Satu lagi Ulama (?) yang menyerang Ustadz Muhammad Arifin Ilham. Lewat
buku kecil berjudul “APAKAH DZIKIR ARIFIN ILHAM BID’AH DALAM ISLAM?”,
seorang yang menyebut dirinya Abu Arafat alias Hassanoeddin Bandung
menyerang satu persatu amaliah yang biasa dilakukan oleh pimpinan
Majelis Adz Dzikra itu. Dari awwal sampai akhir, buku yang diberi kata
pengantar oleh DR HM ABDURRAHMAN itu isinya hanya menyalahkan. Tapi
sangat disayangkan justru buku tersebut banyak mengajarkan kesalahan.
Sebagai misal adalah tulisannya ketika membantah kesunnahan mendawamkan
Wudhu:
“Jadi sekali lagi secara Syar’i, bahwa orang yang berwudhu sebelum
saatnya tiba sama dengan orang yang shalat sebelum saatnya tiba” (halaman 13).
Pernyataan ini menyesatkan karena beberapa alasan:
Pertama, Wudu disyari’atkan bukan hanya ketika hendak Shalat. Para
Ulama Madzhab 4 (Abu Hanifah, Malik, Syafu’i dan Imam Ahmad bin Hanbal)
sepakat mengatakan bahwa orang yang hendak memegang Mushaf Al Qur’an
wajib wudhu. Dalil mereka adalah ayat Al Qur’an:
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ . فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ . لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (الواقعة:77-79)
Artinya: “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia,
pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali
orang-orang yang disucikan” (Al Waqi’ah:77-79).
Ini diperkuat oleh sebuah Hadis:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ أَنَّ فِي الْكِتَابِ
الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ (رواه
مالك والطبراني والحاكم والدارقطني)
Artinya: “Bahwasanya pada surat yang dikirimkan Rasulullah SAW kepada
Amru bin Hazm ada tulisan: “Hendaklah jangan menyentuh Al Qur’an kecuali
orang yang suci” (HR malik, Ath Thabarani, Al Hakim dan Ad Daraqutni).
Komisi fatwa Kerajaan Keluarga Sa’ud Lajnah Da’imah menfatwakan:
إن من أراد مس المصحف من المسلمين فعليه أن يتطهر من الحدث الأصغر
والأكبر.والحدث الأصغر: ما أوجب وضوءًا، والحدث الاكبر ما أوجب غسلًا؛
لعموم قوله تعالى: { لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ } ولما جاء في
كتاب عمرو بن حزم : « أن لا يمس القرآن إلا طاهر » ، وأما قراءته غيبًا
فيجوز ممن ليس عليه حدث أكبر، فالجنب -مثلًا- لا يقرأ القرآن لا غيبًا ولا
نظرًا.
Artinya: “Sesungguhnya siapa saja orang Islam yang hendak menyentuh
Mushaf Al Qur’an hendaklah bersuci dari Hadas kecil dan Hadas besar.
Hadas kecil adalah segala sesuatu yang mewajibkan Wudhu dan Hadas besar
adalah segala yang mewajibkan mandi. Hal ini berdasarkan keumuman firman
Allah, “tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”. Dan
berdasarkan yang terdapat dalam surat Amru bin Hazm, “Hendaklah jangan
menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”. Adapun membacanya dengan
hafalam (tanpa memegang mushaf, pen), maka diperbolehkan bagi selain
yang berhadas besar. Oleh karena itu orang Junub – misalnya – tidak
dibenarkan membaca Al Qur’an baik dengan hafalan maupun dengan memegang
Mushaf” (Fatawa Lajnah Da’imah nomor 2217).
Rasulullah SAW juga menganjurkan orang yang berjima’ untuk berwudu
manakala hendak melakukannya lagi. Dalam sebuah Hadis diriwayatkan:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- قَالَ « إِذَا غَشِىَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ
يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ». (رواه احمد)
Artinya: “Apabila seseorang di antara kamu bersetubuh dengan isterinya
kemudian hendak mengulanginya lagi, hendaklah ia berwudhu dengan wudhu
sebagaimana ketika ia hendak Shalat” (HR Ahmad).
Beliau juga berwudhu ketika hendak tidur setelah berjima’. Dalam sebuah Hadis dikatakan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا
كَانَ جُنُباً وَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ
لِلصَّلاَةِ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ وَكَانَ يَقُولُ « مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ فَلْيَتَوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ». (رواه
احمد)
Artinya: Aisyah berkata: Rasulullah SAW itu apabila hendak tidur dalam
keadaan Junub berwudu seperti wudu untuk Shalat sebelum tidurnya. Beliau
bersabda: “Barangsiapa hendak tidur dalam keadaan junub, hendaklah
berwudu sebagaimana wudunya untuk shalat” (HR Ahmad).
Ini saja rasanya sudah cukup.
Nampaklah bahwa “Fatwa” pemulis buku “APAKAH DZIKIR ARIFIN ILHAM BID’AH
DALAM ISLAM?” telah melakukan kesesatan yang nyata.
Pada halaman berikutnya dalam buku tersebut dituliskan:
“Atau apakah anda suka shalat dhuha berjama’ah? Padahal nabi tidak
mencontohkannya? Jika anda nekad melaksanakannya, bukan pahala yang akan
anda terima, melainkan kesesatan yang akan anda dapatkan, dan itu bukan
kata saya tapi kata Nabi…” (Lihat“APAKAH DZIKIR ARIFIN ILHAM BID’AH
DALAM ISLAM?” halaman 47).
Jadi kata penulis buku tersebut yang namanya Shalat Dhuha berjama’ah adalah bid’ah dan kesesatan.
“fatwa” penulis buku tersebut dapat kita bandingkan dengan Hadis berikut:
الله عليه وسلم - يَقُولُ كُنْتُ أُصَلِّى لِقَوْمِى بِبَنِى سَالِمٍ ،
وَكَانَ يَحُولُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ وَادٍ إِذَا جَاءَتِ الأَمْطَارُ
فَيَشُقُّ عَلَىَّ اجْتِيَازُهُ قِبَلَ مَسْجِدِهِمْ ، فَجِئْتُ رَسُولَ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقُلْتُ لَهُ إِنِّى أَنْكَرْتُ بَصَرِى ،
وَإِنَّ الْوَادِىَ الَّذِى بَيْنِى وَبَيْنَ قَوْمِى يَسِيلُ إِذَا
جَاءَتِ الأَمْطَارُ فَيَشُقُّ عَلَىَّ اجْتِيَازُهُ ، فَوَدِدْتُ أَنَّكَ
تَأْتِى فَتُصَلِّى مِنْ بَيْتِى مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلًّى . فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « سَأَفْعَلُ » . فَغَدَا عَلَىَّ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبُو بَكْرٍ - رضى الله عنه -
بَعْدَ مَا اشْتَدَّ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى قَالَ « أَيْنَ
تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّىَ مِنْ بَيْتِكَ » . فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى
الْمَكَانِ الَّذِى أُحِبُّ أَنْ أُصَلِّىَ فِيهِ ، فَقَامَ رَسُولُ
اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَكَبَّرَ وَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ ،
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ سَلَّمَ وَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَ ،
فَحَبَسْتُهُ عَلَى خَزِيرٍ يُصْنَعُ لَهُ فَسَمِعَ أَهْلُ الدَّارِ
رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَيْتِى فَثَابَ رِجَالٌ
مِنْهُمْ حَتَّى كَثُرَ الرِّجَالُ فِى الْبَيْتِ . فَقَالَ رَجُلٌ
مِنْهُمْ مَا فَعَلَ مَالِكٌ لاَ أَرَاهُ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ ذَاكَ
مُنَافِقٌ لاَ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -
صلى الله عليه وسلم - « لاَ تَقُلْ ذَاكَ أَلاَ تَرَاهُ قَالَ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ .يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ » . فَقَالَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . أَمَّا نَحْنُ فَوَاللَّهِ لاَ نَرَى وُدَّهُ وَلاَ
حَدِيثَهُ إِلاَّ إِلَى الْمُنَافِقِينَ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى
الله عليه وسلم - « فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ
قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ »
(رواه احمدو البخاري والدار قطني)
Artinya: “Artinya: “Sesungguhnya Itban bin Malik, salah seorang dari
shahabat Nabi SAW dari golongan Anshar yang mengikuti perang Badar,
datang kepada Rasulullah lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah
mengingkari penglihatanku (tak dapat melihat) dan aku shalat untuk
kaumku. Apabila turun hujan, lembah yang ada antara rumahku dan mereka
digenangi air hingga aku tak dapat datang ke msjid mengimami mereka. Aku
ingin kiranya engkau datang kepadaku dan shalat di rumahku agar aku
jadikan ia Mushala”. Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Akan kulakukan,
Insya Allah”. Itban berkata: “Maka Rasulullah datang bersama Abu Bakar
ketika matahari telah mulai meninggi. Beliau meminta izin dan aku pun
mengizinkannya. Beliau tidak duduk ketika masuk rumah lalu bertanya: “Di
manakah yang engkau kehendaki aku shalat di rumahmu?”. Itban berkata:
“Aku pun menunjuk ke satu bagian dari rumahkku dan Rasulullah SAW
berdiri lalu takbiratul Ihram. Kami berdiri dan membuat Shaf di belakang
beliau, sedang beliau shalat dua raka’at lalu salam dan kami pun
mengikuti salam pula”. Itban berkata lagi: “Kami lalu menahan beliau
untuk hidangan Khazirah yang kami buat. Maka sejumlah orang dari kaum
tersebut mendatangi rumah Itban dan mereka berkumpul. Salah seorang di
antara mereka berkata: “Apakah yang telah diperbuat si Malik?”. Sebagian
orang mengatakan: “Dia adalah orang munafik yang tidak mencinttai Allah
dan Rasul-Nya”. Rasulullah SAW lalu bersabda: “Jangan berkata begitu,
tidakkah engkau lihat dia telah mengucapkan Tidak ada Tuhan selain Allah
semata-mata mengharap keridhaan Allah ?”. Orang tadi berkata: “Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui. hanya saja kami melihat muka dan
kesetiaannya condong kepada orang-orang munafik”. Rasulullah lalu
bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada Neraka orang
yang mengucapkan Tidak ada Tuhan selain Allah karena mengharapkan
ridhanya Allah”. (Lihat Shahih Al Bukhari Bab Shalatun Nawafili
Jama’atan pada Juz 1 halaman 205).
Dari pembuatan judul “Bab Shalat Dhuha di tempat” dan “Shalat Sunnat
berjama’ah” untuk satu Hadis, mengisyaratkan bahwa Al Bukhari menetapkan
diperbolehkan atau disyari’atkannya Shalat Dhuha berjama’ah karena
sebagaimana diketahui secara umum bahwa ijtihad atau fatwa Al Bukhari
terdapat pada judul judul yang terdapat dalam kitabnya.
Sampai di sini mungkin saja ada yang bertanya; shalat apakah yang
dilakukan Rasulullah SAW secara berjama’ah di rumah Itban bin Malik itu ?
Sebenarnya pada pernyataan Hadis di atas telah disebutkan bahwa
Rasulullah SAW menunaikan Shalat tersebut pada saat matahari telah naik.
Demikian juga Al Bukhar telah tegas menyebutkan nama Shalatnya. Akan
tetapi untuk memastikannya baiklah kita kutip pernyataan Al Hafizh Ibnu
Hajar Al Asqallani Asy Syafi’i Rahimahullah :
قَالَ اِبْن رَشِيد : هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ كَانَ
كَالْمُتَعَارَفِ عِنْدَهُمْ وَإِلَّا فَصَلَاته صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ اَلْأَنْصَارِيّ وَإِنْ كَانَتْ فِي وَقْتِ صَلَاةِ
اَلضُّحَى لَا يَلْزَمُ نِسْبَتُهَا لِصَلَاةِ اَلضُّحَى . قُلْت : إِلَّا
أَنَّا قَدَّمْنَا أَنَّ اَلْقِصَّةَ لِعِتْبَانَ بْن مَالِك ، وَقَدْ
تَقَدَّمَ فِي صَدْر اَلْبَاب أَنَّ عِتْبَان سَمَّاهَا صَلَاة اَلضُّحَى
فَاسْتَقَامَ مُرَاد اَلْمُصَنِّفِ ، وَتَقْيِيده ذَلِكَ بِالْحَضَرِ
ظَاهِر لِكَوْنِهِ صَلَّى فِي بَيْتِهِ.
Artinya: Ibnu Rasyid berkata: “Pernyataan ini menunjukkan bahwa masalah
tersebut itu telah dikenal di tengah mereka. Jika tidak demikian, maka
shalat Rasulullah SAW di rumah seorang sahabat dari golongan Anshar itu,
meskipun dilakukan pada waktu dhuha, tidak dinamakan shalat dhuha.
Menurut pendapatku (Ibnu Hajar): Telah kami jelaskan bahwa kisah
tersebut berkenaan dengahn Itban bin Malik. Dan telah berlalu pernyataan
bahwa Itban sendiri menamakannya dengan Shalat Dhuha. Dengan ini telah
tercapai apa yang dituju oleh Imam Bukhari. Sedangkan pembatasan yang
dilakukan Al Bukhari dengan kata “di tempat”, sudah jelas karena memang
Nabi SAW melakukannya di rumah Itban. (Lihat Fath Al Bari Juz 3 halaman
376).
Al Imam Ahmad dan Ad Daraqutni mengemukakan Hadis tersebut secara ringkas dan langsung menggunakan kata “Shalat Dhuha”.
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
صَلَّى فِى بَيْتِهِ سُبْحَةَ الضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا
بِصَلاَتِهِ.
(رواه الامام احمد والدارقطني)
Artinya: Dari Itban Bin Malik (ia mengatakan) bahwa Rasulullah SAW
Shalat Dhuha di rumahnya maka orang-orang pun berdiri dan shalat bersama
beliau di belakangnya (HR Ahmad dan Ad Daraqutni. Lihat Musnad Ahmad
pada Juz 4 halaman 43-44 dan Sunan Ad Daraqutni Juz 2 halaman 57)
Bahkan Ad Daraqutni memberi judul bagi Hadis tersebut dengan:
صلاة الضحى في جماعة
(Shalat Dhuha dengan berjama’ah)
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Shalat Dhuha berjama’ah itu
diperbolehkan bahkan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan para
sahabatnya. Dan itu artinya, “Fatwa” penulis buku “APAKAH DZIKIR ARIFIN
ILHAM BID’AH DALAM ISLAM?” adalah menyesatkan karena telah berdusta
atas nama Rasulullah SAW. Dalam Bahasa Agama apabila menetapkan yang
tidak didasarkan kepada dalil atau menegasikan yang ada dalilnya disebut
dengan Bid’ah. Dengan kata lain menuduh bid’ah terhadap sebuah amaliah
yang sebenarnya Sunnah adalah bid’ah Dhalalah. Hasbunallah.
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar