Seorang Mahasiswa menanyakan tentang pendapat yang
mengatakan bahwa membaca “Allahumma laka Shumtu” adalah Bid’ah. Maka
berikut penjelasan kami. Semoga bermanfaat.
Kaum Muslimin
di seluruh dunia termasuk di Indonesia apabila berbuka puasa biasa membaca do’a
berikut:
اللَّهُمَّ لَك صُمْت وَبِك
آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ، ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ
وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ .
Artinya: “Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu
aku beriman dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Telah hilang rasa penatku dan
basahlah tenggorokanku dan tetaplah pahala dicurahkan atasku, Insya Allah”.
Pembacaan do’a seperti ini – dengan fariasi tambahan
dan pengurangan – merupakan warisan turun-temurun
dari para Ulama Waratsatul Anbiya. Mereka yang menganjurkan membaca do’a
ini adalah para Ahli Hadis dan Fuqaha dari berbagai Madzhab. Dari Ulama Madzhab
Hanafi misalnya kita menemukan penjelasan dari Al Imam Fakhruddin Utsman bin
Ali az Zaila’i:
وَمِنْ السُّنَّةِ أَنْ يَقُولَ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
اللَّهُمَّ لَك صُمْت وَبِك آمَنْت وَعَلَيْك تَوَكَّلْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت
.
Artinya: Di antara Sunnat adalah ketika berbuka puasa
dianjurkan mengucapkan: “Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku
beriman, kepada-Mu aku bertawakkal dan dengan rizki-Mu aku berbuka. (Lihat
kitab Tabyinul Haqa’iq Syarah Kanzud Daqa’iq karya Al Imam Az Zaila’i juz
4 halaman 178).
Dari Ulama Madzhab Maliki antara lain disebutkan dalam
Kitab Al Fawakih Ad Dawani Ala Risalah Ibni Abi Zaid Al Qirwani karya
Syekh Ahmad bin Ghunaim bin Salim bin Mihna An Nafrawi :
وَيَقُولُ نَدْبًا عِنْدَ الْفِطْرِ : اللَّهُمَّ لَك
صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْت وَمَا أَخَّرْت ، أَوْ
يَقُولُ : اللَّهُمَّ لَك صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت ، ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ
الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إنْ شَاءَ اللَّهُ .
Artinya:
Dan Sunnat ketika berbuka puasa mengucapkan: “Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu
aku berbuka. Maka ampunilah dosaku yang lalu dan yang akan datang”. Atau
mengucapkan: “Ya
Allah, karena-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Telah hilang
rasa penatku dan basahlah tenggorokanku dan tetaplah pahala dicurahkan atasku, Insya
Allah”. (Lihat pada Juz 3 halaman 386).
Dari Madzhab Syafi’i antara lain
dikemukakan Al Hafizh Al Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarah Al
Muhadzdzab:
والمستحب
أن يقول عند إفطاره اللَّهُمَّ لَك صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت لما روى أبو هريرة قال " كان رسول الله صلي الله
عليه وسلم إذا صام ثم أفطر قال اللَّهُمَّ
لَك صُمْت وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت .
Artinya:
Dan yang disunnahkan ketika berbuka puasa itu adalah mengucapkan: “Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa dan dengan
rizki-Mu aku berbuka”. Berdasarkan Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah SAW itu apabila berpuasa kemudian berbuka membaca “Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa dan dengan
rizki-Mu aku berbuka”. (Lihat Al
Majmu’ Juz 6 halaman 363).
Dari
Madzhab Hanbali antara lain dikemukakan oleh Ibnu Qudamah Al Maqdisi.
ويستحب تعجيل
الافطار وتأخير السحور، وأن يفطر على التمر وإن لم يجد فعلى الماء،وأن يقول عند فطره
اللَّهُمَّ
لَك صُمْت ، وَعَلَى رِزْقِك أَفْطَرْت ، سُبْحَانَك وَبِحَمْدِك ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ
مِنِّي إنَّك أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Artinya:
Dan disunnahkan menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Dianjurkan agar
berbuka dengan kurma atau jika tidak ada, dengan air. Dan ketika berbuka
hendaklah membaca, “Ya Allah,
karena-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka”. Maha Suci Engkau ya
Allah dan segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, terimalah ibadahku sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Asy Syarh Al Kabir karya
Ibnu Qudamah, juz 3, halaman 76)
Para Ulama itu mengamalkan do’a tersebut berdasarkan
warisan ilmu yang diterima secara turun temurun dari generasi ke genarasi dan
bermuara di generasi awal Ummat ini. Namun do’a tersebut pun terdapat pula
catatannya di dalam kitab-kitab Hadis. Di antara
buku Hadis yang mencantumkannya adalah buku karya Al Imam Abu Dawud, seorang
penyusun buku Hadis bermadzhab Hanbali dalam Sunannya:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى أَبُو مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ
الْحَسَنِ أَخْبَرَنِى الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ حَدَّثَنَا مَرْوَانُ - يَعْنِى ابْنَ
سَالِمٍ - الْمُقَفَّعُ - قَالَ رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ
مَا زَادَ عَلَى الْكَفِّ وَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا
أَفْطَرَ قَالَ « ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ
شَاءَ اللَّهُ ». (رواه ابو داود) قال الشيخ الألباني : حسن .
Artinya: Marwan bin Salim berkata; Aku melihat Ibnu Umar memegang jenggotnya dan
memotong yang melebihi genggaman telapak tangannya dan berkata: Rasulullah SAW
itu apabila berbuka puasa mengucapkan “Telah hilang rasa penatku dan
basahlah tenggorokanku dan tetaplah pahala dicurahkan atasku, Insya Allah”.
(HR Abu Dawud).
Al Imam Al Baihaqi, seorang penyusun kitab Hadis
bermadzhab Syafi’i meriwayatkan dalam As Sunan Al Kubra – selain Hadis di atas
– sebuah Hadis lain;
أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِىٍّ الرُّوذْبَارِىُّ أَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا
هُشَيْمٌ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ : أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِىَّ
-صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ :« اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى
رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ ».(رواه البيهقي فالسنن الكبرى)
Artinya: Bahwasanya
nabi Muhammad SAW itu apabila berbuka puasa membaca “Allahumma Laka Shumtu…”
[Ya Allah, karena-Mu
aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku
berbuka]. (HR Al Baihaqi dalam
As Sunan Al Kubra Juz 4 halaman 239)
Hadis yang terakhir ini memang dinyatakan “dha’if”
oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani sebagaimana dikatakan dalam beberapa
kitabnya seperti Shahih Al jami’ Ash Shaghir Wa Ziyadatuhu, Irwa Al Ghalil
dan Shahih Wa Dha’if Sunan abi Dawud. Akan tetapi bukan berarti tidak boleh dibaca, sebab menurut asalnya membaca do’a apa
saja diperbolehkan. Berkenaan dengan hal ini – untuk mempersingkat bahasan –
kami cantumkan pernyataan seorang Ulama bermadzhab Wahhabi yang merupakan
Madzhabnya Syekh Albani, yaitu Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah;
وَالدُّعَاءُ
الْمَأْثُوْرُ: اللَّهُمَّ لك صُمْت وعلى رزقك أفَطَرَتُ. وَمِنْهُ أيضاً قَوْلُ النَّبِيِّ عليه الصلاة والسلام: «ذَهَبَ الظَّمأُ
وابْتَلَّتِ العروُقُ وثَبتَ الأجْرُ إنْ شاءَ الله». وَهَذَانِ الْحَدِيْثَانِ
وَإِنْ كَانَ فِيْهِمَا ضَعْفٌ لَكِنْ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ حَسَّنَهُمَا، وَعَلَى
كُلِّ حَالٍ فَإِذَا دَعَوْتَ بِذَلِكَ أَوْ بِغَيْرِهِ عِنْدَ الْإِفْطَارِ فَإِنَّهُ
مُوْطِنٌ إِجَابَةً.
Artinya:
Dan do’a yang Ma’tsur adalah ketika
berbuka puasa adalah “Ya
Allah, karena-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka”. Juga do’a yang
dibaca Rasulullah SAW “Telah hilang rasa penatku dan basahlah tenggorokanku dan
tetaplah pahala dicurahkan atasku, Insya Allah”. Kedua Hadis ini meskipun
terdapat kelemahannya namun sebagian Ulama menghasankannya. Bagaimana pun,
apabila engkau berdo’a dengan do’a tersebut atau do’a lainnya ketika berbuka,
maka besar harapan akan diijabah”.
Pada kesempatan lain Syekh Utsaimin
mengatakan:
يَنْبَغِيْ
أَنْ يَدْعُ وَ عِنْدَ فِطِرِه بِمَا
أحَبَّ، فَفِيْ سُنَنِ ابْنِ مَاجَةَ عَنِ النبيِّ صلى الله عليه وسلّم أنَّه قال:
«إنَّ للصائِمِ عِنْدَ فطْرِه دعوةً مَا تُرَدُّ». قَالَ فِي الزَّوَائِدِ: إِسْنَادُهُ
صَحِيْحٌ، وَرَوَى أَبُوء دَاوُدَ عَنْ مُعَاذِ بنِ زهْرَةَ مرسَلاً مَرْفوعاً: كَانَ
إِذَا أَفْطَرَ يَقُوْلُ: اللَّهُمَّ لَك صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أفَطَرْتُ. وَلَهُ
مِنْ حَدِيْثِ ابءنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أنَّ النبَّيَّ صلى الله عليه وسلّم كان
إذا أفْطَر يقولُ: «ذَهَبَ الظَّمأُ وابْتَلَّتِ العُرُوْقُ وثَبَتَ الأجْرُ إنْ شَاءَ
الله».
Artinya: Seyogyanya pada saat berbuka membaca do’a apa
saja yang ia suka. Dalam Sunan Ibnu Majah diriwayatkan
bahwa Nabi SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang puasa memiliki do’a yang
tidak ditolak ada waktu berbuka”. Dikatakan dalam Majma’ Az Zawa’id bahwa Hadis
ini isnad-nya Shahih. Abu Dawud meriwayatkan dari
Mu’adz bin Zahrah secara Mursal (gugur rawi dari kalangan sahabat, pen) dan Marfu’
(dinisbatkan kepada Nabi SAW, pen) bahwasanya Nabi SAW itu apabila berbuka puasa
membaca: “Allahumma Laka Shumtu….” (“Ya Allah, karena-Mu aku berpuasa
dan dengan rizki-Mu aku berbuka). Abu Dawud pun meriwayatkan dari Hadis Ibnu
Umar RA bahwasanya nabi SAW itu jika berbuka puasa mengucapkan “Dzahabazh
Zhama’u…” (Telah hilang rasa penatku dan basahlah tenggorokanku dan
tetaplah pahala dicurahkan atasku, Insya Allah). (Lihat Majmu’ Fatawa Syekh
Utsaimin 17 halaman 268).
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa membaca do’a “Allahumma laka Shumtu….” Sebagaimana yang biasa
dilakukan Ummat Islam adalah Sunnah. Adapun adanya keterangan sebagian orang
yang menilai Hadisnya lemah dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, lemahnya sebuah Hadis tidak serta merta
terlarang mengamalkannya sebab kelemahan itu hanyalah pada penisbatannya kepada
Rasulullah SAW, tidak ada kaitannya dengan boleh-tidaknya dibaca. Perhatikan
kembali ucapan Syekh Utsaimin pada kutipan di atas.
Kedua, Hadis “Allahumma Laka Shumtu…”
sungguhpun dha’if namun ia melengkapi Hadis “Dzahabazh Zhama’u…”. yang
yang Hasan itu. Bentuk kedua ini
belum merupakan do’a sebab hanya bentuk berita atau ucapan biasa yang
disampaikan Rasulullah SAW saat minum air. Bacaan ini baru menjadi do’a
manakala disambungkan dengan kalimat “Allahumma…” yang berarti “Ya Allah”.
Ketiga, bacaan do’a tersebut telah diamalkan dan
dianjurkan oleh semua Ulama Madzhab Empat termasuk Madzhab Wahhabi yang
memiliki semboyan Qur’an dan Sunnah. Mustahil para Ulama itu bersepakat dalam
bid’ah. Itu artinya membaca “Allahumma laka Shumtu” merupakan
kesepakatan Ummat Islam.
Apabila ada orang awam yang melarang membaca “Allahumma
Laka Shumtu…” maka orang tersebut dapat dikatakan menganut aliran
sesat, sebab – selain menyalahi kesepakatan Ummat Islam – tidak ada
dalil yang menjadi dasarnya. Bahkan, sabda Rasulullah SAW di atas menganjurkan kita
memilih do’a sesuka kita. Lalu dengan alasan apa orang tersebut melarang
membaca do’a “Allahumma Laka Shumtu..” ?. Bukankah dengan larangannya
itu berarti ia telah membuat Syari’at baru?. Kalau saja membaca do’a yang
terdapat dalam Hadis Shahih itu diharamkan, tanyakan kepada orang itu; “Pernahkan anda berdo’a dengan Bahasa Indonesia agar
anak anda sukses sekolahnya?. Jika pernah, lalu apakah ada dalilnya bentuk do’a
yang anda baca itu?. Lalu bagaimana anda melarang orang membaca do’a yang
disepakati Ummat Islam dari dulu hingga sekarang hanya gara-gara “katanya”
Hadisnya dha’if ?.
Semoga Kaum Muslimin dijauhkan dari orang-orang Jahil
Mutanasik, Orang bodoh berpenampilan ahli ibadah, Amin.
Wallahu A’lam
Syarif Rahmat RA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar