http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Sabtu, 29 Desember 2012

analisa kh syarif


هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ (7) رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (ال عمران:7-8)
 
Artinya: “Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat, Itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) Muta-syabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka me-reka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya me-lainkan Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengam-bil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)". (Ali Imran: 7-8)
Ayat-ayat  ini   jelas  menyebutkan bahwa di dalam Al  Qur’an  itu   ter-dapat ayat-ayat Muhkamat dan a-yat-ayat Mutasyabihat.  Departemen Agama Republik Indonesia menjelaskan makna keduanya sebagai berikut;
 
“Ayat yang Muhkamat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipaha-mi dengan mudah. Termasuk dalam penger-tian ayat-ayat Mutasyabihat; ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang penger-tiannya hanya Allah yang mengetahui seper-ti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang menge-nai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain”.
 
Sejak lebih dari seribu tahun para Ulama berselisih tentang masalah Mutasyabihat sampai bahkan ada yang saling mengkafir-kan satu dengan yang lain. Setelah cukup lama kami (Sy) memikirkan masalah ini, pada akhirnya kami menemukan beberapa hal sebagai berikut;
 
Pertama, bahwa ayat-ayat Al Qur’an itu ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabi-hat. Yang dituju dengan muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maknanya yang setiap orang membacanya akan memahami maksudnya. Adapun Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak jelas apa yang ditu-junya, baik karena memang tidak pernah di-pergunakan manusia (seperti huruf-huruf potong di permulaan surat), atau karena ti-dak disebutkan hakekatnya sehingga me-nimbulkan kesamaran. Akibat kesamaran inilah kemudian muncul dugaan orang bahwa maksud ayat ini adalah ini dan menurut yang lain maksudnya adalah itu.
 
Kedua, bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang dalam hatinya terdapat kecondongan kepada kesesatan adalah orang-orang Kafir, bukan Muslim sama se-kali. Menisbatkan kata ini kepada orang-orang Mukmin yang melakukan ta’wil ter-hadap ayat-ayat mutasyabihat adalah sebu-ah kesesatan. Mereka itulah yang berhak menyandang status sebagai “Kuffar” atas perbuatannya itu.
 
Ketiga, bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu yang tahu maknanya hanyalah Allah. Arti-nya apa? Artinya, Allah SWT-lah yang ber-hak menjelaskannya. Nah, persoalannya apakah Allah memberikan penjelasan ten-tang ayat-ayat itu? Menurut hemat kami, adalah dzalim manakala Allah tidak mem-berikan penjelasan sebab Al Qur’an itu diturunkan untuk diamalkan, bukan sekedar bacaan atau hiasan. Jika ternyata penjelasan itu tidak terdapat dalam Al Qur’an maka ia pasti terdapat dalam penjelasan Rasulullah SAW. Hanya saja di mana letak penjelasan itu, hanya orang-orang “Rasikhun” (yang mendalam) pemahaman pengetahuannya yang dapat menangkapnya.
 
Bersama ini kami sajikan beberapa contoh ta’wil yang dapat kami ketemukan. Tentu saja kami berharap jika terdapat kesalahan, kiranya ada yang meluruskan karena ini me-rupakan hasil analisa  kami semata. Al-hamdu Lillah.
 
Allah SWT berfirman:
 
الم . ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (البقرة:1-2)
 
Artinya: “Alif Laam Miin. Kitab (Al Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Al Baqarah: 1-2)
 
Tentang “Alif-Lam-Mim” yang terdapat di permulaan surat ini para Ulama mengata-kan:
 
“Ialah huruf-huruf abjad yang terletak pada permulaan sebagian dari surat-surat Al Quran seperti: Alif Laam Miim, Alif Laam Raa, Alif Laam Miim Shaad dan sebagainya. Di antara ahli-ahli tafsir ada yang menye-rahkan pengertiannya kepada Allah karena dipandang termasuk ayat-ayat mutasya-bihat dan ada pula yang menafsirkannya. Golongan yang menafsirkannya ada yang memandangnya sebagai nama surat, dan ada pula yang berpendapat bahwa huruf-hu-ruf abjad itu gunanya untuk menarik per-hatian Para Pendengar supaya memper-hatikan Al Quran itu, dan untuk mengi-syaratkan bahwa Al Quran itu diturunkan dari Allah dalam bahasa Arab yang tersusun dari huruf-huruf abjad, kalau mereka tidak percaya bahwa Al Quran diturunkan dari Allah dan hanya buatan Muhammad saw se-mata-mata, maka cobalah mereka buat se-macam Al Quran itu”.
 
Padahal menurut kami, penjelasan tentang huruf-huruf tersebut terdapat dalam surat itu juga yakni pada ayat 255 yang dikenal dengan ayat kursi. Jelasnya  “Alif-Lam-Mim” itu adalah kependekan dari kalimat:
 
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ
 
Artinya: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makh-luk-Nya)…” (Al Baqarah:255)
 
Makna ini diperkuat oleh ayat permulaan surat berikutnya (Ali Imran) yang menggan-dengkan kata “Alif-Lam-Mim” dengan kali-mat tersebut. Perhatikan:
 
الم  . اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ (ال عمران:1-2)
 
Artinya: “Alif Laam Miim. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya”. (Ali Imran: 1-2)
 
Melalui kedua ayat ini seakan Allah hendak menjelaskan bahwa makna “Alif-Lam-Mim” adalah “Allahu La ilaha Illa Huwal Hayyul Qayyuum”.
 
Contoh lain dari ayat Mutasyabihat adalah firman Allah: وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ وَلُعِنُوا بِمَا قَالُوا بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ وَلَيَزِيدَنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ طُغْيَانًا وَكُفْرًا وَأَلْقَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ كُلَّمَا أَوْقَدُوا نَارًا لِلْحَرْبِ أَطْفَأَهَا اللَّهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (المائدة:64)
 
Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya ta-ngan merekalah yang dibelenggu dan mere-kalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan me-nambah kedurhakaan dan kekafiran bagi ke-banyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat ke-rusakan di muka bumi dan Allah tidak me-nyukai orang-orang yang membuat keru-sakan”. (Al Ma’idah: 64)
 
Ungkapan “tangan Allah terbelenggu” da-lam ayat ini tidak berarti untuk menye-butkan Allah punya tangan sebagaimana manusia karena itu merupakan ”Tajsim” atau “Tasybih”, menyerupakan Allah de-ngan makhluk-Nya, padahal hal itu tidak mungkin. Untuk memahami kata “tangan Allah” yang merupakan metafora itu kita harus mencari ayat metafora lain yang menggunakan kata “tangan” pula. Di antara ayat tersebut adalah firman Allah:
 
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا (الاسراء:29)
 
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan ta-nganmu terbelenggu pada lehermu dan ja-nganlah kamu  menghamparkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal”. (Al Isra: 29)
 
Kata “tanganmu terbelenggu” tentu tidak dapat dipahami bahwa Allah melarang orang beriman meletakkan tangan di tengkut, sebab ini akan menjadi dalil haramnya Olah Raga Scot Jump. Demikian pula kata “janganlah kamu menghampar-kannya” bukan berarti kita dilarang meng-hamparkan tangan sebab itu akan berarti dilarang mengangkat tangan dalam berdo’a. Makna yang benar dari kata “tangan ter-belenggu” adalah kikir dan makna dari kata “tangan terhampar” adalah terlalu murah. Hal ini karena biasanya manusia kalau mem-pergunakan tangan. Nah, apakah dengan demikian dapat diartikan bahwa Allah pun ketika “memberi” kepada manusia “meng-gunakan tangan” yang itu berarti Allah punya tangan? Sungguh tak ada satu pun ayat atau Hadis yang menyebutkan “Allah bertangan”. Kata “tangan” yang dikaitkan dengan Allah selalu menjadi Idhafat; “tangan Allah”. Kita semua mengerti mak-na dari bentuk kalimat seperti itu.
 
Kita pun –sepengetahuan kami– insya-Allah tidak akan menemukan kata “Allah bermata” atau “Allah berkaki” baik dalam Al Qur’an maupun Hadis. Yang ada bia-sanya “Mata Allah” atau “Kaki Allah” yang tentu saja tidak dimaksudkan untuk me-nyatakan adanya anggota badan bagi Allah. Dengan penjelasan ini dapat dipa-hami sesungguhnya apa yang dlakukan para Ulama mentakwilkan ayat-ayat mu-tasyabihat tak lain dari “Mentakwilkan de-ngan Ta’wil Allah” bukan mentakwilkan dengan kesesatan.
Termasuk dalam kategori “Mutasyabihat” menurut analisa kami adalah ayat-ayat yang menceritakan sebuah kisah namun tidak menyebutkan secara jelas nama tokohnya. Hal ini biasanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang hatinya condong kepada kesesatan yaitu orang-orang Kafir untuk menafsirkannya sesuai ajarannya. Misalnya ayat tentang Nabi Isa AS, Allah berfirman:
 
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ   (النساء:171)
Artinya: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan  kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya…” (An Nisa: 171)
 
Ayat ini dijadikan pintu masuk oleh orang-orang Nasrani untuk mengklaim bahwa ketuhanan Nabi isa itu terdapat dalam Al Qur’an karena Nabi Isa dinyatakan sebagai “Firman Allah”. Mereka kemudian membandingkannya dengan ayat Bible:
 
Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. (Yohannes: 1)
 
Padahal Ta’wil dari kata “kalimat Allah” itu hanya Allah Yang tahu dan Dia telah menjelaskan dalam firman-Nya yang lain:
 
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آَدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (ال عمران:59)
 
Artinya: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), Maka jadilah Dia. (Ali Imran: 59)
 
Jadi pengertian “kalimat Allah” dalam ayat itu bukan “kalam itu Tuhan” sebagaimana versi Bible melainkan dengan firman Allah “Jadilah”, maka ia pun tercipta. Nah, apa yang dilakukan orang-orang Nasrani terhadap ayat Al Qur’an itulah yang dimaksud dengan “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya”.
 
Sejenis dengan mereka adalah penganut Ahmadiyah. Ketika mereka mendapatkan ada sebuah nama dalam Al Qur’an:
 
وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ (الصف:6)
 
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata; "Ini adalah sihir yang nyata". (Ash Shaf: 6)
 
Sampai di sini ayat ini mutasyabihat karena menyebutkan kata “Ahmad” tanpa memberikan penjelasan. Maka Rasulullah SAW pun memberikan Ta’wilnya:
 
إِنَّ لِى أَسْمَاءً ، أَنَا مُحَمَّدٌ ، وَأَنَا أَحْمَدُ ، وَأَنَا الْمَاحِى الَّذِى يَمْحُو اللَّهُ بِىَ الْكُفْرَ ، وَأَنَا الْحَاشِرُ الَّذِى يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِى ، وَأَنَا الْعَاقِبُ  (رواه البخاري ومسلم)
 
Artinya: “Aku memiliki lima nama; aku adalah Muhammad, aku adalah Ahmad, aku adalah Al Mahi (Sang Penghapus) yang denganku Allah menghapus kekufuran, aku adalah Al Hasyir (sang pengumpul) yang pada hari kiamat nanti seluruh manusia dikumpulkan di belakangku, dan aku adalah Al Aqib (Sang Pamungkas)”. (HR Al Bukhari dan Muslim)
 
Jelas menurut Ta’wil Nabi SAW bahwa yang dimaksud dengan Ahmad dalam ayat Al Qur’an itu adalah dirinya. Akan tetapi Mirza Ghulam Ahmad memanfaatkan celah ini untuk memproklamirkan kenabiannya. Maka perbuatannya itu  termasuk dalam firman “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya”. Dan dengan itu jelaslah kekafirannya. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar