sewaktu berbincang ada yang mengatakan bahwa apabila terjadi dua hari raya idul fitri atau idul adha yang bertepatan dengan hari jum'at maka tidak perlu diadakan shalat jum'at.dan mereka berpegang dengan hadist berikut ini:
Artinya: Iyas bin
Abu Ramlah Asy Syami berkata: Aku mendengar ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah engkau pernah menyaksikan dua
hari raya berkumpul di satu hari bersama Rasulullah SAW ?”. Zaid
menjawab: “Ya, pernah”. Orang itu bertanya lagi: “Bagaimana beliau
mengerjakannya?”. Zaid menjawab: “Beliau menunaikan Shalat Hari Raya
kemudian memberikan dispensasi untuk shalat Jum’atnya. Beliau bersabda:
“Siapa yang mau shalat Jum’at silahkan” (HR Ibnu Majah).
Berpegang kepada Hadis ini ada sementara orang yang mengatakan bahwa
apabila Idul Fitri atau Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at maka
tidak perlu diadakan Shalat Jum’at. pendapat ini tentu saja tidak dapat
diterima karena:
Pertama, sabda ini ditujukan khusus kepada
orang-orang yang jauh dari pusat kota di mana Masjid Rasulullah SAW
berada. Dalam riwayat lain disebutkan:
أخبرنا الربيع قال :
أخبرنا الشافعي قال : أخبرنا إبراهيم بن محمد قال : أخبرنا إبراهيم بن عقبة
عن عمر بن عبد العزيز قال : اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه
و سلم فقال : من أحب أن يجلس من أهل العالية فليجلس في غير حرج (رواه
الشافعي)
Artinya: Pernah berkumpul dua hari raya pada masa
Rasulullah SAW, maka beliau bersabda: “Siapa di antara penduduk
perkampungan yang mau tetap duduk di Masjid hingga Jum’atan, silahkan
tetapi tidak harus” (HR Asy Syafi’i dalam Al Umm).
Inilah
kebijakan yang diterapkan oleh Khalifah Utsman bin Affan ketika beliau
menjabat sebagai Khalifah sebagaimana diriwayatkan:
Artinya: Abu Ubaid berkata: “Aku menyaksikan hari raya bersama Utsman
bin Affan. Beliau datang lalu shalat dan kemudian berkhutbah. Dalam
khutbahnya itu antara lain ia berkata: “Sesungguhnya pada hari ini telah
berkumpul dua hari raya. Oleh karena itu, siapa di antara penduduk
kampung yang ingin menunggu hingga Jum’atan silahkan menunggu. Dan siapa
yang akan pulang pun silahkan aku telah mengizinkan” (HR Malik).
Sudah diketahui bahwa aturan atau dalil yang ditujukan kepada kelompok
khusus tidak diberlakukan kepada kelompok lain. Oleh karena itu, izin
tidak mengikuti Shalat Jum’at yang bertepatan dengan Hari Raya (Idul
Fitri atau Idul Adha) adalah Khusus bagi penduduk perkampungan yang jauh
dari pusat kota. Itu pun harus dipahami dengan kondisi saat itu di mana
masjid Rasulullah SAW jauh dari tempat mereka tinggal. Adapun masa ini
masjid sangat banyak, maka illat diperbolehkannya tidak mengikuti Shalat
Jum’at sudah tidak ada lagi. Maka apabila di masa ini ada orang yang –
berdalih dengan Hadis di atas – untuk tidak mengikuti Shalat Jum’at,
dapat dikatakan salah jalan.
Kedua, yang dikatakan dalam Hadis
adalah kebolehan tidak mengikuti Jum’atan bagi orang yang
perkampungannya jauh dari Masjid Jami’ yang berada di pusat Kota. Itu
mengandung arti ibadah Jum’at harus tetap diadakan. Karenanya, manakala
ada satu Masjid yang – dengan alasan Hadis di atas – meliburkan ibadah
Jum’at, maka dapat dikatakan menyesatkan. Al Imam Asy Syafi’i
Rahimahullah mengatakan:
وإذا كان يوم الفطر يوم الجمعة صلى
الإمام العيد حين تحل الصلاة ثم أذن لمن حضره من غير أهل المصر في أن
ينصرفوا إن شاءوا إلى أهليهم ولا يعودون إلى الجمعة والاختيار لهم أن
يقيموا حتى يجمعوا أو يعودوا بعد انصرافهم إن قدروا حتى يجمعوا وإن لم
يفعلوا فلا حرج إن شاء الله تعالى قال الشافعي : ولا يجوز هذا لأحد من أهل
المصر أن يدعوا أن يجمعوا إلا من عذر يجوز لهم به ترك الجمعة وإن كان يوم
عيد
Artinya: “Apabila Hari raya bertepatan dengan hari Jum’at,
maka hendaknya Imam menunaikan Shalat hari raya kemudian mempersilahkan
kepada para hadirin yang datang dari luar kota bila hendak pulang ke
keluarganya dan tidak harus kembali lagi untuk menunaikan shalat Jum’at.
Namun yang lebih baik adalah mereka menunggu hingga selesai Jum’atan
atau jika mampu kembali lagi ke Masjid setelah pulangnya untuk
menunaikan ibadah Jum’at. Kalaupun mereka tidak kembali lagi itu tidak
ada masalah. Asy Syafi’i berkata: “Dan bagi orang perkotaan tidak
dibenarkan meninggalkan Jum’at meskipun bertepatan dengan hari Raya
kecuali ada udzur yang membolehkan mereka meninggalkan Jum’at (all umm)
mengenai mempelajari Al-Qur'an atau hadist hendaknya kita bertanya kepada ahlinya agar tidak keliru dalam memahaminya yang banyak terjadi akhir-akhir ini,seperti yang dikatakan imam Ahmad bin hambal; Berkata Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :
Aku bertanya pada bapakku : “Ada seorang lelaki yang memiliki
kitab-kitab mushannaf, di dalam kitab tersebut ada perkataan Rasulullah
Shallallahu alaihi wa Sallam, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi ia
tidak meliliki ilmu untuk bisa mengetahui hadits yang lemah yang matruk
dan tidak pula bisa membedakan hadits yang kuat dari yang lemah, maka
bolehkah mengamalkan sesuai dengan apa yang dia inginkan dan memilih
sekehendaknya lantas ia berfatwa dan mengamalkannya?” Beliau
menjawab : “Tidaklah boleh mengamalkannya sehingga ia bertanya dari apa
yang ia ambil, maka hendaknya ia beramal di atas perkara yang shahih dan
hendaknya ia bertanya tentang yang demikian itu kepada ahli ilmu”
(lihat i’lamul muwaqi’in 4/179)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar