Salah
satu syarat sebuah hadis dianggap Shahih adalah bila para perawinya kredibel;
adil dan sempurna hafalan.Namun kenyataannya dari puluhan ribu Rawi yang
namanya tercantum dalam kitab-kitab Rijalul
Hadis hanya sebagian kecil saja memenuhi syarat.Dan dari sebanyak itu pun hanya
sebagian kecil Rawi yang disepakati kredibilitasnya, sementara yang
diperselisihkan jauh lebih banyak jumlahnya. Maka,sesungguhnya penetapankeabsahan suatu Hadis tidaklah cukup
“hanya” dengan mengandalkan buku-buku Rijalul Hadis. Ada hal lain yang harus diperhatikan ketika hendak
mengamalkan sebuah Hadis. Lembaran ini tidak cukup membahasnya. Oleh karena itu, para Ulama sepakat bahwa tashih dan tadh’if
suatu Hadis merupakan hak para Hafizh sekelas Ibnu Hajar Al Asqallani, Ad
Dimyathi, An Nawawi, Adz Dzahabi atau Jalaluddin As Suyuthi. Dan bila sebuah
Hadis dishahihkan seorang Hafizh, tidak ada hak bagi orang awam menelitinya
sebab hak mereka hanyalah “Taqlid” kepada Huffazh.Betapa tidak?
Sebab kenyataannya tidak sedikit Ulama yang sudah diterima kredibilitasnya oleh
kaum Muslimin bahkan telah diteladani perilakunya ternyata dianggap tidak kredibel oleh para peneliti
Hadis.
Sebagai
misal adalah Al Imam Abu Hanifah Radhiyallahu Anhu. Pendiri madzhab Hanafi yang
wafat pada tahun 150 Hijriyah ini dikatakan:
وَقَالَالنَّسَائِيُّاَلنُّعْمَانُبْنُثَابِتٍأَبُوْحَنِيْفَةَكُوْفِىٌّلَيْسَبِالْقَوِيِّثَنَااَحْمَدُبْنُحَفْصٍثَنَااَحْمَدُبْنُسَعِيْدٍالدَّارِمِيُّقَالَسَمِعْتُالنَّضْرَبْنَشُمَيْلٍيَقُوْلُكَانَأَبُوْحَنِيْفَةَمَتْرُوْكُالْحَدِيْثِلَيْسَبِثِقَةٍ
(الكامل
في ضعفاء اللرجال ج 9 ص 4)
Artinya:Dan An Nasa’I berkata: “An
Nu’man bin Tsabit Abu Hanifahorang Kufah bukan Rawi yang kuat”. Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Hafsh, menceritakan kepada kami Ahmad bin Sa’id Ad Darimi, ia berkata: aku
mendengar An Nadhr bin Syamil berkata: “Abu Hanifah itu seorang Rawi yang Matrukul
Hadis (ditinggalkan Hadisnya) lagi tidak tsiqat” (Lihat Al Kamil Fi
Dhu’afa Ar Rijal juz 9 halaman 4).
As
Subki menceritakan dalam kitabnya Thabaqat asy Syafi’iyyah bahwa Yahya
bin Ma’in mengatakan: “Imam Syafi’i itu tidak Tsiqat”. Para ahli Hadis
mengatakan bahwa Al Imam Malik Faqih Darul Hijrah Madinah itu (tidak kredibel)
sebab banyak meriwayatkan dari orang-orang yang diperbincangkan pribadinya”.
Demikian juga paraahli hadis membicarakan Imam Ahmad bin Hanbal dan mereka
mengatakan: “Ia meriwayatkan dari orang-orang seperti itu pula seperti Amir bin
Abdillah bin Az Zubair”. Ibnu Ma’in berkata: “Ahmad bin Hanbal itu telah gila
karena iameriwayatkan dari Amir” (Lihat kata pengantar Musnad Al Imam Zaid
bin Ali, halaman 15).
Nah, apakah kita akan begitu saja menerima pernyataan
tersebut di atas lalu menyimpulkan para Ulama panutan Ummat sedunia itu sebagai
“orang-orang yang tidak patut diikuti”?Lalu
bagaimana hadis-hadis yang diriwayatkan atau
dinisbatkan kepada mereka, apakah juga akan dibuang semuanya? Apakah kita akan
buang kitab Musnad Abi Hanifah, kitab Al Muwaththa karya
Imam Malik, Musnad Al Imam Asy
Sayafi’i dan AlMusnadkarya Ahmad bin Hanbal?
Selanjutnya
ketahuilah bahwa Al Qur’an yang ada dan paling banyak dibaca di dunia Islam
hari ini adalah berdasarkan riwayat Al Imam Hafsh yang mengambilnya dari Al
Imam Ashim.Tetapi tahukah kita bahwa Imam ini – menurut para peneliti Hadis –
merupakan orang orang yang tidak kredibel? Perhatikan pernyataan Al Mizzi dalam
TahdzibulKamal:
قَالَ
أَبُوْ قُدَامَةَ السَّرْخَسِىُّوَ عُثْمَانُ بْنُ سَعِيْدٍ الدَّارِمِىُّ عَنْ يَحْيَى
بْنِ مَعِيْنٍ : لَيْسَ بِثِقَةٍ.وَ قَالَ عَلِىُّ ابْنُ الْمَدِيْنِىِّ : ضَعِيْفُ
الْحَدِيْثِ ، وَ تَرَكْتُهُ عَلَى عَمْدٍ . وَقَالَ إِبْرَاهِيْمُ بْنُ يَعْقُوْبَ
الْجَوْزُجَانِىُّ : قَدْ فَرَغَ مِنْهُ مِنْ دَهْرٍ .وَ قَالَ الْبُخَارِىُّ : تَرَكُوْهُ
.وَ قَالَ مُسْلِمٌ : مَتْرُوْكٌ .وَ قَالَ النَّسَائِىُّ : لَيْسَ بِثِقَةٍ ، وَلَا
يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ . وَ قَالَ فِىْ مَوْضِعٍ آخَرَ : مَتْرُوْكٌ .وَقَالَ صَالِحُ
بْنُ مُحَمَّدٍ الْبَغْدَادِىُّ : لَا يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ ، وَ أَحَادِيْثُهُ كُلُّهَا
مَنَاكِيْرُ .
Artinya:
“Abu Qudamah As Sarkhasy dan Usman bin Sa’id Ad Darimi bersumber dari Ibnu
Ma’in mengatakan: “Hafsh itu tidak
kredibel”. Ali Ibnul Madini berkata: “Hafsh adalah orang yang dha’ifhadisnya dan
aku sengaja meninggalkannya”. Ibrahim bin Ya’qub Al Jauzujani berkata: Sudah sejak lama aku meninggalkannya”.
Al Bukhari mengatakan: “Para Ulama Hadis meninggalkannya”. Muslim mengatakan: “Hafsh
ditinggalkan hadisnya”. Berkata An Nasa’i: “Tidak kredibel dan tidak ditulis
Hadisnya”. Dan pada kesempatan lain ia berkata: “Ditinggalkan Hadisnya”. Shalih
bin Muhammad Al Baghdadi mengatakan: “Hadisnya tidak ditulis karena semua
Hadisnya itu munkar….”.
Nah, apakah berbekal pernyataan ahli Hadis ini kitaakan
meninggalkan Al Qur’an yang selama ini kita baca dengan alasan pembawanya orang yang tidak dapat dipercaya
periwayatannya? Setelah itu marilah kitamembaca kitab Hadis Shahih Al Bukhari
dan Shahih Muslim;
عَنْإِبْرَاهِيمَعَنْعَلْقَمَةَقَالَدَخَلْتُفِىنَفَرٍمِنْأَصْحَابِعَبْدِاللَّهِالشَّأْمَفَسَمِعَبِنَاأَبُوالدَّرْدَاءِفَأَتَانَافَقَالَأَفِيكُمْمَنْيَقْرَأُفَقُلْنَانَعَمْ
.
قَالَفَأَيُّكُمْأَقْرَأُفَأَشَارُواإِلَىَّفَقَالَاقْرَأْ . فَقَرَأْتُ (
وَاللَّيْلِإِذَايَغْشَى
* وَالنَّهَارِإِذَاتَجَلَّى * وَالذَّكَرِوَالأُنْثَى )
.قَالَأَنْتَسَمِعْتَهَامِنْفِىصَاحِبِكَقُلْتُنَعَمْ
. قَالَوَأَنَاسَمِعْتُهَامِنْفِىالنَّبِىِّ - صلىاللهعليهوسلم -
وَهَؤُلاَءِيَأْبَوْنَعَلَيْنَا
.(رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Ibrahim bin Alqamah berkata: aku masuk ke dalam rombongan Abdullah di Syam.
Ketika itu Abud Darda mendengar ada di antara kami yang membaca Al Qur’an.
Kemudian ia menghampiri kami dan mengatakan: “Apakah di antara kalian ada yang
bisa membaca ?”Kami katakana: “Ya, ada”. Ia mengakatan lagi: “Siapa yang bisa membaca?”.Orang-orang
menunjuk kepadaku.Lalu aku pun membaca “Wallaili Idza Yaghsya.Wannahari idza
tajalla.Wadz Dzakari Wal untsa”. Abud darda berkata: “Engkau mendengarnya
dari mulut sahabatmu?” aku katakan:”Ya”. Abud Darda
kemudian mengatakan: “Akupun mendengranya dari mulut nabi SAWseperti itu”. Tapi
orang-orang tidak suka kepada kami” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hadis
ini adalah Shahih tidak ada persoalan. Isinya menyebutkan bahwa pada surat Al Lail
ayat 3 itu berbunyi : “Wadz Dzakari
Wal Untsa”(وَالذَّكَرِوَالأُنْثَى) padahal pada Mushaf Al
Qur’an yang kita baca setiap hari – yang bersumber dari riwayat Hafsh tertulis “Wama
Khalaqadz Dzakara Wal Untsa” (وَمَاخَلَقَالذَّكَرَوَالْأُنْثَى). Kita telah kemukakan bahwa
Hafsh itu Rawi yang tidak kredibel bahkan ditolak periwayatannya.Itu berarti Al
Qur’an yang kita baca adalah berasal dari riwayat yang dha’if bahkan
mendekati palsu. Nah, apakah setelah ini semua kita akan
segera mencetak ulang Mushaf Al Qur’an kita denganmenukar ayat versi Hafsh ini
dengan versi Al Bukhari?
Kami
tidak akan membahas tentang Qira’at lain yang para Imamnya juga
dinyatakan tidak kredibel oleh para Ahli Hadis. Masalah kita sangat sederhana;
apakah –karena para pembawa Qira’at itu orang-orang tidak kredibel– lantas
bacaan Al Qur’an mereka kita tinggalkan dan mengoreksinya dengan keterangan
para penyusun kitab Hadis?
Hal
lain yang patut kita renungkan adalah bahwa Agama Islam sudah berjalan dan diamalkan
oleh ratusan ribu orang sebelum lahirnya Imam Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At
Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah. Kitab-kitab Fiqh yang
menerangkan tatacara beribadah telah disusun berdasarkan praktek yang diwarisi
dari generasi ke generasi.Barangsiapa membaca kitab-kitab Fiqh yang besar akan
mengetahui bahwa apa yang dituliskan atau diajarkan para Imam Madzhab itu tak
lebih dari sekedar menjelaskan apa yang diterimanya dari para gurunya yang
menerima dari gurunya pula terus bersambung hingga Rasulullah SAW, serta yang
disaksikannya sepanjang hidupnya. Demikian pula perbedaan pendapat para Ulama,
pada umumnya merupakan warisan dari generasi sebelumnya.Apakah kita akan
meninggalkan apa yang telah dilakukan oleh ratusan ribu orang dari generasi ke
generasi hanya “gara-gara” membaca sebuah laporan yang dibawa satu-dua orang?
Ataukah kita akan menolak laporan itu dengan alasan bertentangan dengan
kenyataan yang sudah ada sejak zaman awwal?Silahkan renungkan baik-baik semoga
Allah membimbing kita ke jalan yang diridhai-Nya, amin.Wallahu A’lam.
KH Syarif
Rahmat RA, SQ, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar