http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Senin, 31 Desember 2012

berdusta atas nama ulama


Berdusta adalah ciri khas orang munafik sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ » (رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Ciri orang munafik itu 3; bila berbicara berdusta, bila berjanji mengingkari dan bila dipercaya berkhianat” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Dusta yang paling besar dosanya adalah berdusta atas nama Allah sebagaimana dilakukan oleh Ahlul Kitab yang memalsukan Kitab Suci dan membuat karya tulis lalu menisbatkannya kepada Allah padahal Allah tak mengatakannya.
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (البقرة:79
Artinya: “Maka celaka-besarlah orang-orang yang menulis Al-kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celaka-besarlah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celaka-besarlah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan” (Al Baqarah:79).
Berikutnya adalah dusta atas nama Rasulullah SAW sebagaimana disabdakannya:
عَنِ الْمُغِيرَةِ - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ » . (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidak sama seperti berdusta atas nama seseorang di antara kalian. Siapa yang berdusta atas namaku, hendaklah menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Setelah itu tentu saja berdusta atas nama para Ulama yang merupakan Waratsatul Anbiya. Oleh karena itu janganlah kita berbuat dusta atas nama Ulama atau menisbatkan sesuatu yang Ulama itu tidak melakukannya. Akan tetapi di dunia ilmu dikenal sekelompok orang yang seringkali berdusta atas nama Ulama – bahkan Rasulullah SAW – demi kepentingan fahamnya.
Sebagai misal adalah pernyataan salah seorang di antara mereka:
حديث « الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا » لَا أَدْرِيْ عَنْ صِحَّتهِ ، وَالَّذِيْ أَظُنُّ أَنَّهُ ضَعِيْفٌ ، وَلَكِنْ عَلَى تَقْدِيْرِ صِحَّتِهِ فَلَيْسَ هَذَا مِنْ بَابِ السَّبِّ ، إِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الْخَبْرِ وَأَنَّهُ لَا خَيْرَ فِيْهَا إِلَّا عَالِمٌ وَمُتَعَلِّمٌ ، أَوْ ذِكْرُ اللهِ …
Artinya: Hadis “Dunia itu terlaknat dan terlaknatlah yang ada di dalamnya”, saya tidak mengetahui keshahihannya. Saya mengira bahwa Hadis ini adalah Hadis Dha’if. Tetapi kalaupun ia Shahih bukanlah berarti mencela, melainkan informasi dan bahwasanya tidak ada kebaikan dalam dunia kecuali orang alim, orang yang belajar atau Dzikrullah… ” (Lihat fatawa Syekh Utsaimin Juz 1 halaman 198. Lihat pula buku Syubhat Wa Isykalat haula Ba’dhil Ahadits Wal Ayat yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Memahami Ayat-Ayat dan Hadis-Hadis Kontradiksi halaman 113).
Jadi menurut “dugaan” Syekh pemberi fatwa ini, Hadis tersebut adalah “Dha’if”. Itu berarti bahwa ia menolak penisbatan Hadis tersebut kepada Rasulullah SAW. Padahal para Ulama telah menetapkan bahwa Hadis tersebut adalah Shahih. Di antara yang menetapkannya Shahih adalah Al Hafizh Al Imam As Suyuthi sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Al Jami’ ash Shaghir. Demikian pula Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani menetapkannya sebagai hadis Hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir Juz 1 halaman 642 pada pembahasan Hadis nomor 3414). Penetapan “Dha’if” terhadap Hadis Shahih secara tidak langsung telah mendustakan Rasulullah SAW atau berdusta atas nama Rasulullah SAW. Lain halnya bila ia meneliti dan mentakhrij terlebih dahulu atau mengikuti Ulama terdahulu. Tetapi di sini ia mengakui “tidak tahu”. Lantas mengapa ia berani mengatakan “Saya mengira bahwa Hadis ini adalah Hadis Dha’if” ?. Alangkah baiknya jika ia menahan diri atau berhenti pada kalimat “Saya tidak tahu”, niscaya selamatlah ia.
Ada pula seorang tokoh yang menetapkan wajibnya kaum wanita menutup wajahnya. Di antara argument yang dikemukakan adalah – katanya – sesuai kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf. Perhatikan ucapannya:
وَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ عَلَى وُجُوْبِ سَتْرُ الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ لِوَجْهِهَا وَأَنّهُ عَوْرَةٌ يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُهُ إِلَّا مِنْ ذِيْ مَحْرَمٍ . (حراسة الحجاب ص 40)
Artinya: Para Ulama Salaf dan Khalaf telah sepakat atas wajibnya wanita Muslimah menutup wajahnya dan bahwa wajah itu adalah aurat yang wajib ditutupinya kecuali di hadapan mahramnya (Lihat Harasatul Hijab halaman 40 atau fatawa Syekh Bin Baz Juz 5 halaman 228).
Pernyataan ini adalah dusta atas nama Ulama. Kedustaannya itu diungkapkan Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah ketika menanggapi pernyataan Syekh Tuwaijiri yang mengatakan seperti ucapan Bin Baz:
ادَّعَى الشَّيْخُ التُّوَيْجِرِيُّ الْاِجْمَاعَ عَلَى اَنّ وَجْهَ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ وَقَلَّدَهُ فِيْ ذَلِكَ كَثِيْرٌ مِمَّنْ لَا عِلْمَ عِنْدَهُ وَفِيْهِمْ الدَّكَاتِرَةُ وَهِيَ دَعْوَى بَاطِلَةٌ لَمْ يَسْبِقْهُ اَحَدٌ اِلَيْهَا, وَكُتُبُ الْحَنَابشلَةِ الَّتِيْ تَفَقَّهَ عَلَيْهَا – فَضْلًا عَنْ غَيْرِهَا – كَافِيَةٌ لِلدَّلَالَةِ عَلَى بُطْلَانِهَا. وَقَدْ ذَكَرءتُ هُنَاكَ فِي "الرَّدِّ" كَثِيْرًا مِنْ عِبَارَاتِهِمْ مِثْلَ عِبَارَةِ هُبَيْرَةَ الْحَنْبَلِِِّي فِيْ كِتَابِهِ الْاِفْصَاحِ وَفِيْهَا: اِنَّ مَذْهَبَ الْاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَنَّهُ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ: قَالَ: وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنِ الْاِمَامِ اَحمَدَ. (جلباب المرأة المسلمة ص 7)
Artinya: Syekh At-Tuwaijiri mengklaim adanya Ijma’ (Kesepakatan Ulama) yang mengatakan bahwa wajah wanita itu aurat dan banyak orang-orang tak berilmu yang taklid kepadanya bahkan di antaranya beberapa orang Doktor. Klaim tersebut adalah batil, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya. Kitab-kitab Madzhab Hanbali yang ia bertafaqquh padanya – terlebih yang lainnya - cukup menjadi dalil akan kebatilannya itu. Aku telah mengemukakan banyak pernyataan para Ulama dalam kitab “Ar Radd Al Mufhim”. Misalnya pernyataan Hubairah Al-Hanbali dalam kitabnya “Al Ifshash”. Dalam pernyataannya itu disebutkan bahwa menurut tiga Imam Madzhab (Abu hanifah, Malik dan Syafi’I, pen) wajah itu bukan aurat. Ia berkata: “Dan itu merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad” (Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah karya Al Albani halaman 7).
Albani benar, pernyataan bahwa menutup wajah wanita merupakan Ijma’ ulama adalah dusta. Yang benar adalah justru sebaliknya; mayoritas Ulama menetapkan wajah wanita bukan aurat. Bagi yang hendak mengetahui hal ini silahkan merujuk kitab-kitab Fiqh. Dusta bukan hanya melanda para penulis Timur-Tengah melainkan juga penulis lokal Indonesia. Sebagai misal dapat kita kemukakan sebuah buku dengan judul “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham”.
Dalam buku tersebut – untuk menyalahkan Ustadz Arifin Ilham – sang penulis menyebutkan antara lain:
“Sekedar untuk menggambarkan bahwa saya sungguh-sungguh dalam melakukan penelitian, saya tidak mendapatkan keterangan Al Imam Al Qurtuby seperti yang dinukil dalam HZB (Hikmah Zikir Berjama’ah karya M. Arifin Ilham dan Debby Nasution, pen) sesudah nukilan ayat ini. Pada jilid dan halaman berapa?. Karena memang dalam HZB tidak disebutkan nomornya. Untuk lebih jelasnya, rujukan saya adalah Tafsir Al Qurtuby yang berjudul Al jami’ Li Ahkam Al Qur’an, Darusy Syi’by Cairo, cet. 2, 1372 H, dalam CD Maktabatut-Tafsir Wa ‘Ulumul Qur’an. Bahkan kelimat seperti itu juga tidak saya dapatkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya” (Lihat “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham” tulisan Abu Amsaka dengan Murja’ah Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Abdul Hakim bin Amir Abdat halaman 75).
Perlu kami kemukakan di sini bahwa tulisan Arifin Ilham yang disalahkan itu adalah: “Al Imam Al Qurtubi menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, beliau berkata:
وَجَعَلَ تَعَالَى ذَلِكَ دُوْنَ حَدٍّ لِسُهُوْلَتِهِ عَلَى الْعَبْدِ. وَلِعَظْمِ الْاَجْرِ فِيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَمْ يُعْذَرْ أَحَدٌ فِيْ تَرْكِ ذِكْرِ اللهِ إِلَّا مَنْ غُلِبَ عَقْلُهُ.
Artinya: “Allah menjadikan (memerintahkan) berdzikir itu tanpa batas karena sangat mudahnya – untuk dilakukan – setiap orang, dan juga karena besarnya ganjaran yang terdapat di dalamnya. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa tidak diberi alasan bagi seorang pun untuk meninggalkan berdzikir pada Allah kecuali orang yang kehilangan akal” (Lihat Hikmah Zikir Berjama’ah karya M. Arifin Ilham dan Debby Nasution halaman 4).
Setelah kami melakukan pengecekan ternyata M. Arifin Ilham dan Debby Nasution benar; apa yang mereka kutip itu terdapat dalam Tafsir Al Qurtubi Juz 14 halaman 197 pada terbitan Dar El Fikr tahun 1407 H / 1987 M). Sebaliknya Sang penulis Buku “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham” itu telah berdusta atas nama Al Imam Al Qurtubi. Dari sini hendaklah kita berhati-hati dengan buku bacaan baru, baik yang terjemahan dari buku-buku Timur Tengah maupun buku-buku lokal. Bacalah Al Qur’an, Hadis dan karya karya Ulama terdahulu. Hasbunallah.
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar