Beberapa waktu yang lalu disampaikan kepada kami sebuah buku susunan
sahabat kami Al Ustadz Drs. Muhammad Thalib pimpinan Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI). Yang satu berjudul Koreksi Tarjamah Harfiyah Al Qur’an
Kemenag RI dan yang satunya lagi berjudul Al Qur’anul Karim Tarjamah
Tafsiriyah. Buku pertama berisi “Kritikan” terhadap Al Qur’anul Karim
terjemahan Departemen Agama RI karena dianggap merupakan terjemahan yang
salah. Buku kedua merupakan Terjemahan Al Qur’an versi MMI.
Telah diketahui secara umum bahwa pengalih-bahasa-an Al Qur’an harus
mengikuti aslinya. Terjemahan tersebut tidak dapat mentransfer seluruh
pesannya melainkan hanya sekedar yang dapat dilakukan, karena betapa pun
di dunia ini tidak ada satu pun buku terjemahan yang dapat mengalihkan
secara sempurna kandungan yang terdapat pada aslinya. Hal ini mengingat
setiap bahasa memiliki karakter, tata bahasa dan kaidah tersendiri yang
tidak ada pada bahasa lainnya. Untuk ini dibutuhkan buku penjelas yang
tak lain dari Tafsir. Hanya saja guna memberi kesempatan orang-orang
yang tidak mengerti bahasa aslinya, terjemahan harfiyah atau lafzhiyah
(tekstual) cukup banyak memberikan manfaat.
Pada intinya, terjemahan lafziyah baik dilakukan, dengan catatan bila
ingin memahami lebih dalam atau ketika mendapatkan kesulitan, hendaknya
dikonsultasikan dengan para ahlinya.
Adapun Terjemah Tafsiriyah sebagaimana yang dilakukan MMI menurut kami
justru kurang baik, antara lain, karena:
1. Menghilangkan sifat relatifisme Al Qur’an, yaitu perbedaan pendapat para Ulama dalam penafsiran.
Sebagai misal adalah penafsiran Majelis Mujahidin tentang ayat:
وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا (النساء:159)
Dalam terjemahan Departemen Agama diartikan dengan:
Artinya: “Tidak ada seorang pun dari ahli Kitab, kecuali akan
beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. dan di hari kiamat nanti
Isa itu akan menjadi saksi
terhadap mereka”. (An Nisa:159)
Para Ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud oleh ayat ini.
Sebagian Ulama mengatakan bahwa yang dituju oleh ayat di atas adalah
bahwa “Pada saat turunnya Nabi Isa AS ke dunia nanti menjelang Hari
Kiamat, seluruh penganut Yahudi maupun Nasrani akan beriman kepadanya
dengan keimanan yang benar. Jadi maksud dari kata “Kematiannya” adalah
“Kematian Nabi Isa AS”. Ini dipegangi oleh Mufassirin seperti Ath
Thabari dan Ibnu Katsir.
Pendapat lain mengatakan bahwa makna dari ayat ini adalah “Tidak ada
seorang pun dari Ahlul kitab kecuali akan menyatakan keimanan kepada
Nabi Isa AS saat si Ahlul Kitab itu akan wafat”. Jadi yang dimaksud
dengan “kematiannya” adalah “Kematian Ahlul Kitab”. Dikatakan manakala
seorang penganut Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani mendekati
ajalnya, akan didatangi Malaikat yang mengatakan kesalahan keimanan
mereka tentang Nabi Isa AS. Pada saat itulah ia akan beriman dengan
benar kepada Nabi Isa AS; orang Yahudi tidak menuduhnya anak Zina dan
orang Nasrani pun tidak menganggapnya Tuhan. Ini antara lain dianut
oleh Al Imam Al Baidhawi, Al Imam Asy Syaukani, As Sayyid Muhammad
Rasyid Ridho, Syekh Muhammad Abduh. (Tafsir Al Manar Juz dan Syekh Ahmad
Musthafa Al Maraghi (Tafsir Al Maraghi Juz 2 halaman 242)
Kedua pendapat ini didasarkan kepada apa yang dapat mereka pahami dari
Al Qur’an sesuai teksnya. Setiap orang berhak untuk menentukan pilihan
mana yang diyakininya. Oleh karena itu, adalah cukup bijaksana ketika
Tim Departemen Agama mencantumkan catatan di bawah ayat ini (catatan
kaki nomor 380):
“Tiap-tiap orang Yahudi dan Nasrani akan beriman kepada Isa sebelum
wafatnya, bahwa dia adalah Rasulullah, bukan anak Allah. sebagian
mufassirin berpendapat bahwa mereka mengimani hal itu sebelum wafat”.
Sebagaimana dapat dilihat, penterjemahan yang dilakukan Departemen
Agama telah menunaikan hak Al Qur’an dengan menterjemahkan apa adanya,
sekaligus hak para Mufassirin yang berbeda pendapat dalam
menafsirkannya. Sedangkan MMI menterjemahkannya dengan:
“Setiap orang Yahudi dan Nasrani kelak benar-benar akan beriman
kepada Isa ketika Isa turun kembali ke dunia dan sebelum Isa wafat. Pada
hari kiamat Isa menjadi saksi atas keimanan mereka”.
Dengan terjemahan ini MMI telah menambah kata “ketika Isa turun kembali
ke dunia”. Padahal kata tersebut tidak ada dalam ayat dan merupakan
penafsiran satu versi. Terjemahan tambahan ini telah “mematikan”
pendapat
Ulama yang mengatakan bahwa makna “Qabla Mautihi ” adalah
“Sebelum Kematian Ahlul Kitab” sebagaimana kami jelaskan di atas,
sekaligus menghilangkan jejak adanya pendapat yang mengatakan bahwa Nabi
Isa tidak akan turun kembali ke dunia, padahal itu pun didapat dari
pemahaman terhadap teks ayat dan tidak sedikit Ulama besar yang
berpendapat demikian. Terjemahan model MMI akan memicu perasaan benar
sendiri yang berakhir pada penindasan pemikiran kelompok lain. Dengan
demikian terjemahan Departemen Agama dan yang semisalnya seperti
terjemahan Prof. DR. Hasby Ash Shiddieqy, Drs. M. Rifa’i, A. Hassan
dan lainnya yang selama ini beredar, sudah benar dan lebih baik.
2. Mudah terjatuh dalam pendapat yang salah. Firman Allah SWT:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى
وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ
وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة:62)
Departemen Agama menterjemahkan ayat ini dengan:
“Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh,
mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran
kepada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Al Baqarah: 62)
Adapun MMI menterjemahkannya dengan:
“Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad,
orang-orang Yahudi,
orang-orang Nasrani dan orang orang Shabi’in, lalu mereka beriman kepada
Muhammad, mengesakan Allah dan beriman kepada hari akhirat, serta
melaksanakan amal-amal shalih yang diajarkan Islam, mereka akan
mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka. Mereka tidak akan merasa takut
menghadapi hari akhirat dan tidak akan kehilangan kesenangan dunia”. (Al Baqarah: 62).
Kalimat “Innalladzina amanu” yang oleh Departemen Agama dan seluruh
penterjemah lain diartikan dengan “Sesungguhnya orang-orang mukmin” atau
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman” oleh MMI diterjemahkan dengan
“Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad”. Benarkah
yang dimaksud dengan “Orang-Orang beriman” pada ayat ini maksudnya
demikian? Baiklah kita kutipkan pernyataan Ath Thabari:
أما"الذين آمنوا"، فهم المصدقون رسول الله فيما أتاهم به من الحق من عند
الله، وإيمانهم بذلك، تصديقهم به - على ما قد بيناه فيما مضى من كتابنا
هذا.
Artinya: Adapun yang dimaksud dengan “Alladzina amanu”, mereka
itu adalah orang-orang yang membenarkan Rasulullah SAW berkenaan
dengan kebenaran yang dibawa kepada mereka dari sisi Allah dan keimanan
mereka terhadap hal itu, mereka membenarkan beliau sebagaimana telah
kami jelaskan di permulaan kitab ini. (Tafsir Jami’ul Bayan karya Ath
Thabari Juz 1 halaman 453. Lihat pula Tafsir Al Munir karya Wahbah
Zuhaili pada Juz 1 halaman 178 dan Tafsir Al Maraghi Juz 1 halaman 77).
Al Imam Asy Syaukani menulis dalam Fathul Qadir:
والأولى أن يقال إن المراد الذين صدّقوا النبي صلى الله عليه وسلم ،
وصاروا من جملة أتباعه ، وكأنه سبحانه أراد أن يبين أن حال هذه الملة
الإسلامية وحال من قبلها من سائر الملل يرجع إلى شيء واحد ، وهو : أن من
آمن منهم بالله ، واليوم الآخر ، وعمل صالحاً استحق ما ذكره الله من الأجر ،
ومن فاته ذلك فاته الخير كله ، والأجر دِقُّه وجِلَّه .
Artinya: Yang paling baik adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Alladzina amanu”
adalah orang-orang yang percaya kepada Nabi Muhammad SAW dan menjadi
ummatnya. Seakan-akan Allah SWT hendak menjelaskan bahwa keadaan ummat
Islam ini dan ummat-ummat sebelumnya kembali kepada satu keadaan yang
sama, yaitu: Siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan
hari akhir serta beramal saleh, maka ia layak mendapatkan pahala yang
disebutkan Allah. Dan siapa yang absen dari melakukan itu, tidak akan
mendapatkan semua pahala tadi baik besar maupun kecil” (Fathul Qadir,
Juz 1 halaman 204).
Syekh Muhammad Rasyid Ridho dalam Al Manar mengatakan:
فقوله تعالى (ان الذين امنوا) مراد به المسلمون الذين اتبعوا محمدا صلى
الله عليه وسلم والذين سيتبعونه الى يوم القيامة وكانوا يسمون المؤمنين
والذين امنوا.
Artinya: Maka yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala (Alladzina amanu)
adalah orang-orang Islam yang mengikuti Muhammad SAW serta orang-orang
yang mengikutinya hingga hari kiamat. Mereka dinamakan dengan “Al
Mu’minun” dan “Alladzina Amanu”. (Tafsir Al Manar, Juz 1 halaman 335)
Jadi yang dimaksud dengan “Orang-Orang Beriman” dalam ayat ini adalah
Ummat Muhammad SAW, bukan ummat terdahulu sebagaimana dikatakan MMI.
Lantas dari manakah MMI menvonis bahwa yang dituju dengan “Alladzina Amanu”
adalah “Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad”?
Andakata saja MMI membiarkan terjemahan harfiyah atau lafziyah
sebagaimana dilakukan Departemen Agama dan para Ulama tentulah lebih
selamat karena tidak jatuh dalam “salah pasang”. Namun betapa pun
saudara kami Al Ustadz Muhammad Thalib telah berbuat yang terbaik
menurut keyakinannya. Kita harus menghargainya sebagai sebuah upaya
mulia menyelamatkan Al Qur’an dari hal yang tidak diinginkan.
Semoga tulisan ini menjadi wujud kasih-sayang kami terhadap saudara
seiman, betapa pun yang nampak adalah perbedaan.
Wallahu A’lam
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar