Salah satu keindahan bahasa Arab adalah bahwa setiap kata yang memiliki
kesamaan etimologi pada umumnya memiliki unsur kesamaan dalam maknanya. Kata “nahr”
misalnya, menurut asalnya berarti “mengalir”. Kata ini dipergunakan untuk:
·
Dalam arti “sungai” seperti dalam
ayat:
وَبَشِّرِ
الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ (البقرة:25)
Artinya: “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan
berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir “Anhar” (sungai-sungai) di bawahnya ....” (Al
Baqarah:25).
·
Dalam arti “siang hari” seperti dalam ayat:
تُولِجُ
اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَتُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَتُخْرِجُ الْحَيَّ
مِنَ الْمَيِّتِ وَتُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَتَرْزُقُ مَنْ تَشَاءُ
بِغَيْرِ حِسَابٍ (ال عمران:27)
Artinya: “Engkau masukkan malam ke dalam “nahar” (siang) dan Engkau
masukkan “nahar” (siang) ke dalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang
mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. dan Engkau beri rezki
siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)" (Ali Imran:27).
·
Dalam arti “menghardik” seperti dalam ayat:
وَأَمَّا
السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ (الضحى:10)
Artinya: “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu
menghardiknya” (Adh Dhuha:10).
Sungai dinamakan Nahr (mengalir) karena memang sungai merupakan tempat mengalirnya
air. Siang hari dinamakan nahar karena pada saat tersebut mengalir sinar
matahari. Untuk menghardik digunakan kata nahr karena orang yang
menghardik biasanya darah pelakunya mengalir dan orang yang dihardiknya pun
akan pergi bergerak menghindarinya.
Adapun makhluk manusia di dalam Al Qur’an disebut dengan beberapa sebutan.
·
Manusia pertama disebut dengan Adam yang berasal dari kata Adim Al Ardh
(اديم الارض)
yang bermakna “Kulit tanah”. Sebagaimana dalam ayat:
وَعَلَّمَ
آَدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ
أَنْبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَؤُلَاءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (البقرة:31)
Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!" (Al Baqarah:31)
·
Sekali waktu ia disebut dengan Basyar yang berarti kulit sebagaimana
dalam ayat:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ
مَسْنُونٍ (الحجر:28)
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan “basyar” (seorang manusia) dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk” (Al
Hijr:28)
·
Sekali waktu ia disebut dengan Al Insan yang terambil dari kata An
Nisyan (berarti lupa) atau Al Unsu (berarti jinak)
هَلْ
أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا (الانسان:1)
Artinya: “Bukankah telah datang atas “Insan” (manusia) satu waktu dari
masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?”
(Al Insan:1)
Manusia pertama dinamakan dengan Adam yang berarti kulit tanah menunjukkan
bahwa ia tercipta dari tanah. Dinamakan dengan basyar yang berarti kulit
menunjukkan bahwa makhluk ini adalah makhluk kasar bukan halus seperti Jin dan
Malaikat. Sedangkan dinamakan dengan Insan yang berarti lupa karena
makhluk ini memiliki sifat lupa. Ada juga yang menisbatkan kata Insan
kepada kata Al Uns yang berarti “jinak” karena manusialah makhluk yang
memiliki kecenderungan untuk jinak kepada Penciptanya.
Adapun isteri manusia pertama dinamakan dengan “Hawwa” (حواء) yang
berasal dari kata “Hayyun” (حيّ) berati
hidup. Yang demikian itu karena ia tercipta dari makhluk hidup yang tak lain
dari Adam itu sendiri. Seorang anak dalam bahasa arab disebut dengan Walad
(ولد)
yang berarti lahir atau Maulud (مولود) yang berarti “dilahirkan”, sedangkan seorang ayah dinamakan Walid
(والد)
yang berarti “laki-laki yang melahirkan” dan ibu dinamakan Walidah (والدة) yang
berarti “wanita yang melahirkan”. Ketiga kata kata tersebut memiliki akar kata
yang sama yaitu “wiladah” yang berarti kelahiran. Jadi ikatan antara anak, ayah
dan ibu adalah adanya ikatan ketiganya dalam masalah kelahiran. Untuk menyebut
kata “Timur” Al Qur’an menggunakan lafazh “Masyriq” yang berarti “tempat
terbit” dan untuk menyebut “Barat” digunakan kata “Maghrib” yang berarti
“tempat terbenam”. Untuk menyebut “Plasenta” Al Qur’an menggunakan kata “Al
‘Alaq” yang secara kebahasaan berarti “menempel, bergantung atau terkait”. Dari
sini para dokter akan mengetahui kadar kesehatan satu janin itu sangat
ditentukan oleh sejauh mana kekuatan atau kelengketan plasenta ke dalam dinding
rahim seorang ibu.
Kesederhanaan bahasa asli Al Qur’an ini justru mengandung nilai-nilai ilmu
pengetahuan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Melalui
lafazh-lafazhnya tersembunyi banyak makna. Dengan mengetahui akar dari suatu
kata seorang memungkinkan untuk mengeksplore sejumlah pesan dan memecahkan
persoalan.
Sebagai misal adalah munculnya satu aliran yang berpendapat bahwa Kurban
pada hari Raya Idul Adha tidak harus dengan memotong hewan karena yang dituju
adalah mengorbankan sebagian harta. Oleh karena itu, menurut aliran ini, uang
Kurban dapat saja dialihkan untuk pembangunan Pesantren. Pendapat ini dianggap sebagai
sebuah kemajuan oleh sekelompok orang yang tidak mengetahui asal-usulnya.
Tetapi sebenarnya fatwa tersebut menyesatkan dan kesesatannya baru diketahui
manakala kita kembali kepada kata perintah yang terdapat dalam ayat tersebut.
Sebagaimana dapat dilihat bahwa perintah dalam ayat tersebut menggunakan kata
“Wanhar” (وانحر). Kata ini berasal dari kata “Nahara” yang dalam bahasa Arab
berarti “bagian paling atas dari dada” yang tak lain dari leher. Oleh
karena itu perintah “berkurban” dalam ayat ini artinya adalah perintah “memotong
binatang di bagian leher”. Manakala seseorang menyerahkan uang digunakan
untuk membangun Pesantren, itu belum berkurban dan tidak sah menamakannya
dengan Kurban. Wallahu A’lam
H. Syarif Rahmat RA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar