fatwa yang bertaqlid dan mereka ini termasuk golongan mayoritas dari para sahabat. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa para sahabat yang menjadi mufti  ketika menyebutkan hukum satu perkara kepada mustafti  pasti menjelaskan dalil-dalil hukum itu.

Rasulallah saw. pernah mengutus para sahabat yang ahli dalam ilmu agama kesatu daerah yang penduduknya tidak mengetahui Islam kecuali perkara yang bersifat akidah beserta rukun-rukunnya. Maka para penduduk didaerah itu mengikuti setiap fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat tersebut, baik itu yang berkaitan dengan amal ibadah, mu’amalah maupun perkara-perkara halal dan haram. Terkadang, para sahabat itu menghadapi satu permasalahan yang tidak ditemukan dalilnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadits, maka terhadap perkara itu mereka melakukan ijtihad kemudian memberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya dan penduduk didaerah itupun mengikuti ijtihad tersebut.

c.    Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mushtashfa jilid 11/385 pada bab Taqlid dan Istifta’  bahwa orang awam itu tidak memiliki jalan lain kecuali bertaqlid, berkata sebagai berikut : Kami berdalil terhadap yang demikian itu dengan dua dalil. Salah satunya adalah ijma’ sahabat dimana mereka selalu memberikan fatwa kepada orang-orang awam dan tidak memerintahkan mereka untuk mencapai derajad ijtihad. Ijma’ tersebut telah diketahui secara mutawatir baik dari ulama mereka maupun kalangan rakyat biasa”.

d.    Al-Amidi dalam kitabnya Al-Ihkam jilid 3/171 berkata : Ijma’ dimaksud   adalah keadaan orang-orang awam dimasa sahabat dan tabi’in sebelum munculnya orang-orang yang menyimpang yang selalu meminta fatwa kepada para sahabat yang termasuk mujtahid dan mengikuti fatwa kepada para sahabat hal hukum-hukum agama. Para ulama dikalangan sahabat selalu menjawab pertanyaan mereka dengan segera tanpa menyebutkan dalil. Tidak ada yang mengingkari kebiasaan orang-orang awam tersebut. Maka terjadilah ijma’ dalam hal bolehnya orang awam mengikuti orang yang mujtahid secara mutlak. Dizaman sahabat, mereka yang tampil memberikan fatwa hanyalah sebagian kecil yang memang telah dikenal keahliannya dalam bidang fiqh, riwayat dan istinbath. Yang paling terkenal diantara mereka adalah; Khulafa’ur Rasyidin yang empat, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa al-‘Asy’ari, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit. Sedangkan para sahabat nabi yang bertaqlid kepada madzhab dan fatwa mereka ini jauh lebih banyak.

e.    Pada zaman tabi’in, daerah ijtihad bertambah luas dan kaum muslimin pada zaman itu menggunakan cara yang sama seperti cara yang dipakai oleh para sahabat Rasulallah saw. Hanya saja ijtihad dimasa tabi’in dapat digolongkan kepada dua madzhab utama yaitu Madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak dan madzhab Ahlu al-Hadits.

Diantara tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Ra’yi di Irak ialah Alqamah bin Qais an-Nakha’I; Sa’id bin Jubair; Masruq bin Al-Ajda’ al-Hamdani dan Ibrahim bin Zaid an-Nakha’i. Orang-orang awam Irak dan sekitarnya selalu bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada yang mengingkari. Adapun tokoh-tokoh madzhab Ahlu al-Hadits di Hijaz adalah; Sa’id bin al-Musayyab al-Makhzumi; ‘Urwah bin Zubair; Salim bin Abdullah bin Umar; Sulaiman bin Yasar dan Nafi’ Maula Abdullah bin Umar. Penduduk Hijaz dan sekitarnya senantiasa bertaqlid kepada madzhab ini tanpa ada seorangpun yang mengingkari.

Antara tokoh-tokoh kedua madzhab diatas ini sering juga terjadi diskusi dan perdebatan, akan tetapi orang-orang awam dan kalangan pelajar tidaklah ikut campur dalam hal tersebut karena urusan mereka hanyalah bertaqlid kepada siapa saja diantara mereka yang dikehendaki dengan tanpa ada seorangpun yang melakukan pengingkaran terhadap mereka. Begitu juga perdebatan yang terjadi diantara para mujtahidin tidaklah menjadi beban dari tanggung jawab orang-orang awam atau kalangan pelajar. 

f.    Syekh Abdullah Darras berkata: “Dalil logika untuk masalah ini  adalah bahwa orang yang tidak punya kemampuan dalam berijtihad apabila terjadi padanya satu masalah fiqih, maka ada dua kemungkinan caranya bersikap :
    
Pertama, dia tidak melakukan ibadah sama sekali. Dan ini tentu menyalahi ijma’. Kedua, dia melakukan ibadah. Dan ibadah yang dilakukannya itu adakalanya dengan meneliti dalil yang menetapkan hukum atau dengan jalan taqlid. Untuk yang pertama (meneliti dalil hukum) jelas tidak mungkin karena dengan melakukan penelitian itu berarti ia harus meneliti dalil-dalil semua masalah sehingga harus meninggalkan kegiatan sehari-hari (karena banyaknya dalil yang harus diteliti) yakni meninggalkan semua pekerjaan yang mesti dia lakukan dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya. Oleh karena itu tidak ada kemungkinan lain kecuali taqlid. Dan itulah yang menjadi kewajibannya apabila bertemu dengan masalah yang memerlu kan pemecahan hukum”.

Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil, maka berkatalah ulama: “Sesungguhnya fatwa seorang mujtahid untuk orang-orang awam adalah seperti halnya dalil-dalil Al-Qur/an dan Sunnah untuk orang mujtahid, karena Al-Qur’an sebagaimana dia mengharuskan seorang yang mujtahid untuk berpegang teguh dengan dalil-dalil dan bukti yang terdapat didalamnya, begitu juga Al-Qur’an itu mengharuskan orang-orang yang awam untuk berpegang teguh dengan fatwa seorang yang mujtahid “.

Dalam hal ini As-Syatibi berkata:
“Fatwa-fatwa para mujtahid bagi orang-orang awam adalah seperti dalil-dalil syar’i bagi para mujtahid. Alasannya adalah karena bagi orang-orang awam yang taqlid, ada atau tidaknya dalil adalah sama saja karena mereka tidak mampu mengambil pengertian darinya. Maka masalah meneliti dalil dan melakukan istinbath bukanlah urusan mereka dan mereka memang tidak diperkenankan melakukan yang demikian itu. Dalam Al-Qur’an Allah swt. berfirman : ‘Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kalian tidak mengetahui’ (Al-Anbiya’:7). Orang yang taqlid bukanlah orang yang alim. Oleh karenanya, tidaklah sah baginya kecuali bertanya kepada ahli ilmu. Dan kepada mereka- lah kembalinya urusan orang-orang awam dalam masalah hukum secara mutlak. Dengan demikian, maka kedudukan ahli ilmu begitu pula ucapan-ucapannya bagi orang-orang awam adalah seperti kedudukan syara’ “.

Syekh Khajandi dalam upayanya untuk membenarkan pendapat tentang haramnya bertaqlid kepada salah seorang dari imam-imam madzhab yang empat telah menjadikan ucapan Imam ad-Dahlawi, Izuddin bin Abdussalam dan ibnul Qayyim al-Jauziyyah sebagai dalil yang betul-betul telah memperkuat pendapatnya dan beliaupun tanpa ragu-ragu menyebar luaskan ucapan-ucapan yang dianggapnya sebagai ucapan dari ketiga imam itu. Padahal menurut penelitian Syeikh Dr. Sa’id Ramdhan al-Buuthi ucapan-ucapan yang disangkanya dari ketiga imam itu tidaklah demikian adanya.

Berikut ini kami sampaikan kutipan-kutipan Syeikh Khajandi yang beranggapan bersumber dari ketiga imam tersebut diatas dan sanggahan/ jawaban Syeikh Sa’id Ramdhan al-Buuti terhadap ucapan Syeikh Khajandi.      

1). Syeikh Khajandi mengatakan bahwa beliau telah mengutip ucapan Imam ad-Dahlawi dalam kitabnya Al-Inshaaf yang menyebutkan sebagai berikut:  

                                                      فَمَنْ أَخَذَ بِجَمِيعِ أَقْوَالِ أَبِي حَنِيْفَة اَوْ جَمِيْعِ أَقْـوَالِ مَالِكٍ
                                                      اَوْ جَمِيْعِ أَقْوَالِ الشَّافِعِى اَوْ جَمِيْعِ أَقْوَالِ أحْمَدَ اَوْ غَيـْرِهِمْ
                                                       وَلَمْ يَعْـتَمِدْ عَلَى مَا جَاءَ فِى الْكِتَـابِ وَ السُّنَّةِ فَقَدْ خَالَفَ
                                                        إِجْمَاعَ الأُمَّـةِ كُلِّهَا وَالتَّبَعَ غَيْـرَ سَبِـيْلِ المُؤْمِنِـيْنَ


                                                                                       
Artinya : “Barangsiapa mengambil semua ucapan Abu Hanifah atau semua ucapan Imam Malik atau semua ucapan Imam Syafi’i atau semua ucapan Imam Ahmad atau yang selain mereka dan dia tidak berpegang kepada penjelasaan Al-Qur’an dan Sunnah, maka sesungguhnya dia telah menyalahi ijma’ seluruh ummat dan telah mengikuti jalan yang tidak ditempuh oleh orang-orang mukimin “. Demikianlah kutipan Syeikh Khajandi yang menurutnya bersumber kepada Imam ad-Dahlawi.

Jawaban :
Terhadap kutipan tersebut,  Dr. Sa’id Ramdhan mengatakan sebagai berikut: Ucapan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Inshaaf maupun kitab-kitab lain karangan Imam ad-Dahlawi. Bahkan apa yang dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi justru berlawanan dengan apa yang dikatakan Syeikh Khajandi. Dalam kitabnya Al-Inshaaf dan Hujjatulloohil Baalighah 1/132 Imam ad-Dahlawi berkata : 
             

                                                   إِعْلَمْ أَنَّ هَذِهِ المَذَاهِبَ الأَرْبَعَةَ الْمُدَوَّنَةَ الْمُحَرَّرَةَ قَدِ اجْتَمَعَتِ الأُمَّةُ
                                                    اَوْ مَنْ يُعْـتَدُّ بِهِ مِنْهَا عَلَى جَوَازِ تَقْلِيْدِهَا اِلَى يَوْمِنَا هَذَا وَ فِي ذَلِكَ
                                                    مِنَ الْمَصَالِحِ مَالاَ يَخْفَى لاَ سِيَّمَا فِى هَذِهِ الأَيَّامِ الَّتِى قَصُرَتْ فِيْـهَا
                                                      الهِمَمُ جِدًّا وَ أُشْرِبَتِ النُّـفُوْسُ الْهَوَى وَ اَعْجَبَ كُلُّ ذِى رَأْيٍ بِرَأْيِهِ

Artinya :  Ketahuilah ! Sesungguhnya ummat Islam atau ulama-ulama Islam yang ucapan-ucapannya dijadikan panutan telah sepakat tentang bolehnya bertaqlid kepada empat madzhab yang telah dibukukan secara otentik hingga pada masa kita sekarang ini. Dan dalam hal mengikuti empat madzhab tersebut terdapat maslahat yang jelas terlebih lagi dimasa kita sekarang ini dimana semangat (mendalami ilmu agama) sudah jauh berkurang, jiwa sudah dicampuri hawa nafsu dan masing-masing orang selalu membanggakan pendapatnya sendiri “        

Inilah yang sebenarnya dikatakan oleh Imam ad-Dahlawi yang membolehkan orang-orang yang tidak mampu berijtihad untuk mengikuti salah satu dari keempat madzhab tersebut. Karenanya Syeikh Sa’id Ramdhan menantang Syeikh Khajandi untuk menjunjukkan satu baris saja dalam kitab ad-Dahlawi tentang kutipan yang telah ia (Khajandi) buat-buat/karang-karang itu.

2)   Syeikh Khajandi mengatakan bahwa Izuddin bin Abdussalam meng- haramkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam keimam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban:
Terhadap ucapan Syekh Khajandi ini Dr.Sa’id Ramdhan mengatakan bahwa ucapan Khajandi ini berlawanan dengan faktanya. Hal ini karena beliau (Izuddin bin Abdussalam) justru menjadi pengikut dari salah satu imam madzhab yang empat, yaitu pengikut madzhab Syafi’i. Berikut ini penjelasan beliau dalam kitabnya Qowaa’idul Ahkam 11/135 :

                                                                    وَيُثْتَـثْنَى مِنْ ذَلِكَ العَامَّةُ فَإِنَّ وَظِيْفَتَهُمْ التَّقْلِيْد لِعَجْزِهِمْ
                                                                    عَنِ التَّوَصُّلِّ اِلَى مَعْرِفَةِ الأَحْكَام بِالإِجْتِهَادِ بِخِلاَفِ
                                                                    الْمُجْتَهِدِ فَإِنَّهُ قَادِرٌ عَلَى النَّظْرِ الْمُؤَدِّى إِلىَ الحُكْمِ.
                                                                    وَمَنْ قَلـَّدَ إِمَامًا مِنَ الأَئِمَّـةِ ثُمَّ اَرَادَ غَيْرَهُ فَهَلْ لَهُ ذَلِكَ ؟
                                                                    .. فِيْهِ خِلاَفٌ, وَالْمُخْـتَارُ التَّفْصِيْلُ فَإِنْ كَانَ الْمَذْهَبُ
                                                                    الَّذِى اَرَادَ الإِنْتِـقَالَ إِلَيْهِ مِمَّا يَنْقُـضُ فِيْهِ الْحُكْمَ فَلَيْسَ
                                                                    لَهُ الإِنْتِقَالُ إِلَى حُكْمٍ يُوْجِبُ نَقْضَهُ فَإِنَّهُ لَمْ يَجِبْ نَقْضُهُ
                                                                    إلَى لِبُطْـلاَنِهِ, فَإِنْ كَانَ الاَخْذَانِ مُتَـقَارِبَِيْنِ جَازَ التَّقْلِيْدُ
                                                                    وَ الإِنْتِقَالُ لأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مِنْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ إِلَى
                                                                    أَنْ ظَهَرَتِ الْمَذَاهِبُ الأَرْبَعَـةُ يُقَلِّدُونَ مِنِ التَّفَقَ مِنَ
                                                                    العُلَمَاءِ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرِ أَحَدٍ يُعْتَـبَرُ إِنْكَارُهُ وَلَوْ كَانَ ذَلِكَ
                                                                     بَاطِلاً  َلاَنْكَرُوهُ.

                                                                
Artinya : “Orang-orang awam dikecualikan dari orang yang mampu berijtihad. Maka tugas mereka adalah taqlid karena mereka tidak mampu mengetahui hukum dengan jalan ijtihad. Berbeda dengan seorang mujtahid yang memang memiliki kemampuan analisis untuk melahirkan satu hukum. Orang yang taqlid kepada seorang imam (dalam satu madzhab) kemudian dia ingin taqlid kepada imam yang lain, apa boleh yang demikian ? Dalam hal ini terdapat khilaf (perbedaan). Dan yang terpilih adalah melakukan pemilahan (tafshil) yakni :
a). Jika madzhab tempat dia hendak pindah itu termasuk madzhab yang menolak hukum dalam masalah tersebut, maka tidaklah boleh pindah kepada hukum yang menolak tersebut karena penolakan itu pastilah disebabkan kebatalannya.
b)  Jika dua madzhab itu berdekatan ( keputusan hukumnya dalam masalah itu), maka boleh taqlid dan boleh pula berpindah-pindah. Hal ini karena sejak zaman sahabat hingga munculnya empat imam madzhab, kaum muslimin senantiasa bertaqlid kepada setiap ulama yang mereka temui. Dan sikap mereka yang seperti itu tidak pernah diingkari oleh seseorang yang patut dijadikan panutan. Andai yang demikian itu batal (tidak boleh) niscaya mereka akan mengingkarinya”.

Demikianlah yang sebenarnya dikatakan oleh Izuddin bin Abdussalam yakni mewajibkan orang-orang awam untuk bertaqlid. Bukan seperti Syeikh Khajandi yang mewajibkan semua orang untuk mengikuti yang ma’shum dan meninggalkan yang tidak ma’shum. Dengan kata lain dia mewajibkan semua orang untuk mengeluarkan sendiri hukum-hukum agama, baik itu dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Imam Izuddin menetapkan bahwa pada prinsipnya orang yang taqlid harus menetapi seorang imam tertentu. Tetapi mengenai berpindah kepada imam madzhab selain madzhabnya dalam masalah hukum, hal ini masih diperselisihkan hukumnya oleh para ulama. Namun demikian beliau ini condong kepada pendapat yang membolehkan (bukan mewajibkan) dengan syarat-syarat tertentu. Sedangkan Syeikh Khajandi mewajibkan seseorang untuk berpindah-pindah madzhab. Syeikh Khajandi menyebarkan pandangannya ini dengan menyampaikan dalil kata-kata Izuddin bin Abdussalam, padahal pendirian Izuddin bin Abdussalam adalah kebalikan dari pandangan Khajandi

3)   Syeikh Khajandi juga mengatakan bahwa Ibnul Qoyyim memiliki pendapat yang sama dengan Izuddin bin Abdussalam yakni mengharamkan orang berpegang pada madzhab tertentu dan mewajibkan semua orang mengambil hukum langsung dari Al-Qur’an dan Hadits atau berpindah-pindah dari satu imam ke imam yang lain tanpa menetapi salah seorang imam madzhab secara terus menerus.

Jawaban:
Syeikh Sa’id Ramdhan telah membantahnya karena sangatlah tidak mungkin Ibnul Qoyyim akan berpendapat seperti yang tersebut diatas. Karena beliau (Ibnul Qoyyim) sendiri adalah pengikut salah satu dari imam madzhab yang empat yakni madzhab Hanbali. Berikut ini adalah pernyataan dalam kitabnya I’laamul Muwaqqi’in jilid 111/168 :

                                                                         ذِكْرُ تَفْصِيْلِ الْقَوْلِ فِى التَّقْلِيْدِ وَ انْقِسَامُهُ إلَى
                                                                         مَا يَحْرُمُ الْقَوْلُ فِيهِ وَالإِفْتَاءُ بِهِ وَأَلَى مَا يَجِبُ
                                                                         الْمَصِيْرُ اِلَيْهِ وَاَلَى مَا يُسَوِّغُ مِنْ غَيْرِ إِيْجَابٍ.
                                                                         فَأَمَّا النَّوْعُ الأَوَّلُ فَهُوَ ثَلاَثَـةُ اَنْوَاعٍ اَحَدُهُمَا
                                                                         اَْلإِعْرَاضُ عَمَّا اَنْزَلَ اللهُ وَعَدَمُ الإِلْتفَاتِ إِلَيْهِ
                                                                        إِكْتِفَاءً بِتَقْلِيْدِ الآبَاءِ, اَلثَّانِى : تَقْلِيْدُ مَنْ لاَ يَعْلَمُ
                                                                        الْمُقَلِّدُ اَنَّهُ اَهْلٌ لأَنْ يُؤْخَذَ بِقَوْلِهِ, اَلثَّالِثُ :
                                                                        اَلتَّـقْلِيْدُ بَعْدَ قِيَامِ الحُجَّةِ وَ ظُهُورِ الدَّلِيْلِ عَلَى
                                                                        خِلاَفِ قَوْلِ الْمُقَلَّدِ ثُمَّ أَطَالَ إبْنُ الْقَيِّم فِى سَرْدِ
                                                                        وَ شَرْحِ اَضْرَارِ وَ مَسَاوِئِ التَّقـْلِيْدِ الْمُحَرَّمِ
                                                                        اَلَّذِى حَصَرَهُ فِى هَذِهِ الأَنْوَاعِ الثَّلاَثَةِ.


Artinya : ( “Rincian pendapat tentang taqlid dan pembagiannya kepada ijtihad yang haram, wajib dan mubah. Jenis pertama yakni taqlid yang haram terdiri dari tiga macam:  a). Berpaling dari hukum yang telah diturunkan oleh Allah dan tidak mau memperhatikannya karena telah merasa cukup dengan taqlid kepada nenek moyang. b). Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia itu orang yang pantes diambil pendapatnya atau tidak. c). Taqlid sesudah tegaknya hujjah dan telah jelas dalil-dalil yang menyalahi pendapat orang yang ditaqlid”. Kemudian Ibnul Qoyyim dengan panjang lebar menjelaskan tentang bahaya dan keburukan dari taqlid yang diharamkan yang telah disimpulkan pada tiga macam tersebut ).

Dengan demikian, maka pembicaraan Ibnul Qoyyim yang panjang lebar tentang pengingkaran dan ketidak-setujuannya terhadap taqlid hanyalah berkisar pada tiga macam taqlid yang merupakan bagian dari bentuk taqlid yang pertama yakni taqlid yang diharamkan. Bahkan pada bagian yang lain Ibnul Qoyyim mengatakan sebagai berikut :
“Apabila dikatakan bahwa Allah swt. hanya mencela orang-orang kafir yang taqlid kepada nenek moyang mereka yang tidak mempunyai akal dan tidak pula mendapat petunjuk dan allah tidak mencela orang-orang yang taqlid kepada para ulama yang mendapat petunjuk bahkan Allah memerintahkan mereka untuk bertanya kepada ahlu al-dzikir (An-Nahl : 43) yakni para ulama (dan itu berarti taqlid kepada mereka).
Ayat An-Nahl : 43 ini merupakan perintah kepada orang yang tidak mengetahui agar taqlid kepada orang yang mengetahui yakni para ulama. Jawaban terhadap pernyataan diatas adalah bahwa yang dicela oleh Allah swt.itu adalah berpaling dari apa yang telah diturunkan oleh Allah swt. dan lebih memilih taqlid kepada nenek moyang mereka. Taqlid seperti ini adalah taqlid yang dibenci dan diharamkan berdasarkan kesepakatan ulama salaf dan imam madzhab yang empat. Adapun taqlidnya orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikiran untuk mengikuti apa-apa yang telah diturunkan oleh Allah namun sebagiannya belum bisa dia mengerti dengan jelas lalu dia taqlid kepada orang yang lebih alim darinya, maka taqlid yang seperti ini adalah terpuji, bukan tercela dan akan mendapat pahala, bukan mendapat dosa “.