http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Rabu, 14 November 2012

BID’AH TAPI DIPERTAHANKAN

Umar bin Khattab protes kepada Abu Bakar berkenaan kebijakannya memerangi orang-orang yang tidak membayar Zakat. Umar menganggapnya bid’ah karena tidak pernah dilakukan sepanjang hayat Rasulullah SAW. Tetapi Abu Bakar menjelaskan alasannya, maka Umar pun setuju hingga ia pun turut serta memerangi mereka.
Suatu hari Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar agar dilakukan penulisan Al Qur’an dalam satu Mushaf. Tetapi Abu Bakar keberatan untuk memenuhi usulannya itu. Alasannya—kata Khalifah pertama itu:
كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم
“Bagai,mana aku harus melakukan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulull;ah SAW?”.
Tetapi Umar, meskipun tahu apa yang dkatakan Abu Bakar itu benar, memiliki alasan lain. Ia mengatakan:
هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ
“Demi Allah ini adalah baik”.  
Akhirnya Abu Bakar pun setuju dengan usulan Umar. Ketika Abu Bakar menugaskan Zaid bin Tsabit untuk menjadi juru tulisnya, sahabat ini pun keberatan denganalasan sama seperti Abu Bakar; “Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulyullah SAW ?”. Abu Bakar pun meneguhkan hatinya dengan ucapan yang dkatakan Umar bahwa perbuatan tersebut sekalipun memang “Bid’ah” atau “Mugdats” karena tidak pernah dlakukan Rasulullah Saw, tetapi merupakan bid’ah yang “baik”. Maka Zaid pun setuju dan segera melaksanakan tugas berat tersebut. Cerita ini dkemukakan oleh Al Imam Al Bukhari dalam Shahihnya.
Suatu ketika Umar menyaksikan ramainya kaum Muslimin menunaikan Qiyamu Ramadhan di dalam Masjid dengan banyak Imam. Tiba tiba muncullah gagasan untuk menyatukan para sahabat Rasulullah SAW itu dengan satu Imam. Maka Umar pun menugaskan Ubay bin Ka’ab agar mengimami mereka sebanyak 20 raka’at. Ketika disaksikannya kekompakan kaum Muslimin atas prakarsanya itu, Khalifah kedua itu berkata:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik Bid;ah adalah ini”. Cerita ini dilaporkan oleh Al Imam Al Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya.
Praktek Shalat tarawih semacam ini oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani telah ditetapkan sebagai Bid’ah yang harus ditinggalkan. Menurutnya Tarawih yang benar itu tidak boleh melebihi 11 raka’at Perhatikan ucapannya:
فَاِذَا عَلِمْتَ مِمَّا سَبَقَ اَنَّ الشَّارِعَ الْحَكِيْمَ جَعَلَ لِلتَّرَاوِيْحِ اِحْدَى عَشَرَةَ رَكْعَةً لَمْ يثجَاوِزْهَا اَلْبَتَّةَ يَتَبَيَّنُ لَكَ اَنَّهُ لَا خِيَرَةَ لِلْمُتَعَبِّدِفِي الزِّيَادَةِ عَلَيْهِ...
Artinya: “Jika anda telah tahu dari pembahasan yang lalu bahwasanya Syari’ (Allah) Yang Maha Bijaksana telah menjadikan Shalat tarawih itu sebelas raka’at tanpa tambahan sama sekali, maka jelas bagi anda bahwa tidak ada alasan bagi orang yang hendak beribadah menambah lebih dari itu..” (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah halaman 189).
Tetapi faktanya hingga hari ini di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi bahkan kebanyakan Masjid di dunia Salat tarawih dilakukan dengan berjama’ah serta dikerjakan dengan 23 raka’at sebagaimana Bid’ah yang dkerjakan Umar bin Khattab.
Pada mulanya Hadis diriwayatkan dari Rasulullah SAW dengan menggunakan hafalan. Oleh karena itu ketika digagas penulisan Hadis dalam kitab-kitab, para Ulama Salaf keberatan. Demikianlah dilaporkan Al Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitabnya Jami’ Bayanu Al Ilmi Wa Fadhlihi pada Juz 1 halaman 76. Mereka beralasan antara lain dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan:
لاَ تَكْتُبُوا عَنِّى وَمَنْ كَتَبَ عَنِّى غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ وَحَدِّثُوا عَنِّى وَلاَ حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَىَّ - قَالَ هَمَّامٌ أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ ».(رواه مسلم)
Artinya: “Janganlah kalian tuliskan apa yang datang dariku selain Al Qur’an. Siapa yang telah menuliskan dariku selain Al Qur’an hendaklah menghapusnya. Tetapi silahkan kalian menceritakannya apa yang datang darikutidak ada masalah. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia menghamparkan tempat duduknya di neraka”.(HR Muslim).
Tetapi larangan ini belakangan tidak lagi dihiraukan sehingga para Ulama menuliskan kitab-kktab Hadis dalam jumlah yang sangat banyak.
Para Ulama Al Qur’an membuat istilah istilah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW yang dikenal dengan ilmu Tajwid. Salah satu bahasan ilmu Tajwid adalah masalah Waqf cara berhenti dalam membaca ayat-ayat Al Qur’an. Mereka mebagi Waqaf ini dalam 4 (empat) kategori; Tam (Sempurna), Kafi (cukup), Hasan (baik) dan Qabih (buruk). Tetapi pembuatan istilah tersebut pernah ditentang oleh Al Qadhi Abu Yusuf Rahimahullah, murid dari Al Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Abu Yusuf mengatakan bahwa pembuatan istilah Waqaf Tam, Kafi, Hasan dan Qabih adalah Bid’ah dan orang yang membuat istilah tersebut adalah ahli bid’ah sebab yang namanya Al Qur’an itu Mu’jizat, semuanya sama saja dengan sebagiannya, sama sama Al Qur’an dan Mu’jizat, semuanya Hasan (baik) dan Tam (sempurna). (Lihat Al Burhan Fi Ulum Al Qur’an karya Al Imam Az Zarkasyi Juz 1 halaman 354. Lihat pula Al Waqf Wa Al Ibtida karya Prof. DR Abdul Karim Ibrahim Iwad Sahlih Dosen Al Qur’an Universitas Al Azhar Mesir halaman 43 ).
Jika ditelusuri dalam kitab-kitab Hadis memang tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan adanya istilah Waqaf tersesbut, sehingga dapat dikatakan sebagai Bid’ah. Tetapi hingga hari ini di seluruh dunia kaum Muslimin menggunakan istilah tajwid tersebut, tidak ada yang mengikuti Fatwa bid’ah Abu Yusuf Rahimahullah.
Tidak terdapat keterangan yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menentukan waktu kuliah atau pelajaran secara khusus kepada para sahabatnya. Tetapi para Ulama Saudi Arabia di beberapa Masjid seringkali memberikan materi pelajaran dan nasehat setelah Shalat Ashar atau di antara Shalat tarawih. Pada masa Rasulullah SAW dan generasi Salaf, Adzan dikumandangkan tepat di permulaan masuk waktu Shalat fardu. Tetapi Kerajaan Keluarga Sa’ud memiliki “kebijakan” sendiri selama bulan Ramadhan. Para Mu’adzdzin diperintahkan menunda Adzan Isya setengah Jam setelah masuk waktunya. Demikian pula tentang Shalat Istisqa. Para penguasa Kerajaan Keluarga Sa’ud senantiasa menanti hari Senin atau kamis ketika hendak melaksanakan Shalat Istisqa, padahal tidak ada ssatu dalil pun yang mengharuskan demikian. (Lihat Mafhum Al Bid’ah karya Doktor Abdul Ilah Husain Arfaj halaman 51). Ketiga kegiatan ini tentu saja – bila dilihat secara sekilas – merupakan bid’ah karena memang tidak ada dalilnya. Tetapi mengingat kemaslahatan yang diperolehnya, barangkali, para Ulama Saudi erus saja mengerjakannya tanpa ada seorang pun di antara mereka – betapa pun ekstrimnya – yang mengatakan perbuatan tersebut bid’ah yang sesat dan diancam masuk neraka.
Termasuk Bid’ah adalah Adzan Jum’at dua kali. Adzan Jum’at dua kali memang baru diadakan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, sehingga bila dihubungkan denganmasa Rasulullah SAW memang termasuk dalam kategori “baru”. Itu sebabnya perbuatan tersebut dinilai oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Albani sebagai perbuatan bid’ah yang harus ditinggalkan.
لَا نَرَى الْاِقْتِدَاءَ بِمَا فَعَلَهُ عُثْمَانُ رضي الله عنه عَلَى الْإِطْلَاقِ وَدُوْنَ قَيِّدٍ فَقَدْ عَلِمْنَا مِمَّا تَقَدَّمَ أَنَّهُ إِنَّمَا زَادَ الءأَذَانَ الْأَوَّلَ لِعِلَّةٍ مَعْقُوْلَةٍ وَهِيَ كَثْرَةُ النَّاسِ وَتَبَاعُدُ مَنَازِلِهِمْ عَنِ الْمَسْجِد النَّبَوِيِّ فَمَنْ صَرَّفَ النَّظْرَ عَنْ هَذِهِ الْعِلَّةِ وَتَمَسَّكَ بِأَذَانِ عُثْمَانَ مُطْلَقًا لَا يَكُوْنُ مُقْتَدِيًا بِهِ رضي الله عنه بَلْ هُوَ مُخَالِفٌ لِعُثْمَانَ أَنْ يَزِيْدَ عَلَى سُنَّتِهِ عليه الصلاة و السلام وَسُنَّةِ الْخَلِيْفَتَيْنِ مِنْ بَعْدِهِ   ... وَالْخُلَاصَةُ : أَنَّنَا نَرَى أَنْ نَكْتَفِىَ بِالْأَذَانِ الْمُحَمَّدِيِّ وَأَنْ يَكُوْنَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْإِمَامِ وَصُعُوْدِهِ عَلَى الْمِنْبَرِ لِزَوَالِ السَّبَبِ الْمُبَرِّرِ لِزِيَادَةِ عُثْمَانَ وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم وَهُوَ الْقَائِلُ : " فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ "
 Artinya: Kami berpendapat tidak sepatutnya mengikuti apa yang dilakukan Utsman RA secara mutlak tanpa ketentuan. Kita telah mengetahui dari pembahasan yang lalu bahwasanya Utsman itu menambah adzan yang pertama karena adanya alasan yang masuk akal yaitu telah banyaknya manusia dan jauhnya tempat tinggal mereka dari Masjid Nabawi. Barangsiapa yang mengalihkan pandangan dari ‘illat ini dan berpegang teguh dengan adzan Utsman secara mutlak, pada dasarnya ia tidaklah mengikuti beliau RA bahkan telah menyelisihi Utsman dalam hal menambah atas sunnah Rasulullah SAW serta dua khalifah setelah beliau. Kesimpulannya: kami berpendapat bahwa cukuplah bagi kita adzan model Nabi Muhammad dan hendaklnya dikumandangkan pada saat kedatangan dan naiknya Imam ke atas mimbar karena telah hilangnya sebab yang mendorong Utsman untuk menambah adzan, dan semata mata mengikuti sunnah Nabi SAW yang beliau pernah bersabda: “Barangsiapa yang tidak suka dengan sunahku, maka ia bukan dari golonganku”. Muttafaq Alaih. (Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah halaman 116. lihat pula Al Ajwibah An Nafi’ah halaman 5).
 Tetapi nyatanya hingga hari ini di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi Adzan Jum’at masih dilakukan dua kali. Bahkan Syekh Utsaimin mengatakan bahwa Albani – gara-gara ucapannya itu – sebagai orang yang “tidak punya ilmu pengetahuan” sama sekali. Wallahu A’lam
Syarif Rahmat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar