Di
antara kaum Muslimin ada yang beranggapan bahwa segala sesuatu yang tidak ada
pada masa Rasulullah SAW adalah bid’ah, sesat dan masuk neraka. Tetapi dalam
kenyataannya kelompok ini pun tidak selalu kompak dalam menetapkan kebid’ahan
suatu amaliah meskipun sudah jelas tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Sebagai
contoh adalah masalah:
1.
Makan
dan minum di keluarga Mayit.
Dalam
sebuah Hadis (mauquf) disebutkan:
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ
قَالَ كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ
دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ
(رواه احمد وابن ماجة)
Artinya:
“Kami (para sahabat, pen) menganggap bahwa berkumpul ke keluarga mayit dan
membuat makanan setelah penguburannya itu termasuk meratap” (HR Ahmad dan Ibnu
Majah).
Hadis
ini secara sepintas
mengesankan
bahwa berkumpul di keluarga mayit atau menyantap hidangan baik makanan maupun minuman
di keluarga mayit itu adalah haram karena termasuk meratap. Tetapi dalam
kenyataannya di seluruh dunia pada umumnya kaum muslimin kalau berta’ziyah itu duduk dan
mereguk air minum yang disediakan keluarga mayit. Lantas apakah yang mereka
lakukan itu termasuk Bid’ah? Ternyata para Ulama yang mengatakan bahwa “Segala yang baru itu bid’ah”
atau “segala yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW dan Salaf itu bid’ah”
berbeda pendapat. Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syekh Jibrin
memperbolehkan. Syekh Bin Baz mengatakan:
اذا حضر المسلم وعزى اهل الميت فذلك مستحب
لما فيه من الجبر لهم والتعزية. واذا شرب عندهم فنجان قهوة اوشاي او تطيب فلا بأس كعادة
الناس مع زوارهم
Artinya:
Apabila seorang Muslim datang dan berta’ziyah kepada keluarga mayit, itu adalah
perbuatan disukai (sunnah) karena hal tersebut dapat menghibur dan menguatkan kepada
keluarga mayit. Dan apabila ia minum segelas kopi atau teh atau hidangan, itu
tidak apa-apa seperti kebiasaan manusia bersama orang-orang yang
mengunjunginya”.
Adapun
Syekh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, muridnya, berpendapat lain. Ia mengatakan:
ان اجتماع اهل الميت لاستقبال المعزين هو ايضا
من الامور التي لم تكن معروفة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم حتى ان بعض العلماء قال انه بدعة.
ولهذا لا نرى ان اهل الميت يجتمعون لتلقي العزاء بل يغلقون ابوابهم...
Artinya:
Sesungguhnya berkumpulnya keluarga mayit untuk menyambut para pentakziyah, ini
pun termasuk yang tidak dikenal pada masa Nabi SAW sehingga ada di antara Ulama
yang mengatakan bahwa hal tersebut Bid’ah. Oleh karena itu kami berpendapat
tidak sepatutnya keluarga mayit berkumpul untuk menerima para pentakziyah
bahkan sebaiknya mereka menutup pintu-pintu
rumah mereka…”.
2.
Memasang
Garis Pada Sajadah
Telah
diketahui bahwa Rasulullah SAW –apabila hendak Shalat– biasa menyuruh para
sahabatnya untuk meluruskan Shaf. Dalam sebuah Hadis disebutkan:
عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اسْتَوُوا
وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ.. (رواه مسلم)
Artinya:
Rasulullah SAW itu biasa menepuk bahu kami ketika hendak Shalat seraya
bersabda: “Luruskanlah dan jangan berselisih yang mengakibatkan berselisihnya
hati kamu” (HR Muslim).
Tetapi
hari ini hampir seluruh Masjid menggunakan karpet atau hambal yang dipasangi
garis. Pemasangan garis tersebut diketahui tidak ada pada masa Rasulullah SAW
sehingga dapat dikatakan sebagai Bid’ah. Tetapi bagaimanakah hukumnya membuat
garis tersebut, para Ulama kelompok ini pun berbeda pendapat. Komisi Al Lajnah
Ad Da’imah Kerajaan Saudi Arabia ditanya:
ما حكم عمل
خط على الحصير أو السجاد بالمسجد، نظرا إلى أن القبلة منحرفة قليلا بقصد انتظام الصف؟
Artinya:
Bagaimana hukumnya membuat garis di karpet atau sajadah yang berada di dalam
masjid mengingat arah kiblatnya sedikit agak melenceng dengan tujuan merapihkan
Shaf ?
Komisi
yang diketuai oleh Syekh Bin Baz itu menjawab:
ج: لا بأس بذلك وإن صلوا في مثل ذلك بلا خط
فلا بأس؛ لأن الميل اليسير لا يضر. وبالله التوفيق وصلى
الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
Artinya: Itu tidak apa-apa. Dan
andaikata pun mereka shalat dalam masjid yang melenceng seperti itu, pun tidak
masalah karena melenceng sedikit tidak merusak (keabsahan Shalat). Wabillahit
taufiq. Semoga Shalawat dan Salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad SAW
berserta keluarga dan sahabatnya.
Syekh Utsaimin mengatakan:
البدعة هي التعبد لله عز وجل بغير ما شرع.
وعلى هذافالبدع لا تدخل في غير العبادات بل ما احدث من امور الدنيا ينظر فيه هل هو
حلال ام حرام ولا يقال انه بدعة
.....
ومن ذلك ما حدث اخيرا في مساجدنا من الفرش التي فيها خطوط من اجل اقامة الصفوف
وتسويتها فان هذا وان كان حادثا ولكنه وسيلة لامر مشروع فيكون جاءزا او مسروعا لغيره
Artinya:
yang namanya Bid’ah itu adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan. Oleh
karena itu maka bid’ah itu tidak masuk kepada selain ibadah. Segala sesuatu
yang diada-adakan berkaitan dengan perkara dunia harus dilihat dulu apakah hal
tersebut halal atau haram dan tidak dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah
Bid’ah …........ Contohnya adalah perkara baru yang belakangan ini terjadi di
masjid-masjid kita berupa pemasangan tikar yang ada garisnya untuk meluruskan
dan menyamakan barisan. Hal tersebut – walaupun barang
baru – akan tetapi merupakan sarana bagi sesuatu yang disyari’atkan, maka
hukumnya adalah boleh atau disyari’atkan karena yang lainnya.
Tetapi
Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani menfatwakan bahwa perbuatan tersebut
adalah Bid’ah dan sesat. Beliau mengatakan:
هذه خطوط التي بدئت تنتشر في مساخد المسلمين
منذ سنوات قليلة هذا يشبه اذانكم الموحد من حيث انه مخالف للشر......اذا الخط في المسجد
او الخطوط في المساجد هذه يجب ان تكون بدعة ضلالة باجماع العلماء
Artinya:
Garis-garis
yang tersebar di masjid-masjid
kaum Muslimin semanjak beberapa tahun belakangan ini tak ubahnya seperti Adzan
yang dilakukan secara bersama-sama,
sama menyalahi Syari’atnya ….
Oleh karena itu garis yang ada dalam Masjid itu tak dapat tidak adalah Bid’ah
menurut kesepakatan Ulama.
Lantas,
bagaimanakah dengan kaidah yang mereka tetapkan “Segala yang tidak ada pada zaman Nabi atau Ulama Salaf adalah
Bid’ah, sesat dan masuk Neraka” ?. Wallahu
A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar