Berdusta adalah ciri khas orang munafik sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ «
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ
أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ » (رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Ciri orang munafik itu 3; bila berbicara berdusta, bila
berjanji mengingkari dan bila dipercaya berkhianat” (HR Al Bukhari dan
Muslim).
Dusta yang paling besar dosanya adalah berdusta atas nama Allah
sebagaimana dilakukan oleh Ahlul Kitab yang memalsukan Kitab Suci dan
membuat karya tulis lalu menisbatkannya kepada Allah padahal Allah tak
mengatakannya.
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ
يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا
يَكْسِبُونَ (البقرة:79
Artinya: “Maka celaka-besarlah orang-orang yang menulis Al-kitab dengan
tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka celaka-besarlah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka
sendiri, dan celaka-besarlah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan”
(Al Baqarah:79).
Berikutnya adalah dusta atas nama Rasulullah SAW sebagaimana disabdakannya:
عَنِ الْمُغِيرَةِ - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله
عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ
، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ » . (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidak sama seperti
berdusta atas nama seseorang di antara kalian. Siapa yang berdusta atas
namaku, hendaklah menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka” (HR Al
Bukhari dan Muslim).
Setelah itu tentu saja berdusta atas nama para Ulama yang merupakan
Waratsatul Anbiya. Oleh karena itu janganlah kita berbuat dusta atas
nama Ulama atau menisbatkan sesuatu yang Ulama itu tidak melakukannya.
Akan tetapi di dunia ilmu dikenal sekelompok orang yang seringkali
berdusta atas nama Ulama – bahkan Rasulullah SAW – demi kepentingan
fahamnya.
Sebagai misal adalah pernyataan salah seorang di antara mereka:
حديث « الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا » لَا أَدْرِيْ
عَنْ صِحَّتهِ ، وَالَّذِيْ أَظُنُّ أَنَّهُ ضَعِيْفٌ ، وَلَكِنْ عَلَى
تَقْدِيْرِ صِحَّتِهِ فَلَيْسَ هَذَا مِنْ بَابِ السَّبِّ ، إِنَّمَا هُوَ
مِنْ بَابِ الْخَبْرِ وَأَنَّهُ لَا خَيْرَ فِيْهَا إِلَّا عَالِمٌ
وَمُتَعَلِّمٌ ، أَوْ ذِكْرُ اللهِ …
Artinya: Hadis “Dunia itu terlaknat dan terlaknatlah yang ada di
dalamnya”, saya tidak mengetahui keshahihannya. Saya mengira bahwa Hadis
ini adalah Hadis Dha’if. Tetapi kalaupun ia Shahih bukanlah berarti
mencela, melainkan informasi dan bahwasanya tidak ada kebaikan dalam
dunia kecuali orang alim, orang yang belajar atau Dzikrullah… ” (Lihat
fatawa Syekh Utsaimin Juz 1 halaman 198. Lihat pula buku Syubhat Wa
Isykalat haula Ba’dhil Ahadits Wal Ayat yang diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dengan judul Memahami Ayat-Ayat dan Hadis-Hadis
Kontradiksi halaman 113).
Jadi menurut “dugaan” Syekh pemberi fatwa ini, Hadis tersebut adalah
“Dha’if”. Itu berarti bahwa ia menolak penisbatan Hadis tersebut kepada
Rasulullah SAW. Padahal para Ulama telah menetapkan bahwa Hadis tersebut
adalah Shahih. Di antara yang menetapkannya Shahih adalah Al Hafizh Al
Imam As Suyuthi sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Al Jami’ ash
Shaghir. Demikian pula Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani
menetapkannya sebagai hadis Hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jami’ Ash
Shaghir Juz 1 halaman 642 pada pembahasan Hadis nomor 3414). Penetapan
“Dha’if” terhadap Hadis Shahih secara tidak langsung telah mendustakan
Rasulullah SAW atau berdusta atas nama Rasulullah SAW. Lain halnya bila
ia meneliti dan mentakhrij terlebih dahulu atau mengikuti Ulama
terdahulu. Tetapi di sini ia mengakui “tidak tahu”. Lantas mengapa ia
berani mengatakan “Saya mengira bahwa Hadis ini adalah Hadis Dha’if” ?.
Alangkah baiknya jika ia menahan diri atau berhenti pada kalimat “Saya
tidak tahu”, niscaya selamatlah ia.
Ada pula seorang tokoh yang menetapkan wajibnya kaum wanita menutup
wajahnya. Di antara argument yang dikemukakan adalah – katanya – sesuai
kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf. Perhatikan ucapannya:
وَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ عَلَى وُجُوْبِ سَتْرُ الْمَرْأَةِ
الْمُسْلِمَةِ لِوَجْهِهَا وَأَنّهُ عَوْرَةٌ يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُهُ
إِلَّا مِنْ ذِيْ مَحْرَمٍ . (حراسة الحجاب ص 40)
Artinya: Para Ulama Salaf dan Khalaf telah sepakat atas wajibnya wanita
Muslimah menutup wajahnya dan bahwa wajah itu adalah aurat yang wajib
ditutupinya kecuali di hadapan mahramnya (Lihat Harasatul Hijab halaman
40 atau fatawa Syekh Bin Baz Juz 5 halaman 228).
Pernyataan ini adalah dusta atas nama Ulama. Kedustaannya itu
diungkapkan Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani sebagaimana disebutkan
dalam kitabnya Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah ketika menanggapi pernyataan
Syekh Tuwaijiri yang mengatakan seperti ucapan Bin Baz:
ادَّعَى الشَّيْخُ التُّوَيْجِرِيُّ الْاِجْمَاعَ عَلَى اَنّ وَجْهَ
الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ وَقَلَّدَهُ فِيْ ذَلِكَ كَثِيْرٌ مِمَّنْ لَا عِلْمَ
عِنْدَهُ وَفِيْهِمْ الدَّكَاتِرَةُ وَهِيَ دَعْوَى بَاطِلَةٌ لَمْ
يَسْبِقْهُ اَحَدٌ اِلَيْهَا, وَكُتُبُ الْحَنَابشلَةِ الَّتِيْ تَفَقَّهَ
عَلَيْهَا – فَضْلًا عَنْ غَيْرِهَا – كَافِيَةٌ لِلدَّلَالَةِ عَلَى
بُطْلَانِهَا. وَقَدْ ذَكَرءتُ هُنَاكَ فِي "الرَّدِّ" كَثِيْرًا مِنْ
عِبَارَاتِهِمْ مِثْلَ عِبَارَةِ هُبَيْرَةَ الْحَنْبَلِِِّي فِيْ
كِتَابِهِ الْاِفْصَاحِ وَفِيْهَا: اِنَّ مَذْهَبَ الْاَئِمَّةِ
الثَّلَاثَةِ اَنَّهُ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ: قَالَ: وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنِ
الْاِمَامِ اَحمَدَ. (جلباب المرأة المسلمة ص 7)
Artinya: Syekh At-Tuwaijiri mengklaim adanya Ijma’ (Kesepakatan Ulama)
yang mengatakan bahwa wajah wanita itu aurat dan banyak orang-orang tak
berilmu yang taklid kepadanya bahkan di antaranya beberapa orang Doktor.
Klaim tersebut adalah batil, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya.
Kitab-kitab Madzhab Hanbali yang ia bertafaqquh padanya – terlebih yang
lainnya - cukup menjadi dalil akan kebatilannya itu. Aku telah
mengemukakan banyak pernyataan para Ulama dalam kitab “Ar Radd Al
Mufhim”. Misalnya pernyataan Hubairah Al-Hanbali dalam kitabnya “Al
Ifshash”. Dalam pernyataannya itu disebutkan bahwa menurut tiga Imam
Madzhab (Abu hanifah, Malik dan Syafi’I, pen) wajah itu bukan aurat. Ia
berkata: “Dan itu merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad” (Jilbab Al
Mar’ah Al Muslimah karya Al Albani halaman 7).
Albani benar, pernyataan bahwa menutup wajah wanita merupakan Ijma’
ulama adalah dusta. Yang benar adalah justru sebaliknya; mayoritas Ulama
menetapkan wajah wanita bukan aurat. Bagi yang hendak mengetahui hal
ini silahkan merujuk kitab-kitab Fiqh.
Dusta bukan hanya melanda para penulis Timur-Tengah melainkan juga
penulis lokal Indonesia. Sebagai misal dapat kita kemukakan sebuah buku
dengan judul “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham”.
Dalam buku tersebut – untuk menyalahkan Ustadz Arifin Ilham – sang penulis menyebutkan antara lain:
“Sekedar untuk menggambarkan bahwa saya sungguh-sungguh dalam melakukan
penelitian, saya tidak mendapatkan keterangan Al Imam Al Qurtuby seperti
yang dinukil dalam HZB (Hikmah Zikir Berjama’ah karya M. Arifin Ilham
dan Debby Nasution, pen) sesudah nukilan ayat ini. Pada jilid dan
halaman berapa?. Karena memang dalam HZB tidak disebutkan nomornya.
Untuk lebih jelasnya, rujukan saya adalah Tafsir Al Qurtuby yang
berjudul Al jami’ Li Ahkam Al Qur’an, Darusy Syi’by Cairo, cet. 2, 1372
H, dalam CD Maktabatut-Tafsir Wa ‘Ulumul Qur’an. Bahkan kelimat seperti
itu juga tidak saya dapatkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya” (Lihat
“Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham” tulisan Abu Amsaka dengan
Murja’ah Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Abdul Hakim bin Amir Abdat
halaman 75).
Perlu kami kemukakan di sini bahwa tulisan Arifin Ilham yang disalahkan itu adalah:
“Al Imam Al Qurtubi menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, beliau berkata:
وَجَعَلَ تَعَالَى ذَلِكَ دُوْنَ حَدٍّ لِسُهُوْلَتِهِ عَلَى الْعَبْدِ.
وَلِعَظْمِ الْاَجْرِ فِيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَمْ يُعْذَرْ أَحَدٌ
فِيْ تَرْكِ ذِكْرِ اللهِ إِلَّا مَنْ غُلِبَ عَقْلُهُ.
Artinya: “Allah menjadikan (memerintahkan) berdzikir itu tanpa batas
karena sangat mudahnya – untuk dilakukan – setiap orang, dan juga karena
besarnya ganjaran yang terdapat di dalamnya. Ibnu Abbas mengatakan,
bahwa tidak diberi alasan bagi seorang pun untuk meninggalkan berdzikir
pada Allah kecuali orang yang kehilangan akal” (Lihat Hikmah Zikir
Berjama’ah karya M. Arifin Ilham dan Debby Nasution halaman 4).
Setelah kami melakukan pengecekan ternyata M. Arifin Ilham dan Debby
Nasution benar; apa yang mereka kutip itu terdapat dalam Tafsir Al
Qurtubi Juz 14 halaman 197 pada terbitan Dar El Fikr tahun 1407 H / 1987
M). Sebaliknya Sang penulis Buku “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin
Ilham” itu telah berdusta atas nama Al Imam Al Qurtubi.
Dari sini hendaklah kita berhati-hati dengan buku bacaan baru, baik yang
terjemahan dari buku-buku Timur Tengah maupun buku-buku lokal. Bacalah
Al Qur’an, Hadis dan karya karya Ulama terdahulu. Hasbunallah.
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar