Umar bin Khattab protes kepada Abu Bakar berkenaan kebijakannya memerangi
orang-orang yang tidak membayar Zakat. Umar menganggapnya bid’ah karena tidak
pernah dilakukan sepanjang hayat Rasulullah SAW. Tetapi Abu Bakar menjelaskan
alasannya, maka Umar pun setuju hingga ia pun turut serta memerangi mereka.
Suatu hari Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar agar dilakukan
penulisan Al Qur’an dalam satu Mushaf. Tetapi Abu Bakar keberatan untuk
memenuhi usulannya itu. Alasannya—kata Khalifah pertama itu:
كَيْفَ
أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
“Bagai,mana
aku harus melakukan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulull;ah SAW?”.
Tetapi Umar,
meskipun tahu apa yang dkatakan Abu Bakar itu benar, memiliki alasan lain. Ia mengatakan:
هُوَ
وَاللَّهِ خَيْرٌ
“Demi Allah
ini adalah baik”.
Akhirnya Abu Bakar pun setuju dengan usulan Umar. Ketika Abu Bakar
menugaskan Zaid bin Tsabit untuk menjadi juru tulisnya, sahabat ini pun
keberatan denganalasan sama seperti Abu Bakar; “Bagaimana aku melakukan
sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulyullah SAW ?”. Abu Bakar pun
meneguhkan hatinya dengan ucapan yang dkatakan Umar bahwa perbuatan tersebut
sekalipun memang “Bid’ah” atau “Mugdats” karena tidak pernah dlakukan
Rasulullah Saw, tetapi merupakan bid’ah yang “baik”. Maka Zaid pun setuju dan
segera melaksanakan tugas berat tersebut. Cerita ini dkemukakan oleh Al Imam Al
Bukhari dalam Shahihnya.
Suatu ketika Umar menyaksikan ramainya kaum Muslimin menunaikan Qiyamu
Ramadhan di dalam Masjid dengan banyak Imam. Tiba tiba muncullah gagasan untuk
menyatukan para sahabat Rasulullah SAW itu dengan satu Imam. Maka Umar pun
menugaskan Ubay bin Ka’ab agar mengimami mereka sebanyak 20 raka’at. Ketika
disaksikannya kekompakan kaum Muslimin atas prakarsanya itu, Khalifah kedua itu
berkata:
نِعْمَتِ
الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik
Bid;ah adalah ini”. Cerita ini dilaporkan oleh Al
Imam Al Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
Praktek Shalat
tarawih semacam ini oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani telah ditetapkan
sebagai Bid’ah yang harus ditinggalkan. Menurutnya Tarawih yang benar itu tidak
boleh melebihi 11 raka’at Perhatikan ucapannya:
فَاِذَا
عَلِمْتَ مِمَّا سَبَقَ اَنَّ الشَّارِعَ الْحَكِيْمَ جَعَلَ لِلتَّرَاوِيْحِ اِحْدَى
عَشَرَةَ رَكْعَةً لَمْ يثجَاوِزْهَا اَلْبَتَّةَ يَتَبَيَّنُ لَكَ اَنَّهُ لَا خِيَرَةَ
لِلْمُتَعَبِّدِفِي الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ...
Artinya: “Jika anda telah tahu dari pembahasan yang lalu
bahwasanya Syari’ (Allah) Yang Maha Bijaksana telah menjadikan Shalat tarawih
itu sebelas raka’at tanpa tambahan sama sekali, maka jelas bagi anda bahwa
tidak ada alasan bagi orang yang hendak beribadah menambah lebih dari itu..” (Al
Ikhtiyarat Al Fiqhiyah halaman 189).
Tetapi faktanya
hingga hari ini di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bahkan kebanyakan Masjid di
dunia Salat tarawih dilakukan dengan berjama’ah serta dikerjakan dengan 23
raka’at sebagaimana Bid’ah yang dkerjakan Umar bin Khattab.
Pada mulanya Hadis diriwayatkan dari Rasulullah SAW dengan menggunakan
hafalan. Oleh karena itu ketika digagas penulisan Hadis dalam kitab-kitab, para
Ulama Salaf keberatan. Demikianlah dilaporkan Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam
kitabnya Jami’ Bayanu Al Ilmi Wa Fadhlihi pada Juz 1 halaman 76. Mereka
beralasan antara lain dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:
لاَ تَكْتُبُوا
عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى
وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ - قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».(رواه مسلم)
Artinya: “Janganlah
kalian tuliskan apa yang datang dariku selain Al Qur’an. Siapa yang telah
menuliskan dariku selain Al Qur’an hendaklah menghapusnya. Tetapi silahkan
kalian menceritakannya apa yang datang darikutidak ada masalah. Barangsiapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia menghamparkan tempat
duduknya di neraka”.(HR Muslim).
Tetapi larangan ini
belakangan tidak lagi dihiraukan sehingga para Ulama menuliskan kitab-kktab
Hadis dalam jumlah yang sangat banyak.
Para Ulama Al Qur’an
membuat istilah istilah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW yang
dikenal dengan ilmu Tajwid. Salah satu bahasan ilmu Tajwid adalah masalah Waqf
cara berhenti dalam membaca ayat-ayat Al Qur’an. Mereka mebagi Waqaf ini dalam
4 (empat) kategori; Tam (Sempurna), Kafi (cukup), Hasan (baik)
dan Qabih (buruk). Tetapi pembuatan istilah tersebut pernah ditentang
oleh Al Qadhi Abu Yusuf Rahimahullah, murid dari Al Imam Abu Hanifah Rahimahullah.
Abu Yusuf mengatakan bahwa pembuatan istilah Waqaf Tam, Kafi, Hasan dan Qabih
adalah Bid’ah dan orang yang membuat istilah tersebut adalah ahli bid’ah sebab
yang namanya Al Qur’an itu Mu’jizat, semuanya sama saja dengan sebagiannya,
sama sama Al Qur’an dan Mu’jizat, semuanya Hasan (baik) dan Tam
(sempurna). (Lihat Al Burhan Fi Ulum Al Qur’an karya Al Imam Az Zarkasyi
Juz 1 halaman 354. Lihat pula Al Waqf Wa Al Ibtida karya Prof. DR Abdul
Karim Ibrahim Iwad Sahlih Dosen Al Qur’an Universitas Al Azhar Mesir halaman 43
).
Jika ditelusuri dalam
kitab-kitab Hadis memang tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan adanya
istilah Waqaf tersesbut, sehingga dapat dikatakan sebagai Bid’ah. Tetapi hingga
hari ini di seluruh dunia kaum Muslimin menggunakan istilah tajwid tersebut,
tidak ada yang mengikuti Fatwa bid’ah Abu Yusuf Rahimahullah.
Tidak terdapat
keterangan yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menentukan waktu kuliah atau
pelajaran secara khusus kepada para sahabatnya. Tetapi para Ulama Saudi Arabia di
beberapa Masjid seringkali memberikan materi pelajaran dan nasehat setelah
Shalat Ashar atau di antara Shalat tarawih. Pada masa Rasulullah SAW dan generasi
Salaf, Adzan dikumandangkan tepat di permulaan masuk waktu Shalat fardu. Tetapi
Kerajaan Keluarga Sa’ud memiliki “kebijakan” sendiri selama bulan Ramadhan.
Para Mu’adzdzin diperintahkan menunda Adzan Isya setengah Jam setelah masuk
waktunya. Demikian pula tentang Shalat Istisqa. Para penguasa Kerajaan Keluarga
Sa’ud senantiasa menanti hari Senin atau kamis ketika hendak melaksanakan
Shalat Istisqa, padahal tidak ada ssatu dalil pun yang mengharuskan demikian. (Lihat
Mafhum Al Bid’ah karya Doktor Abdul Ilah Husain Arfaj halaman 51). Ketiga
kegiatan ini tentu saja – bila dilihat secara sekilas – merupakan bid’ah karena
memang tidak ada dalilnya. Tetapi mengingat kemaslahatan yang diperolehnya,
barangkali, para Ulama Saudi erus saja mengerjakannya tanpa ada seorang pun di
antara mereka – betapa pun ekstrimnya – yang mengatakan perbuatan tersebut
bid’ah yang sesat dan diancam masuk neraka.
Termasuk Bid’ah adalah Adzan
Jum’at dua kali. Adzan Jum’at dua kali memang baru diadakan pada masa Khalifah
Utsman bin Affan, sehingga bila dihubungkan denganmasa Rasulullah SAW memang
termasuk dalam kategori “baru”. Itu sebabnya perbuatan tersebut dinilai oleh Syekh
Muhammad Nashiruddin Albani sebagai perbuatan bid’ah yang harus ditinggalkan.
لَا نَرَى الْاِقْتِدَاءَ
بِمَا فَعَلَهُ عُثْمَانُ رضي الله عنه عَلَى الْإِطْلَاقِ وَدُوْنَ قَيِّدٍ فَقَدْ
عَلِمْنَا مِمَّا تَقَدَّمَ أَنَّهُ إِنَّمَا زَادَ الءأَذَانَ الْأَوَّلَ لِعِلَّةٍ
مَعْقُوْلَةٍ وَهِيَ كَثْرَةُ النَّاسِ وَتَبَاعُدُ مَنَازِلِهِمْ عَنِ الْمَسْجِد
النَّبَوِيِّ فَمَنْ صَرَّفَ النَّظْرَ عَنْ هَذِهِ الْعِلَّةِ وَتَمَسَّكَ بِأَذَانِ
عُثْمَانَ مُطْلَقًا لَا يَكُوْنُ مُقْتَدِيًا بِهِ رضي الله عنه بَلْ هُوَ مُخَالِفٌ
لِعُثْمَانَ أَنْ يَزِيْدَ عَلَى سُنَّتِهِ عليه الصلاة و السلام وَسُنَّةِ الْخَلِيْفَتَيْنِ
مِنْ بَعْدِهِ ...
وَالْخُلَاصَةُ : أَنَّنَا نَرَى أَنْ نَكْتَفِىَ بِالْأَذَانِ الْمُحَمَّدِيِّ
وَأَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْإِمَامِ وَصُعُوْدِهِ عَلَى الْمِنْبَرِ لِزَوَالِ
السَّبَبِ الْمُبَرِّرِ لِزِيَادَةِ عُثْمَانَ وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ النَّبِيِّ
صلى الله عليه و سلم وَهُوَ الْقَائِلُ : " فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ
مِنِّيْ "
Artinya: Kami berpendapat tidak sepatutnya mengikuti
apa yang dilakukan Utsman RA secara mutlak tanpa ketentuan. Kita telah
mengetahui dari pembahasan yang lalu bahwasanya Utsman itu menambah adzan yang
pertama karena adanya alasan yang masuk akal yaitu telah banyaknya manusia dan
jauhnya tempat tinggal mereka dari Masjid Nabawi. Barangsiapa yang mengalihkan
pandangan dari ‘illat ini dan berpegang teguh dengan adzan Utsman secara
mutlak, pada dasarnya ia tidaklah mengikuti beliau RA bahkan telah menyelisihi
Utsman dalam hal menambah atas sunnah Rasulullah SAW serta dua khalifah setelah
beliau. Kesimpulannya: kami berpendapat bahwa cukuplah bagi kita adzan model
Nabi Muhammad dan hendaklnya dikumandangkan pada saat kedatangan dan naiknya Imam ke atas mimbar
karena telah hilangnya sebab yang mendorong Utsman untuk menambah adzan, dan
semata mata mengikuti sunnah Nabi SAW yang beliau pernah bersabda: “Barangsiapa
yang tidak suka dengan sunahku, maka ia bukan dari golonganku”. Muttafaq Alaih.
(Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah halaman 116. lihat pula Al Ajwibah An Nafi’ah halaman
5).
Tetapi nyatanya hingga
hari ini di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Adzan Jum’at masih dilakukan dua
kali. Bahkan Syekh Utsaimin mengatakan bahwa Albani – gara-gara ucapannya itu –
sebagai orang yang “tidak punya ilmu pengetahuan” sama sekali. Wallahu
A’lam
Syarif Rahmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar