http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Jumat, 23 November 2012

perang tabuk di bulan rajab

Ditulis Oleh: Munzir Almusawa   
Tuesday, 05 June 2012


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَقُولُ، عِنْدَ الْكَرْبِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ، وَرَبُّ الْأَرْضِ، وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ،
(صحيح البخاري)
Dari Ibn Abbas Ra: Sungguh Rasulullah SAW berdoa ketika dalam kesulitan: Laa ilaaha illallahul adhiimul haliim, Laa ilaaha illallah rabbul arsyi adhiim, laa ilaaha illallah, rabbbussamawati, wa rabbul ardhi, wa rabbul arsyil adhiim (Tiada Tuhan Selain Allah, Maha Agung dan Maha Berlemah Lembut, Tiada Tuhan Selain Allah Pemilik Arsy yang agung, Tiada Tuhan Selain Allah, Pemilik seluruh langit dan Bumi dan pemilik Arsy yang Mulia ) (Shahih Bukhari)
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
حَمْدًا لِرَبٍّ خَصَّنَا بِمُحَمَّدٍ وَأَنْقَذَنَا مِنْ ظُلْمَةِ اْلجَهْلِ وَالدَّيَاجِرِ اَلْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِيْ هَدَانَا بِعَبْدِهِ اْلمُخْتَارِ مَنْ دَعَانَا إِلَيْهِ بِاْلإِذْنِ وَقَدْ نَادَانَا لَبَّيْكَ يَا مَنْ دَلَّنَا وَحَدَانَا صَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبـَارَكَ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ اَلْحَمْدُلِلّهِ الَّذِي جَمَعَنَا فِي هَذَا الْمَجْمَعِ اْلكَرِيْمِ وَفِي الْجَلْسَةِ الْعَظِيْمَةِ نَوَّرَ اللهُ قُلُوْبَنَا وَإِيَّاكُمْ بِنُوْرِ مَحَبَّةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَخِدْمَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَاْلعَمَلِ بِشَرِيْعَةِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Limpahan puji kehadirat Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Luhur, Yang Maha melimpahkan rahasia keberkahan di bulan-bulan tertentu yang terlimpah keluhuran yang lebih, keluhuran Allah subhanahu wata’ala tidak pernah terbenam bagi hamba-hambaNya, berbeda dengan matahari yang timbul dan tenggelam, berbeda pula dengan bulan yang muncul dan sirna, berbeda dengan air di lautan yang terkadang pasang dan surut, berbeda dengan bumi yang mana ada permukaan datar dan ada yang rendah dan ada pula yang tinggi, berbeda dengan semua makhluk yang ada, sebagaimana firmanNya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(الشورى : 11 )
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” ( QS. As Syuuraa : 11)
Allah subhanahu wata’ala melimpahkan keluhuran kepada hamba-hambaNya, dan mereka yang mendapatkan keluhuran adalah keturunan nabiyullah Adam As yang telah disetujui oleh Allah untuk masuk ke dalam samudera cahaya لا إله إلا الله , samudera cahaya itu menerangi jiwa hamba-hambaNya sehingga sirnalah sifat-sifat yang hina dan terbitlah sifat-sifat yang luhur dan mulia, cahaya itu membenahi jiwa seseorang sehingga setiap ucapan, penglihatan , pendengaran dan segala sesuatu yang berada di sekitarnya akan terang benderang dengan cahaya لا إله إلا الله , dan yang telah disabdakan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلهَ إِلَّا الله
“ Sesungguhnya Allah telah mengharamkan api neraka terhadap orang yang mengucapkan لا إله إلا الله “
Gejolak api neraka diharamkan oleh Allah untuk menyentuh orang-orang yang mengucapkan kalimah tauhid ( لا إ له إلا الله ) murni dari dasar sanubarinya. Oleh karena itulah dengan keagungan kalimah tauhid ini berpijarlah kemuliaannya di bulan yang mulia ini, kalimat yang dirangkum dalam suatu rangkuman luhur yaitu berupa ibadah shalat yang dihadiahkan oleh Allah kepada kita di bulan Rajab, dan juga sebagai undangan tunggal untuk satu-satunya makhluk yang mewarisi cahaya kalimah لا إ له إلا الله , makhluk yang paling terang benderang dengan cahaya لا إ له إلا الله , dan satu-satunya makhluk yang terpilih sebagai pemimpin makhluk-makhluk yang terang benderang dengan cahaya لا إ له إلا الله , beliaulah sayyidina Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu kita akan membaca hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkannya kepada ummatnya, dan ucapan ini pun hampir selalu kita baca di setiap akhir majelis, namun sebagian ada yang bertanya : “Mengapa yang diucapkan bukan لا إ له إلا الله محمد رسول الله , riwayat dari mana kalimat-kalimat tersebut, mengapa kalimat itu banyak diulang-ulang di Majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ?”, karena banyaknya pertanyaan akan hal itu , maka hal itu perlu kita jawab agar mereka yang hadir di majelis-majelis mengetahui dan meyakini bahwa hal-hal yang kita amalkan kesemuanya sejalan dengan apa yang diperbuat oleh guru mulia ketika, dan telah mengajari kita untuk memperbanyak mengucapkan kalimat-kalima itu dan diulang sebnayak 3 kali, dan hal tersebut bukan hanya sekedar ajaran dari guru mulia saja atau sanadnya terputus sampai pada beliau saja, akan tetapi sanad tersebut bersambung hingga kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ucapan tersebut bukanlah ucapan yang dibuat-buat oleh Majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ketahuilah bahwa hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidina Abdullah bin Abbas Radiyallahu ‘anhuma :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ عِنْدَ الْكَرْبِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
“ Dari sayyidina Ibn Abbas Ra, sesungguhnya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dalam kesedihan mengucapkan : “ Tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah Yang Maha Agung dan Maha Pengampun, Tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah, Tuhan Yang menguasai ‘arsy, tiada Tuhan Yang berhak disembah selain Allah, Tuhan Yang menguasai langit dan bumi, Tuhan Yang menguasai ‘arsy lagi Maha Mulia”
Kalimat ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di saat kita ditimpa musibah atau dalam kesulitan untuk membaca kalimat ini, sehingga dengan cahaya keluhuran لا إ له إلا الله maka musibah tersebut akan tertepis bagaikan debu yang tertiup angin dahsyat yaitu hembusan dari kalimat –kalimat luhur ini.
Begitu juga hal yang perlu kita fahami dari kalimat ini adalah penjagaan nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kita, dimana di saat kita ditimpa musibah atau dalam kesulitan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan bacaan atau doa yang dapat membuat kesusahan atau kesulitan kita hilang dan sirna. Sungguh betapa banyak kesulitan yang sirna dan dihilangkan oleh Allah sebab seseorang mengamalkan atau membaca kalimat ini. Kalimat ini diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan saat ini telah sampai kepada kita yang mana sanad keguruan kita bersambung kepada guru mulia dari guru-gurunya hingga sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh sebab itu pelajari dan amalkan dzikir-dzikir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bekal hidup kita agar kita selamat dari segala musibah. Akan tetapi kalimat-kalimat luhur ini, bagi mereka yang memiliki ketajaman pemahaman maka mereka tidak hanya meyakini bahwa kalimat ini hanya dapat menghapus musibah atau kesulitan di dunia, akan tetapi kalimat ini juga akan menghapus kesulitan atau permasalahan di akhirat, sebagaimana hadits yang tadi disebutkan bahwa seseorang yang mengucapkan لا إله إلا الله dari dasar hatinya maka Allah akan mengharamkannya dari api neraka. Namun masih banyak orang yang meremehkan keagungan kalimat ini, sehingga mereka merasa tidak perlu untuk mengulang-ulang kalimat ini, bahkan sampai-sampai melarang orang lain untuk banyak mengucapkan kalimat ini, dengan dalih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengucapakan kalimat tersebut secara bersama-sama dan beramai-ramai. Namun tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyampaikan kemuliaan kalimat-kalimat ini, maka di saat kaum muslimin ditimpa banyak musibah dan permasalahan, terjebak dalam berbagai macam pebuatan hina dan dosa, dan jauh dari perbuatan-perbuatan mulia, maka dalam keadaan seperti itu kemana mereka akan melarikan diri, jika bukan pada perkumpulan dzikir, untuk mencabut dan menepis setiap pemasalahan, kesusahan atau kesedihan yang menimpa mereka, dosa-dosa yang menindih mereka, yang yang mana hal itu juga memungkinkan timbulnya permasalahan atau musibah di masa depannya baik di dunia atau di akhirat, maka perkumpulan dalam dzikir mengucapkan لا إله إلا الله hampir tidak pernah ditinggalkan oleh para salafusshalih, sehingga di setiap akhir majelis selalu ditutup dengan mengucapkan kalimah talqin (لا إله إلا الله ), karena satu hal yang dirisaukan oleh para shalihin adalah jika seseorang telah tenggelam dalam perbuatan dosa maka di saat ia berada dalam keadaan sakaratul maut maka ia tidak dapat mengucapkan kalimat لا إله إلا الله atau bahkan lupa dengan kalimat tersebut, sehingga mereka para shalihin menjadikan dalam setiap perkumpulan selalu ada pengucapan kalimat-kalimat لا إله إلا الله . Al Imam Ibn Hajar berkata dalam Fathul Bari bisyarh Shahih Al Bukhari dikarenakan keagungan kalimat لا إله إلا الله maka menjadi sesuatu yang disunnahkan untuk diulang-ulang, agar kalimat itu tertanam di hati kita, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّ للهِ تِسْعَةُ وَتِسْعُوْنَ اِسْمًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“ Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang menghafalnya maka akan masuk surga”
Hal ini bukan berarti cukup bagi kita hanya menghafal 99 nama Allah tanpa melakukan ibadah yang lainnya, namun maksud dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa seseorang yang menghafal nama-nama Allah maka berarti orang tersebut sering atau banyak menyebut nama-nama Allah sehingga ia menghafalnya. Ketika seeorang banyak menyebut dan mengingat nama-nama Allah, sebagaiman nama-nama Allah memiliki makna-makna yang berbeda, sehingga hal tersebut dapat menjadikan seseorang untuk banyak melakukan kebaikan dan meninggalkan perbuatan yang hina. Oleh sebab itu cahaya dari 99 nama Allah subhanahu wata’ala jika ada dalam setiap sanubari kita maka akan menjaga kita dari perbuatan-perbuatan hina, sehingga ketika akan wafat pun kalimat itulah yang memenuhi sanubari kita.
Di bulan Rajab ini salah satu peristiwa yang perlu kita ingat adalah peristiwa perang Tabuk yang terjadi pada akhir bulan Jumadil Tsani dan awal Rajab, setahun setelah kejadian perang Mu’tah dimana ketika sayyidina Ja’far bin Abi Thalib, sayyidina Zaid bin Haritsah dan sayyidina Abdullah Ibn Rowahah Rdiyallahu ‘anhum wafat dalam perang Mu’tah. Maka setahun kemudian setelah kejadian itu, sampailah kabar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa pasukan Romawi akan masuk ke Jazirah Arab melewati wilayah Tabuk, dan ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada dalam keadaan yang sulit, diriwayatkan dalam sirah Ibn Hisham bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan dan menyampaikan tausiah kepada para sahabat untuk bershadaqah, barangkali diantara mereka ada yang dapat membantu dengan hartanya, jika diantara mereka mempunyai tunggangan (onta,kuda atau keledai) lebih atau memiliki simpanan senjata yang banyak, mungkin memiliki simpanan makanan yang banyak atau yang lainnya untuk dijadikan sebagai persiapan untuk menuju Tabuk, karena perjalanan menuju Tabuk merupakan perjalanan terjauh dalam peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka sayyidina Utsman bin Affan Ra adalah orang pertama yang menanggapi dan menjawab apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di saat para sahabat yang lainnya terdiam, seraya berkata : “Wahai Rasulullah, dariku 1000/100 Dinar untuk persiapan perang Tabuk”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meneteskan air mata dan mengangkat tangannya seraya berdoa kepada Allah subhanahu wata’ala :
اَللّهُمَّ ارْضَ عَنْ عُثْمَانَ فَإِنِّي عَنْهُ رَاضٍ
“ Ya Allah ridhailah Utsman, sesungguhnya aku telah ridha terhadapnya”
Maka ketika itu keberangkatan menuju Tabuk segera dipersiapkan, yang mana tujuan dari perjalanan tersebut adalah untuk menahan pasukan Romawi yang akan menyerang Jazirah Arab melalui wilayah Tabuk, dimana Tabuk merupakan daerah pantai. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menahan mereka agar tidak masuk ke wilayah muslimin, sehingga Rasulullah dan pasukan muslimin berangkat untuk menunggu pasukan Romawi di pantai Tabuk, yang mana keberangkatan itu terjadi pada akhir bulan Jumadil Tsani, dalam riwayat lain terjadi pada awal bulan Rajab. Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw untuk tetap berada di Madinah Al Munawwarah, maka beliau pun menetap di Madinah meskipun ada perasaan kecewa dalam diri beliau, terlebih lagi dengan munculnya perkataan dari sebagian orang yang berkata bahwa sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah pemuda yang kuat dan memiliki kehebatan dalam peperangan namun diperintahkan untuk tidak ikut dalam peperangan akan tetapi hanya menetap di Madinah untuk menjaga kaum wanita dan anak-anak. Mendengar hal itu sayyidina Ali Kw langsung mengambil pedang, perisai dan peralatan perang yang lainnya kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, engkau akan berangkat untuk perang dan meninggalkan aku disini bersama para wanita dan anak-anak kecil”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُوْنَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُوْنَ مِنْ مُوْسَى إِلَّا أَنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِيْ
“ Tidakkah engkau rela/senang jika engkau di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa, hanya saja tidak ada nabi setelahku”
Demikianlah cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menenangkan sayyidina Ali Kw yang penuh dengan semangat juang ini agar tidak kecewa atau merasa diremehkan karena tidak diikutsertakan dalam perang Tabuk dan tidak bisa ikut serta mendapatkan pahala jihad, terlebih beliau selalu ingin melindungi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun Rasulullah mengetahui bahwa perang Tabuk bukanlah peperangan yang besar, oleh sebab itu beliau diperintahkan untuk tetap berada di Madinah Al Munawwarah untuk mentarbiyah (mendidik) jiwa, dimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Murabbi (pendidik) yang paling mulia dan agung dari semua murabbi. Maka merasa tenanglah sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw setelah mendengar perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau pun kembali ke Madinah Al Munawwarah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama pasukan muslimin terus bergerak menuju Tabuk. Dan saat itu ada salah seorang berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, izinkalah aku untuk tidak ikut dalam peperangan agar aku tidak terjebak dalam fitnah karena aku adalah orang yang sangat menyukai wanita cantik, dan di Tabuk banyak wanita cantik sehingga aku tidak tergoda oleh mereka, maka lebih baik aku tidak mengikuti peperangan”, namun sebaliknya dengan alasannya tersebut justru akan menjebaknya dalam fitnah karena memisahkan diri dari pasukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin. Karena Rasulullah shallallahu wasallam jika mendapatkan seseorang yang berhalangan untuk ikut perang dengan alasan yang dapat diterima maka pastilah beliau mengizinkannya dan Allah juga akan mengizinkannya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah dengan firmanNya. Begitupula ketika kaum munafik berkata kepada sebagian yang lainnya untuk tidak berangkat dalam peperangan itu karena cuaca yang sangat panas, kemudian Allah subhanahu wata’ala memfirmankan ucapan mereka dalam Al qur’an :
فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَنْ يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِي الْحَرِّ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا لَوْ كَانُوا يَفْقَهُوْنَ
( التوبة : 81 )
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: Api neraka Jahanam itu lebih sangat panas (nya)", jika mereka mengetahui.” ( QS. At Taubah : 81 )
Maka diantara orang-orang munafik itu ada yang bertobat dan ada juga yang tetap di tempatnya dan tidak mengikuti peperangan. Dan dalam sirah Ibn Hisham disebutkan bahwa ada diantara kaum munafik yang menginap di suatu tempat dan membicarakan keberangkatan ke Tabuk kemudian di pagi harinya didapati tubuh mereka telah hangus dan tidak seorang pun dari mereka yang masih hidup. Kemudian ada beberapa orang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ingin mengikuti perang tabuk namun tidak memiliki kendaraan, sedangkan semua tunggangan yang ada sudah ada yang menungganginya, maka Rasulullah tidak mengizinkan mereka dan bersumpah bahwa mereka tidak akan bisa ikut dalam perang Tabuk. Maka mereka merasa sangat sedih dan menangis, dan ketika itu datanglah beberapa orang yang membawa hewan tunggangan baru, kemudian Rasulullah mengkafarti sumpahnya dan mengizinkan mereka untuk ikut dalam perang Tabuk, dan ketika itu berubahlah wajah sang nabi menjadi cerah yang tadinya juga merasa sedih karena tidak bisa membawa mereka ikut serta dalam perang Tabuk. Di tengah perjalanan Abu Khaitsamah menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan muslimin, dimana ketika itu beliau pergi ke luar Madinah dan setelah kembali ke Madinah beliau mendapati Madinah sepi dari para kaum lelaki, yang ada hanyalah kaum wanita dan anak-anak, dan di saat itu istri Abu Khaitsamah telah menyambut kepulangannya dengan menyirami tanah dengan air kemudian menutupinya dengan tikar agar terasa sejuk, dan juga telah menyiapkan makanan dan minuman untuk menyambut suaminya akan datang, maka setelah tiba di depan rumah ia berkata : “Disini akan kudapati tempat yang sejuk serta makanan dan minuman telah disiapkan, sedangkan di saat ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di bawah panas matahari dalam keadaan haus dan lapar, demi Allah aku tidak akan masuk ke dalam rumah ini”, kemudian ia berkata kepada istrinya : “siapkan untukku perbekalan untuk aku menyusul Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan kaum muslimin”, kemudian beliau pun menyusul pasukan Rasulullah dan kaum muslimin menuju Tabuk. Di tengah perjalanan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan sedang beristirahat, salah seorang berkata : “ Wahai Rasulullah, ada seseorang yang menunggangi kuda datang menuju kesini”, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “ (jadilah) orang yang datang itu adalah Abu Khaitsamah”, dan ternyata benar orang itu adalah beliau. Kemudian beliau meminta maaf akan keterlambatannya karena beliau tidak mengetahui hal tersebut, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun ridha dan mendoakannya dengan kebaikan. Beberapa saat terdengar ucapan diantara orang-orang yang ada dalam perjalanan ke Tabuk “mengapa si fulan tidak ikut”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas berkata : “Biarkanlah mereka, jika Allah menghendaki maka mereka akan berangkat dan jika Allah tidak menghendaki maka mereka tidak akan berangkat”. Setelah beberapa waktu dan mereka sedang beristirahat, terlihat dari kejauhan seseorang yang sedang berjalan kaki dengan membawa barang-barang di punggungya, maka salah seorang berkata : “Wahai Rasulullah, ada seseorang berjalan kaki menuju kesini”, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “(jadilah) orang yang datang itu adalah Abu Dzar Al Ghifari”, dan ternyata benar yang datang adalah sayyidna Abu Dzar, dimana keledai beliau sudah sangat lemah sehingga ia berjalan kaki dan memikul barang-barangnya serta menuntun keledainya, karena tidak ingin membebani keledainya yang sudah sangat tua dan lemah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
رَحِمَ اللهُ أَبَا ذَرِّ يَمْشِيْ وَحْدَهُ وَيَمُوْتُ وَحْدَهُ وَيُبْعَثُ وَحْدَهُ
“ Semoga Allah melimpahkan rahmatNya untuk Abu Dzar yang berjalan sendirian, dan akan wafat dalam keadaan sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian”
Suatu hari ketika sedang bermalam di suatu tempat, tunggangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hilang, dan ketika itu banyak golongan orang munafik yang juga ikut dalam perang Tabuk yang mana mereka hanya menginginkan harta yang akan didapatkan dari pasukan Romawi jika kaum muslimin mengalahkan mereka, maka diantara orang munafik itu ada yang berkata : “Bukankah ia nabi dan mendapatkan wahyu dari langit, tapi mengapa hewan tunggangannya hilang namun ia tidak tau dimana tunggangannya berada”, dan ketika itu sayyidina Umarah yang mendengar ucapan tersebut lantas pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Aku tidak mengetahui sesutu kecuali sesuatu yang telah diberitaukan oleh Allah, dan ontaku saat ini terjebak di sebuah pepohonan di suatu tempat”. Maka Abu Umarah marah terhadap temannya yang munafik itu yang ikut satu tunggangan bersamanya, lalu Abu Umarh berkata kepadanya : “Mulai saat ini engkau jangan ikut bersamaku, kembali saja ke Madinah”. Kemudian perjalanan dilanjutkan, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berhadapan dengan sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja Yohana, dimana raja itu beragama Nasrani dan menolak untuk masuk Islam namun tetap ingin menjalin hubungan baik dengan Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Jika engkau tidak ingin berperang karena kami akan menuju Tabuk, maka engkau harus membayar Jizyah (pajak bagi orang non muslim)”, sehingga masalah Jizyah ini oleh orang-orang yang ingin mengadu domba antara ummat Islam dan orang non muslim, dengan mengatakan bahwa kekejaman ummat Islam adalah mengharuskan kaum non muslim untuk membayar Jizyah, padahal Jizyah adalah sebagaimana pajak yang harus dibayar oleh orang-orang non muslim yang mampu, dan uang tersebut dipergunakan untuk membayar pasukan untuk menjaga mereka, dan jumlah Jizyah jauh lebih sedikit daripada zakat. Maka raja Yohana memilih untuk membayar Jizyah, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menulis perjanjian kepada raja Yohana, diantara perjanjian itu adalah adalah :
سُفُنُهُمْ وَسَيَّارَاتِهِمْ فِي اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ لَهُمْ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ
“ Kapal-kapal dan kendaraan/tunggangan mereka yang ada di daratan atau di lautan berada dalamdzimmah ( jaminan) Allah dan Muhammad rasulullah”
Karena mereka telah membayar Jizyah, maka berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membayar para pasukan dari uang Jizyah yang mereka berikan untuk melindungi diri mereka dan harta mereka, sungguh indah akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang-orang non muslim yang tidak memerangi Islam dan mau untuk membayar Jizyah. Sehingga disebutkan bahwa bagi mereka (non muslim) ada jaminan (penjagaan) Allah dan RasulNya. Kemudian di suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sayyidina Khalid bin Walid untuk menemui raja Ukaidar di wilayah dekat dengan Tabuk, dan diberitahukan kepada beliau bahwa raja itu akan keluar dengan dua atau tiga orang saja, kemudian memerintah untuk menangkapnya. Lalu sayyidina Khalid bin Walid bersama beberapa pasukan keluar menuruni benteng dan mendekati istana raja Ukaidar, dan ketika itu beliau mendapati raja Ukaidar sedang keluar dan dalam keadaan kebingungan. Raja Ukaidar adalah orang yang suka menangkap kerbau-kerbau buas, tiba-tiba di saat itu kerbau-kerbau itu banyak yang keluar maka ia pun keluar dari istana dengan kebingungan, di saat itu ditangkaplah ia dan dilepaslah jubahnya dan dibawa kehadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika melihat pakaian raja Ukaidar yang terbuat dari sutera dan tenunan dari benang-benang emas, para sahabat pun merasa takjub karena belum pernah menemui pakaian seindah itu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Apakah kalian merasa takjub dengan keindahan pakaian raja Ukaidar ini!?, sungguh sapu tangan Sa’ad bin Muadz jauh lebih indah dan lebih berharga daripada pakaian raja Ukaidar ”. Kemudian raja Ukaidar pun membayar Jizyah dan tidak lama kemudian ia pun masuk Islam, akan tetapi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat ia murtad (kembali pada agamanya), sehingga ia diperangi dan meningga di masa sayyidina Abu Bakr As Shiddiq Ra. Di tempat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pasukan berdiam sampai 10 hari namun pasukan Romawi tidak juga tiba, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan pasukan mengarah untuk kembali ke Madinah Al Munawwarah, dalam perjalanan beliau dan kaum muslimin membangun 17 Masjid diantara Tabuk dan Madinah Al Munawwarah. Sesampainya di Madinah, sayyidina Ka’ab bin Malik datang terengah-engah dengan menagis menghadap Rasulullah dan berkata : “Wahai Rasulullah, maafkan aku karena tidak ikut berangkat bersama kalian ke Tabuk”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata bahwa beliau belum bisa memberi jawaban apakah taubatnya diterima oleh Allah sebelum ada perintah dari Allah subhanahu wata’ala, di saat itu ada 3 orang sahabat yang tidak ikut dalam perjalanan ke Tabuk, mereka adalah sayyidina Sa’ad Ibn Malik, Murarah bin Rabi’ah dan Hilal bin Umayyah, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala :
وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
( التوبة : 118 )
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan tobat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”. ( QS. At Taubah : 118 )
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada 3 orang tersebut jika mereka ingin bertobat maka seluruh kaum Muslimin di Madinah tidak boleh ada seseorang pun yang mengajak berbicara dengan mereka kecuali hanya diantara 3 orang tersebut, sebagai hukuman untuk mereka sampai ada perintah dari Allah yang memutuskan bahwa tobat mereka diterima oleh Allah. Maka dengan keadaan tersebut mereka mereka merasa tersiksa dan hal itu pun berlanjut hingga 30 hari, dan di hari ke 40 turun perintah yang lebih keras dari Allah yaitu untuk berpisah dengan istri dan keluarganya dan tidak boleh berjumpa dengan mereka, kemudian di hari yang ke 50 turunlah wahyu dari Allah subhanahu wata’ala bahwa Allah menerima tobat ketiga orang tersebut, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil mereka, kemudian mereka mencium tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dalam riwayat lain beliau mencium lutut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena gembira, maka kejadian ini juga merupakan dalil dari beberapa dalil yang ada akan diperbolehkannya mencium tangan.
Selanjutnya kita bersalam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian kalimat talqin dan doa penutup oleh Al Habib Hud bin Muhammad Baqir Al Atthas, yataffaddhal masykuraa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar