وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا (الاسراء:36)
Artinya: “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya” (Al Isra:36).
Suatu
ketika terjadi diskusi antara Al Imam Abu Hanifah (Wafat tahun 150 H)
dan Al Imam Al Auza’i (Wafat tahun 168 H). Al Auza’i memulai
pembicaraan: “Mengapa kalian tidak mengangkat tangan kalian ketika
hendak ruku’ dan ketika bangkit daripadanya?”. Abu Hanfiah menjawab:
“Karena tidak ada satu pun Hadis Shahih dari Rasulullah SAW yang
menunjukkan hal tersebut”. Al Auza’i: “Bagaimana tidak ada Hadis Shahih
padahal telah menceritakan kepadaku Az Zuhri dari Salim dari Ayahnya,
Abdullah bin Umar ibn Al Khattab bahwasanya Rasulullah SAW itu
mengangkat kedua tangannya sebatas pundak ketika memulai Shalat, ketika
ruku’ dan ketika bangkit daripadanya?”. Abu Hanifah menjawab: “Dan telah
menceritakan kepadaku Hammad dari Ibrahim An Nakha’i dari ‘Alqamah dan
Al Aswad (keduanya) dari Ibnu Mas’ud bahwasanya Rasulullah SAW tidaklah
mengangkat kedua tangannya kecuali ketika memulai Shalat dan tidak
mengulanginya lagi pada bagian lain”. Al Auza’i berkata: “Saya katakan
bahwa saya meriwayatkan dari Az Zuhri dari Salim bin Abdullah, lalu anda
katakan bahwa anda meriwayatkan dari Hammad dari Ibrahim?”. Al Imam Abu
Hanifah kemudian berkata: “Hammad itu lebih faqih dari Az Zuhri,
Ibrahim An Nakha’i itu lebih Faqih dari Salim dan Alqamah tidak lebih
rendah Fiqhnya daripada Ibnu Umar dan sekalipun Ibnu Umar itu pernah
menjadi sahabat Nabi dan keutamaan bersahabat, Al Aswad pun memiliki
keutamaan dan Abdullah bin Mas’ud itu Abdullah”. Mendengar jawaban ini
Al Auza’i pun diam. (Lihat yang ada Syarh Musnad Al Imam Abu Hanifah
karya Al Imam Mula Ali Qari halaman 35 via Atsar Al Khilaf Al Fiqhi Fi Al Qawa’id Al Mukhtalaf Fiha karya Doktor Mahmud Isma’il halaman 123-124).
Dari percakapan di
atas nampak bahwa kedua Ulama Salaf tersebut berbeda pendapat bukan
karena tidak mengetahui dalilnya atau tidak menerima dalil yang
ditetapkan Shahih oleh yang lainnya. Sanad yang dikemukakan oleh Al
Auza’i di dalam istilah Musthalah Hadis dikenal sebagai sanad yang ‘Ali
(tinggi). Artinya dari sisi kekuatan informatifnya Hadis ini berada pada
tingkatan yang sangat kuat, selain Shahih juga memiliki ranking papan
atas. Abu Hanifah Rahimahullah bukan tidak tahu itu tetapi sebagai Mujtahid Mutlaq beliau memiliki kaidah sendiri.
Salah satu kaidah yang beliau pegangi adalah bahwa riwayat yang dibawa
oleh seorang Faqih lebih diutamakan ketimbang orang selainnya. Telah
diketahui secara umum bahwa para Rawi yang diambil Riwayatnya oleh Abu
Hanifah (Hammad, Ibrahim An Nakha’i, Alqamah, Al Aswad dan Ibnu Mas’ud)
selain dikenal sebagai ahli Hadis juga ahli Fiqh. Sedangkan para rawi
dalam sanad Al Auza’i (Az Zuhri, Salim dan Ibnu Umar) dianggap tidak
lebih Faqih dari mereka. Dari sini Abu Hanifah menilai ada sisi lebih
yang dimiliki para Rawi Hadisnya sehingga beliau mengambil apa yang
mereka riwayatkan yaitu tidak mengangkat tangan selain pada takbiratul
Ihram.
Seringkali
orang yang baru mempelajari Agama menggampangkan masalah. Akibatnya
fatal, baru menemukan satu-dua Hadis sudah berani menilai dan
menyalahkan pendapat Ulama. Inilah yang belakangan ini mengemuka di
Indonesia seiring datangnya aliran tertentu yang dibawa anak-anak
tamatan S-1 dari salah satu kerajaan di Timur Tengah. Setiap hari mereka
selalu mengemukakan kata “Salafus Shalih” atau “Hadis Shahih” dan
sejenisnya untuk memproklamirkan diri di hadapan Ummat Islam bahwa
aliran inilah yang benar dan yang lain sesat karena – kata mereka –
menyalahi Al Qur’an dan As Sunnah. mereka begitu mudah mengambil
kesimpulan berdasarkan kesimpulan guru-gurunya tanpa mempedulikan adanya
pendapat Ulama lain yang bisa jadi lebih kuat dari pendapatnya. Contoh
lain yang dapat dijadikan pelajaran adalah sebuah Hadis:
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ - رضى الله عنهما - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم
- تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ .رواه البخاري ومسلم
Artinya:
Ibnu Abbas berkata bahwasanya Rasulullah SAW menikahi Maimunah ketika
beliau dalam keadaan ihram. (HR Al Bukhari dan Muslim).
Hadis
ini Shahih diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Dan berpegang
kepadanya sejumlah Ulama berpendapat bahwa menikah pada waktu ihram
adalah boleh. Di antara yang berpendapat seperti itu adalah Al Imam Abu
Hanifah Rahimahullah. Tetapi mayoritas Ulama berpendapat bahwa
melangsungkan pernikahan pada waktu Ihram adalah Haram. Dalil mereka
adalah sebuah Hadis:
عَنْ مَيْمُونَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ حَلاَلٌ.رواه ابو داود والترمذي
Artinya:
Maimunah berkata bahwasanya Rasulullah SAW itu menikahinya ketika
beliau dalam keadaan halal. (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi).
Mungkin
kita akan bertanya kepada mayoritas Ulama seperti pertanyaan Al Auza’i
kepada Abu Hanifah: “Mengapa para Ulama mengambil Hadis riwayat Abu
Dawud dan At Tirmidzi dan mengabaikan riwayat Al Bukhari dan Muslim ?.
Bila kita membuka kitab-kitab mereka maka kita akan mendapatkan jawaban:
“Dimenangkannya riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi atas riwayat Al
Bukhari dan Muslim dalam masalah ini adalah karena sumber berita
keduanya adalah Maimunah orang yang dinikahi Rasulullah SAW, sedangkan
Al Bukhari dan Muslim menerimanya dari Ibnu Abbas, bukan pelaku. Oleh
karena itu informasi yang dilaporkan oleh pelaku lebih patut diterima
ketimbang yang dilaporkan orang lain. Bila masalah ini disampaikan
kepada orang-orang awwam – yang tahunya hanya bahwa Shahih Al Bukhari
dan Shahih Muslim merupakan dua kitab Hadis paling tinggi kualitasnya –
pasti akan menyimpulkan bahwa Rasulullah SAW menikahi Maimunah dalam
keadaan Ihram dan oleh karena itu dalam keadaan berpakaian Ihram (baik
saat Haji atau Umrah) orang boleh melangsungkan pernikahan. Apakah
dengan fatwanya itu kita akan mengatakan bahwa mayoritas Ulama telah
tersesat dan melakukan bid’ah?.
Seperti
ini pula pandangan para Ulama sekitar Qunut dalam Shalat Subuh.
Sebagian mereka menganggapnya tidak Sunnah dengan alasan bahwa yang
namanya Qunut itu hanya dilakukan Rasulullah SAW selama satu bulan
berkenaan dengan perang dibunuhnya para Qurra di dekat sumur Ma’unah.
Ini dijelaskan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim:
عَاصِمٌ
قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ الْقُنُوتِ . فَقَالَ قَدْ كَانَ
الْقُنُوتُ . قُلْتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ قَالَ قَبْلَهُ .
قَالَ فَإِنَّ فُلاَنًا أَخْبَرَنِى عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ
الرُّكُوعِ . فَقَالَ كَذَبَ ، إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا - أُرَاهُ - كَانَ بَعَثَ قَوْمًا
يُقَالُ لَهُمُ الْقُرَّاءُ زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلاً إِلَى قَوْمٍ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ ، وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - عَهْدٌ فَقَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ .رواه البخاري ومسلم
Artinya:
Ashim berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang Qunut dan ia
mengatakan bahwa Qunut pernah dilakukan. Aku berkata: “Sebelum ruku’
ataukah sesudahnya?”. Anas menjawab: “Sebelum ruku’”. Aku katakan:
“Sesungguhnya si Anu mengatakan kepadaku bahwa engkau mengatakan Qunut
itu sesudah ruku’”. Anas berkata: “Bohong, Rasulullah SAW Qunut setelah
ruku’ itu hanya satu bulan, yang aku tahu beliau pernah mengutus sejumlah sekitar tujuh puluh orang
Qari kepada segolongan orang Musyrik – yang sebelumnya pernah ada janji
antara mereka dengan Rasulullah SAW – maka Rasulullah SAW pun berqunut
selama satu bulan mengutuk mereka”. (HR Al Bukhari dan Muslim).
Tetapi Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah
dan yang sependapat dengan beliau menetapkan bahwa Qunut Subuh
disunnahkan. Mereka mendasarkan pendapatnya itu kepada sebuah Hadis yang
diriwayatkan oleh Ad Daraqutni, Abdurrazzaq, Abu Nu’aim, Ahmad, Al
Baihaqi dan Al Hakim dan ia menshahihkannya:
عَنْ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ
شَهْرًا يَدْعُو عَلَى قَاتِلِي أَصْحَابِهِ بِبِئْرِ مَعُونَةَ ثُمَّ
تَرَكَ ، فَأَمَّا الصُّبْحُ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتَّى فَارَقَ
الدُّنْيَا .
Artinya:
Anas berkata: “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW itu berqunut selama satu
bulan mengutuk orang-orang yang membunuh para sahabatnya dalam peristiwa
di sumur Ma’unah kemudian beliau menghentikannya. Adapun pada Shalat
Subuh beliau senantiasa membaca Qunut sampai meninggal dunia” (HR Ad Daraqutni, Abu Nu’aim, Al Baihaqi, Ahmad dan Al Hakim).
Yang jadi masalah adalah mengapa Al Imam Asy Syafi’i mengambil Hadis yang disebut belakangan ini dan mengabaikan Hadis sebagaimana
diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim?. (Kalimat ini kami gunakan sekedar
untuk mengingtakan, Al Imam Asy Syafi’i itu hidup jauh sebelum Al
Bukhari. Jadi kalau pun
menggunakan Hadis serupa namun bukan mengutip dari keduanya).
Ketahuilah bahwa Asy Syafi’i bukan tidak mengetahui Hadis tersebut, akan
tetapi menurut kaidahnya bahwa satu Hadis yang memiliki dua pesan
dipandang lebih patut diamalkan dibanding yang hanya berisi satu pesan.
Sebagaimana terlihat, Hadis pertama hanya menyebutkan bahwa Rasulullah
SAW qunut selama satu bulan dalam rangka mengutuk orang-orang musyrik.
Sedangkan Hadis kedua di samping menyebutkan sebagaimana pada Hadis pertama ditambah dengan pernyataan Anas – yang merupakan sumber berita – “Adapun pada Shalat Subuh beliau SAW senantiasa membaca Qunut sampai meninggal dunia”. Dari
sinilah kemudian disimpulkan oleh Asy Syafi’i bahwa Qunut Rasulullah
SAW itu ada dua macam; Qunut Ratibah dan Qunut Nazilah. Yang beliau
lakukan hanya satu bulan adalah Qunut Nazilah (mengutuk orang-orang
Kafir) sedangkan Qunut Ratibah yaitu Qunut pada Shalat Subuh, Rasulullah
SAW tetap melakukannya. Oleh karena itu maka Qunut tersebut dipandang
Sunnah untuk dilakukan.
Hal-hal
seperti ini banyak terdapat dalam kitab-kitab Hadis. Bagi mereka yang
baru mempelajarinya dan kurang merujuk kepada kitab-kitab Syarah pasti
akan tersesat. Demikian pula nasib anak-anak yang mempelajari Hadis
hanya melalui guru satu aliran kemudian menutup diri dari Ulama di luar
madzhabnya, pasti akan menjadi penganut Aliran Penebar Vitnah (APV)
seperti yang sekarang tengah melanda kaum Muslimin khususnya di
Indonesia. Semoga kaum Muslimin Indonesia diberi kejernihan hati dan
kelapangan dada dalam menyikapi datangnya aneka aliran ke dalam negeri
mereka, sehingga mereka akan terpelihara dari kesesatan dan kekeliruan
dalam menilai saudaranya yang berbeda.
Demikian semoga bermanfaat khususnya bagi penulis dan saudaraku di nomor 0818083287xx,
semoga Allah anugerahkan kearifan kepada kita dalam mempergunakan ilmu
yang sedikit ini agar Allah tidak mempermalukan kita di hadapan
hamba-hamba-Nya sebagaimana yang terjadi pada para Malaikat di hadapan
nenek moyang kita, Adam (Al Baqarah:31-32). Amin.
Hasbunallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar