Pada umumnya para Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah menetapkan bahwa para sahabat Rasulullah SAW adalah adil, kredibel dan segala amal perbuatannya layak dijadikan tuntunan. (Dikecualikan
dalam hal ini adalah ada persoalan-persoalan yang menyangkut
perseteruan di antara mereka). Dari sini dapat dipetik beberapa konsekuensi antara lain:
1. Apabila
terdapat sebuah Hadis berupa sabda Nabi SAW menyebutkan tentang
disyari’atkannya suatu amaliah kemudian para sahabat mengerjakannya,
maka amaliah tersebutt menjadi tuntunan bagi ummatnya dan yang
menyalahinya dianggap sebagai sebuah kesesatan. Akan tetapi menjadi lain
masalahnya manakala ada seorang “Mujtahid” yang memiliki pemahaman
lain, meskipun pemahaman tersebut lebih baik dihindari karena menyalahi
praktek para sahabat Rasulullah SAW yang tentu saja lebih mengerti daripada orang-orang sesudahnya.
Sebagai misal adalah Hadis:
لاَ
يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ
الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ
السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Artinya: “Tidaklah
satu kaum duduk di satu majelis untuk berdzikir kepada Allah kecuali
Malaikat akan meliputi mereka, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, ketenangan akan turun kepada mereka dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di hadapan Malaikat yang ada di sisi-Nya” (HR Muslim pada bab Al Ijtima’ Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Adz Dzikri, berkumpul untuk membaca Al Qur’an dan Dzikir).
Berpijak kepada pesan ini – dan pesan-pesan lain yang disampaikan Rasulullah SAW – maka para sahabat biasa berkumpul berdzikir bersama. Sebuah Hadis menyebutkan:
عَنْ
أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ عَلَى حَلْقَةٍ فِى
الْمَسْجِدِ فَقَالَ مَا أَجْلَسَكُمْ قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ.قَالَ
آللَّهِ مَا أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا
إِلاَّ ذَاكَ. قَالَ أَمَا إِنِّى لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ
وَمَا كَانَ أَحَدٌ بِمَنْزِلَتِى مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- أَقَلَّ عَنْهُ حَدِيثًا مِنِّى وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- خَرَجَ عَلَى حَلْقَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ « مَا
أَجْلَسَكُمْ ». قَالُوا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللَّهَ وَنَحْمَدُهُ عَلَى
مَا هَدَانَا لِلإِسْلاَمِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا. قَالَ « آللَّهِ مَا
أَجْلَسَكُمْ إِلاَّ ذَاكَ ». قَالُوا وَاللَّهِ مَا أَجْلَسَنَا إِلاَّ
ذَاكَ. قَالَ « أَمَا إِنِّى لَمْ أَسْتَحْلِفْكُمْ تُهْمَةً لَكُمْ
وَلَكِنَّهُ أَتَانِى جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
يُبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ ». (رواه مسلم)
Artinya:
Suatu hari Mu’awiyah menemui riungan orang-orang dalam Masjid. Ia
bertanya: “Apakah yang mendorong kalian berkumpul seperti ini?”. Mereka
berkata: “Kami berdzikir kepada Allah” Mu’awiyah bertanya lagi: “Demi
Allah hanya untuk itu kalian duduk-duduk di sini?”. Mereka menjawab:
“Demi Allah tidak ada yang mendorong kami duduk di sini kecuali itu”.
Mu’awiyah berkata: “Sungguh, aku meminta kalian bersumpah itu bukan
karena menuduh yang bukan-bukan. Dan tidak ada seorang pun di antara
kamu yang lebih sedikit menceritakan tentang Rasulullah SAW dibandingkan
aku. Pada suatu hari beliau keluar menemui para sahabatnya yang duduk
membentuk lingkaran, lalu bertanya kepada mereka: “Apakah yang mendorong
kalian berkumpul seperti ini?”. Mereka berkata: “Kami berdzikir kepada
Allah serta memuji-Nya karena Dia telah memberi petunjuk dan memberi
nikmat kami hingga kami memeluk agama Islam” Rasulullah SAW bertanya
lagi: “Demi Allah hanya untuk itu kalian duduk-duduk di sini?”. Mereka
menjawab: “Demi Allah tidak ada yang mendorong kami duduk di sini
kecuali itu”. Rasulullah SAW kemudian bersabda berkata: “Sungguh, aku
meminta kalian bersumpah itu bukan karena menuduh yang bukan-bukan. Akan
tetapi baru saja Jibril datang kepadaku mengabarkan bahwa Allah
membanggakan kalian di hadapan para Malaikat-Nya” (HR Muslim).
Atas
dasar ini maka para Ulama sepakat bahwa berdzikir berjama’ah itu Sunnat
hukumnya, sebagaimana dikatakan Al Imam Abdul Wahhab Asy Sya’rani (W
972 H) dalam kitabnya Al Anwar Al Qudsiyah:
وَاَجْمَعَ
الْعُلَمَاءُ سَلَفًا وَخَلَفًا عَلَى اسْتِحْبَابِ ذِكْرِ اللهِ تَعَالَى
جَمَاعَةً فِي الْمَسَاجِدِ وَغَيْرِهَا مِنْ غَيِِْرِ نَكِيْرٍ اِلَّا
اِنْ شَوَّشَ ذِكْرُهُمْ عَلَى ناَئمِ ٍاَوْ مُصَلٍّ اَوْ قَارِئٍ اَوْ
نَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مُقَرَّرٌ فِيْ كُتُبِ الْفِقْهِ.
Artinya:
Para Ulama baik Salaf maupun Khalaf telah sepakat (Ijma’) atas
sunnahnya dzikir berjama’ah baik di Masjid-Masjid ataupun di tempat
lainnya tanpa ada seorang Ulama pun yang mengingkarinya kecuali jika
dzikir mereka itu mengganggu orang yang tidur, orang yang shalat atau
orang yang sedang membaca Al Qur’an sebagaimana dikemukakan dalam
kitab-kitab Fiqh (Lihat Kitab Al Anwar Al Qudsiyyah halaman 31)
2. Bila terdapat sebuah Hadis Qauli (Sabda Nabi SAW) yang menyebutkan tentang disyari’atkannya suatu amaliah, namun tidak diketemukan Hadis Fi’li
(perbuatan) yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW melakukannya, maka
orang yang berpikiran sehat akan melakukannya karena yakin bahwa
Rasulullah SAW pun melakukannya sebab tidak mungkin beliau melanggar
kata-katanya. Atau kalaupun beliau tidak melakukannya itu semata
disebabkan ada yang menyebabkannya. Barang siapa menganggap bahwa amal
perbuatan tersebut tidak disyari’atkan dengan dalih Rasul tidak
melakukannya, maka ia telah melakukan tuduhan keji kepada Rasulullah
SAW. (Justru dalam pikiranku, periwayatan sabda Nabi tersebut bisa jadi
dikemukakan oleh sahabat pada saat ada di antara mereka yang yang
melakukannya). Sebagai misal dapat dikemukakan sebuah Hadis tentang berdo’a berjama’ah:
لا يَجْتَمِعُ مَلأٌ فَيَدْعُو بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ سَائِرُهُمْ إِلا أَجَابَهُمُ اللَّهُ "
Artinya:
“Tidaklah satu kelompok manusia berkumpul lalu salah seorang di antara
mereka memanjatkan do’a dan yang lain mengaminkannya, kecuali Allah
memperkenankan do’a mereka itu” (HR Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir. Dalam Majma’ Az Zawa’id dikatakan bahwa Rijal Hadis ini adalah Rijal Shahih kecuali Ibnu Lahi’ah dan orang ini Hasan Hadisnya).
Bila kita mencari dalam kitab-kitab
Hadis sebuah keterangan yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW sengaja
mengumpulkan orang lalu melakukan hal tersebut, niscaya kita tidak akan
menemukannya. Tetapi apakah patut kita mengatakan Rasulullah SAW sama
sekali tidak pernah melakukannya dan oleh sebab itu kita menetapkan
bahwa perbuatan tersebut bid’ah?. Adalah menarik bahwa Hadis tersebut
dikemukakan oleh Habib bin Maslamah Al Fihri – seorang yang mustajab
do’anya – ketika bersama-sama
dengan pasukan kaum Muslimin. Ini berarti ketika itu do’a bersama
sedang dikerjakan oleh kaum Muslimin kalangan sahabat Rasulullah SAW.
Sejumlah
Hadis bahkan mengisyaratkan beliau SAW pernah dan biasa berdo’a
berjama’ah meskipun oleh penyusun kitab Hadis tidak dijuduli dengan
“Do’a berjama’ah” (Dan ini yang dijadikan alasan kelompok anti do’a
berjama’ah). Sebagai misal Hadis bersumber dari Anas bin Malik yang
melaporkan:
أَتَى
رَجُلٌ أَعْرَابِىٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ،
هَلَكَتِ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ . فَرَفَعَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَدَيْهِ يَدْعُو ، وَرَفَعَ
النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ ، قَالَ فَمَا خَرَجْنَا مِنَ
الْمَسْجِدِ حَتَّى مُطِرْنَا ، فَمَا زِلْنَا نُمْطَرُ حَتَّى كَانَتِ
الْجُمُعَةُ الأُخْرَى ، فَأَتَى الرَّجُلُ إِلَى نَبِىِّ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، بَشِقَ الْمُسَافِرُ ،
وَمُنِعَ الطَّرِيقُ . (رواه البخاري ومسلم(
Artinya:
Seorang laki-laki perkampungan datang menghadap Rasulullah SAW pada
hari Jum’at lalu berkata: “Wahai Rasulullah, telah binasa keluarga dan
masyarakat”. Maka Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya dan
orang-orang pun mengangkat kedua tangan mereka berdo’a bersama
Rasulullah SAW. (Kata sahabat selanjutnya) “Belum
lagi kami keluar dari Masjid hujan telah turun dan hujan terus turun
kepada kami sampai Jum’at berikutnya. Laki-laki itu pun datang lagi
menghadap Nabi SAW dan berkata: “Wahai Rasulullah, kami kesulitan untuk
berpergian dan jalan kami terhambat karena hujan....” (HR Al Bukhari dan
Muslim)
Oleh
karena itu di seluruh dunia kaum Muslimin senantiasa berdo’a berjama’ah
baik dalam Shalat ketika membaca Al Fatihah, ketika Qunut atau
kesempatan lainnya termasuk di kuburan
sebagaimana dikatakan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, ketua
komisi Fatwa Kerajaan Keluarga Sa’ud (Saudi Arabia):
قَدْ
دَلَّتِ السُّنَّةُ الثَّابِتَةُ عَنِ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم
عَلَى شَرْعِيَةِ الدُّعَاءِ لِلْمَيِّتِ بَعْدَ الدَّفْنِ, فَقَدْ كَانَ
النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اِذَا فَرَغَ مِنْ دَفْنِ الْمَيِّتِ وَقَفَ
عَلَيْهِ وَقَالَ: اِسْتَغْفِرُوْا لِأًَخِيْكُمْ وَاسْاَلُوْالَهُ
التَّثْبِيْتَ فَاِنَّهُ الْاَنَ يُسْئَلُ.لَاحَرَجَ فِيْ اَنْ يَدْعُوَ
وَاحِدٌ وَيُؤَمِّنُ السَّامِعُوْنَ اَوْ يَدْعُوَ كُلُّ وَاحِدٍ
بِنَفْسِهِ لِلْمَيِّتِ..وَاللهُ وَلِيُّ التَّوْفِيْقِ
Artinya: Sunnah Rasul SAW yang kuat menunjukkan disyari'atkannya berdo'a untuk mayit setelah penguburannya. Nabi
SAW biasanya apabila selesai menguburkan mayit berdiri dekat kuburan
dan bersabda: "Mohonkanlah ampun bagi saudaramu ini dan mintakanlah
ketetapan hati karena sekarang ia akan
ditanya". Dan tidak mengapa jika salah seorang memanjatkan do'a lalu
para pendengarnya mengaminkannya atau masing-masing orang berdo'a untuk si Mayit. Wallahu Waliyyut taufiq" (Lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Syekh Bin Baz pada Juz 13 halaman 205).
Dan manakala ada orang yang mengharuskan adanya dalil lain sebagai penopang kesunnahanya berdo’a berjama’ah – selain Hadis di atas –, sesungguhnya hal tersebut terlalu mengada-ada.
H. Syarif Rahmat RA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar