http://malaysfreecommunities.webs.com/allah%20muhammad.JPG

Senin, 31 Desember 2012

pemalsuan sejarah

 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات:6)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Al Hujurat:6).
Dari dulu yang namanya pemalsuan sejarah sudah terjadi. Sampai sampai Kitab Suci pun tidak luput dari perbuatan tercel model ini. Sebut saja Kitab Bible. Kitab ini penuh dengan pemalsuan sejaran. Sebagai misal apa yang disebutkan dalam Kitab Kejadian 2:17:
“Tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati."
Demikian pula pada Kitab yang sama pasal 3 ayat 3 dikatakan: “Tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman:
Jangan kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati."
Di kedua ayat ini Tuhan menyatakan bahwa bila Adam memakan buah larangan akan mati seketika. Firman ini dibantah oleh Ular (Syetan) yang mengatakan:
“Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: "Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.
" (Kejadian 3:4-5) Ternyata belakangan ketika Adam melakukan pelanggaran, yang benar adalah ucapan Ular; Adam dan Hawwa tidak mati. Perhatikan ayat ayat selanjutnya:
“Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya pun memakannya. Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat”.(Kejadian 3:6-7)
Orang yang berpikiran sehat pasti tidak akan percaya terhadap cerita Versi Perjanjian Lama ini. Betapa tidak, bagaimana mungkin Tuhan berdusta dan Syetan benar?. Nabi Sulaiman AS bahkan pernah menjadi korban pemalsuan sejaran ini. Gara-gara kelakuan para tukang sihir, selama berates tahun namanya enjadi hitam; ia dicatat sebagai Tukang Sihir Untunglah Allah SWT menurunkan firman-Nya meluruskan pemalsuan ini. (Al Baqarah:102)
Di tengah kaum Muslimin sepeninggal Rasulullah SAW kasus seperti ini banyak terjadi di antaranya dengan beredarnya Hadis Hadis palsu (Maudhu’). Ribuan ucapan, cerita dan laporan atas nama Rasulullah SAW dituliskan dan diriwayatkan secara turun temurun. Untunglah Allah SWT membangkitkan sejumlah Ulama yang memilikki rasa peduli untuk meneliti ulang informasi tersebut. Bangkitlah di sana Ibn Al Jauzi, As Suyuthi dan lainnya yang dengan berani mengungkapkan kepalsuan itu dan menyiarkannya di tengah publik.
Namun bukan berarti pamalsuan berakhir. Hingga hari ini pemalsuan terus berlangsung karena bagi sebagian orang memiliki nilai komoditi yang tidak kecil. Sebut saja nama daerah di Jakarta Pusat. Kawasan yang dinamakan dengan Paseban oleh sementara orang diklaim sebagai berasal dari kata Ba Syaiban, satu klan dari keturunan Arab. Padahal – sebagaimana dikatakan para ahli sejarah – kata Paseban berasal dari kata “Seba” yang berarti pertemuan dengan Raja. Ketika kata tersebut ditambah dengan awalan dan akhiran berubahlah menjadi “Pasebaan”. Selanjutnya seiring perjalan waktu orang mengucapkannya dengan yang lebih mudah: Paseban. Dinamakan Paseban karena memang dulu di tempat tersebut dilakukan pertemuan dengan Raja Matarm. Itu sebabnya tidak jauh Dari Paseban terdapat kawasan yang dinamakan Matraman, berasal dari kata Mataram atau Mataraman. (Lihat Gus Dur: Rahasia Kata Kata).
Yang paling mutakhir dari pemalsuan sejarah diduga adalah Kasus Mbah Priok. Peristiwa yang mengakbitakn banyak korban itu berawal dari buku tulisan orang yang menamakan dirinya Habib Muhammad bin Ahmad Al Haddad, Al Habib Muhammad bin Abdullah Alaydrus dan Al Habib Ali bin Abdurrahman Alaydrus yang berjudul Risalah Manaqib (Mbah Priok). Buku yang dicetak tanpa mencantumkan Penerbit dan tahun terbitan itu menceritakan yang intinya sebagai berikut:
1. Bahwa Mbah Priuk adalah Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad Al Husaini Asy Syafi’i sunni keturunan dari Sayyidina Quthbil Irsyad Wa Ghoutsil Ibad Al Imam Al Arif Billah al Habib Abdulloh bin Alwi al Haddad RA. Beliau lahir tahun 1727 di Palembang Sumatera Selatan dan meninggal dunia di atas kapal pada tahun 1756.
2. Bahwa Ia adalah seorang Ulama bahkan Waliyyullah penyebar Agama Islam di Betawi sebagaimana disebutkan dalam buku itu:
“Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad adalah seorang Wali Allah yang mengabdikan hidupnya hanya mensyi’arkan agama Islam di dalam menegakkan kalimat Tauhid dari tanah kelahirannya hingg sampai keluar daerah (pulau Sumatera, Jawa dan lain sebagainya).”
3. Bahwa nama tanjung Priok berasal dari peristiwa tersebut. Tulisan tersebut belakangan diketahui merupakan Pemalsuan Sejarah.
Kepalsuannya diketahui setelah Majlis Ulama Indonesia (MUI) bekerja sama dengan Ahli Sejarah Alwi Sahab dan berbagai pakar Sejarah serta keluarga Al Haddad sendiri dari Palembang. Dalam kesimpulan pembahasan mereka diketahui bahwa yang namanya habib Hasan bin Muhammad Al Haddad adalah cicit dari Habib Hamid Mufti Palembang yang wafat pada 19 Juli 1820. Bagaimana mungkin kalau Mbah buyutnya (bapaknya kakek) wafat tahun 1820 sementara cicitnya sudah lahir tahun 1756 ?. bagaimana bisa terjadi cicitnya lahir lebih dahulu dari buyutnya?. Selain itu pihak keluarga juga menyatakan bahwa Al Marhum bukanlah seorang Ulama apalagi Waliyullah penyebar islam d Betawi. Menurut wakil keluarga Al Haddad dari Pelmbang (wawancara tanggal 31 Mei 2010 di Jakarta) kepergian Al Haddad dari Palembang bukanlah berdakwah, melainkan berdagang karena ia memang seorang pedagang yang menjajakan dagangan milik Sayyid Syekh bin Agil Madihij.
Tentang penamaan tanjung Priok sendiri yang disebut-sebut berasal dari cerita Al Haddad dengan sejumlah dongengnya, cukup mengundang tawa pakar sejarah asli Betawi, Ridwan saidi. Ada dua alas an sekurang-kurangnya membuat Ridwan Saidi merasa geli mendengar cerita tersebut. Pertama, istilah “Mbah” itu tidak dikenal di masyarakat Betawi karena itu merupakan istilah Jawa.
Lalu bagaimana orang Betawi menisbatkan kata tersebut kepada tokoh mereka?.Kedua, masyarakat Betawi mengetahui benar bahwa nam tanjung Priok sudah ada jauh sebelum masa Al Haddad. Dalam karya tulisnya bahkan Ridwan Saidi sudah mencantumkan bahwa: “Nama Tanjung Priok dikaitkan dengan nama Aki Tirem, penghulu atau pemimpin daerah Warakas yang tersohor sebagai pembuat Priok. Sedang kata tanjung merujuk kepada kontur tanah yang menjorok ke laut (tanjung). Seperti diteliti oleh Kees Green memang banyak tempat di Jakarta merujuk namanya dari kontur tanah, misalnya Tanah Abang Bukit, Tegal Alur, Rawasari, Bojong Gede dan lain lain..” (Lihat buku “Kasus Mbah Priok” halaman 18-19).
Satu lagi yang baru saja terjadi. Di kawasan Cikini dikabarkan memancar air dari dasar tanah. Melihat kejadian ini sepontan seseorang menisbatkannya kepada “satu tokoh” yang kemudian diproklamirkan sebagai “Mbah Cikini”.
Lalu apa sebenarnya motif dari pemalsuan ini?. Walahu A’lam. Tetapi yang jelas, para penegak Hukum nampaknya berdiam seribu basa tak mau membela hak hak orang yang terluka bahkan terbunuh dalam kasus tanjung Priok berdarah tahun 2010 lalu. Mana mungkin ada sejumlah orang terluka dan terbunuh tidak ada pelakunya. Mengapa pula penulis buku sejarah palsu itu belum diminta pertanggung-jawaban?. Ataukah karena pemimpin negeri ini telah menetapkan Cerita dusta itu sebagai “Situs” yang dianggap fakta?.
Yang jelas, seharusnya kejadian ini menyadarkan kita akan perlunya mengkaji ulang sejumlah karya tulis sejarah terutama yang terdapat perbedaan. Karena Sejarah bukan Khilafiyah melainkan catatan sebuah fakta. Kasus eks pemakaman Dobo Tanjung Priok itu telah menimbulkan korban akibat informasi yang dibuat orang-orang tidak bertanggung jawab. Pengkeramatan bekas kuburan – karena memang sudah kosong – itu masih saja berjalan. Adakah manusia yang memperhatikannya ?. Hasbunallah.
Oleh : KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

badai pasti berlalu

 
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآَخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ (الحديد:20
Artinya: “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”  (Al Hadid: 20).
Dunia ibarat permainan belaka, mengasyikkan dan dapat membuat orang celaka. Banyak yang terlena menikmatinya, hanya sedikit yang sadar akan bahayanya. Sebesar apa pun biaya yang dikeluarkan dan semeriah apa pun sebuah pertunjukan, ia akan berkesudahan. Hendaklah engkau bertanya kepada diri; apa yang engkau hendak bawa pulang dari “pagelaran” itu? Ataukah hanya penyesalan karena hanya dana yang engkau habiskan? Berbahagialah orang yang “berdagang” di arena hiburan karena Saat permainan itu berakhir ia akan memperoleh keuntungan. Sayang sekali kebanyakan manusia memandang rendah pekerjaan ini dan menganggap rugi karena tak menikmati sajian yang ditampilkan para pemain di panggung itu. Nah, siapakah engkau di antara manusia yang keluar dari rumahnya itu? Tak ada yang melarangmu menonton dan menikmati pertunjukan itu karena memang panggung itu dibangun sebagai tontonan. Tetapi engkau harus ingat, itu bukan acaramu, itu bukan programmu. Engkau adalah hamba sahaya yang setiap saat dapat saja “dipanggil” majikanmu. Engkau tidak tahu kapan Dia meminta laporan hasil pekerjaanmu. Apakah yang engkau hujjahkan kepada Dia manakala engkau tak dapatmerampungkan tugasmu? Bagaimana pula jika engkau dianggap hamba sahaya yang melarikan diri dari Tuannya? Wahai diri yang lalai, sebagai hamba hendaklah engkau ingat:
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا عَبْدًا مَمْلُوكًا لَا يَقْدِرُ عَلَى شَيْءٍ وَمَنْ رَزَقْنَاهُ مِنَّا رِزْقًا حَسَنًا فَهُوَ يُنْفِقُ مِنْهُ سِرًّا وَجَهْرًا هَلْ يَسْتَوُونَ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ (النحل:75)
Artinya: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama? segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui” (An Nahl:75).
Perhatikan kalimat ”hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun..” dalam ayat ini. Itu ditujukan kepadamu. Kalimat ini mengisyaratkan kedudukanmu sebagai hamba sahaya. Hamba sahaya tak memiliki dirinya sendiri,tak berbuat sesuka dirinya sendiri, tak berbuat sesuai seleranya sendiri. Yang dilakukannya adalah yang diperintahkan tuannya dan yang diperbuatnya hanyalah yang dikehendaki tuannya. Kini periksalah kembali kelakuanmu itu; adakah telah sesuai dengan yang dikehendaki-Nya? Jika tidak, di manakah engkau dari ucapanmu: “Hanya kepada Engkau kami menghambakan diri”?. Jika engkau menoleh kiri dan kanan, di manakah ucapanmu: “Kuhadapkan wajahku kepada Dia yang menciptakan langit dan bumi” yang tidak kurang dari lima kali dalam sehari engkau katakan?. Dunia adalah perhiasan yang sedap dipandang mata, namun acap kali membuat buta. Benda-benda itu memang mahal harganya, namun tak patut mengorbankan semua isi rumahmu untuk mendapatkannya. Berlomba orang untuk meraih dan mengenakannya, padahal hanya badan muda yangdapat mendampingi keindahannya , sebab kala tua, betapa pun mahalnya perhiasan itu, tak memberi arti apa-apa. Lalu bagaiamana ketika engkau telah berada pula di alam baka? Tahukah engkau bahwa seindah indah pakaian kala itu adalah Taqwa?.
يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (الاعراف:26
Artinya: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa Itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Al A’raf:26).
Tak ada yang melarangmu menggunakan keindahan dunia. Tetapi dua hal seharusnya engkau ingat kala menginginkannya. Pertama, dapatkah engkau mensyukurinya. Dan yang kedua, adakah engkau tak akan lalai bila mengenakannya?. Jadi persiapkanlah keduanya sebelum engkau memperoleh dan memakainya.
Ya, dunia itu tak ubahnya pepohonan di pekarangan rumahmu. Dari benih yang tersembunyi lalu nampak dan tumbuh membesar, berbunga dan berbuah. Lambat laun daun-daunnya menguning yang disusul dengan kematian. Begitulah dengan dirimu wahai diri yang lalai. Ingatkah engkau ketika ditimang dan diayun, dituntun dan dibimbing untuk berjalan?. Kini engkau telah menjadi dewasa dan berharga di hadapan sesama. Tetapi waspadalah, ketika telah mencapai puncaknya, sesungguhnya perjalanan menurun ada di depan mata. Sebagaimana harta benda yang engkau miliki akan hancur, begitu pun dirimu tak berbeda darinya. Lalu apa alasanmu mencintainya?.
Sesungguhnya perumpamaan ini dibuat agar manusia lebih berusaha membekali diri dengan hal hal yang bermanfaat di akhiratnya karena kehidupan dunia ini hanyalah sementara. Juga agar mereka mampu mengendalikan dirinya dalam segala keadaan yang melingkupinya. Bila mendapat kesenangan tidak menjadi lalai dan bila mendapat kesusahan tidak berputus asa.
Sedih dan gembira, suka dan duka, tak ada yang selamanya. Sebaliknya, mereka yang diberi kemuliaan dapat berbagi dengan yang tak punya dan mereka yang dirundung kesedihan dapat menahan diri dari berbuat nista. Itulah sebabnya pada ayat-ayat berikut Allah berfirman:
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ . مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (الحديد:21- 23
Artinya: “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira (lupa daratan) terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Al Hadid: 21-23).
Seorang Ulama Sufi terkenal, Syekh Zainuddin Al Ma’bari Al Malibari, dalam kitabnya Hidayatul Adzkiya Ila Thariqil Auliya, mengingatkan kita dari cinta dunia ini:
وَمُحٍبُّ دُنْيًا قَائِلٌ اَيْنَ الطَّرِيْقُ * اَيْنَ الْخَلَاصُ كَمُسْكِرٍ شَرِبَ الطِّلَا
Si pencinta dunia selalu bertanya tanya, “
Di manakah jalan dan di manakah keselamatan?.
tak ubahnya seperti orang mabuk yang mereguk minuman keras”.
Dunia bagai minuman keras yang telah membuat mabuk para peminumnya. Para pemabuk itu tertawa-tawa, sedang orang yang sadar melihatnya sebagai orang gila. Banyak orang salah terka hingga berakhir dengan derita. Hasbunallah.
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

berdusta atas nama ulama


Berdusta adalah ciri khas orang munafik sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ » (رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Ciri orang munafik itu 3; bila berbicara berdusta, bila berjanji mengingkari dan bila dipercaya berkhianat” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Dusta yang paling besar dosanya adalah berdusta atas nama Allah sebagaimana dilakukan oleh Ahlul Kitab yang memalsukan Kitab Suci dan membuat karya tulis lalu menisbatkannya kepada Allah padahal Allah tak mengatakannya.
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ (البقرة:79
Artinya: “Maka celaka-besarlah orang-orang yang menulis Al-kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka celaka-besarlah mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan celaka-besarlah mereka, akibat apa yang mereka kerjakan” (Al Baqarah:79).
Berikutnya adalah dusta atas nama Rasulullah SAW sebagaimana disabdakannya:
عَنِ الْمُغِيرَةِ - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ » . (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidak sama seperti berdusta atas nama seseorang di antara kalian. Siapa yang berdusta atas namaku, hendaklah menyiapkan tempat duduknya di dalam neraka” (HR Al Bukhari dan Muslim).
Setelah itu tentu saja berdusta atas nama para Ulama yang merupakan Waratsatul Anbiya. Oleh karena itu janganlah kita berbuat dusta atas nama Ulama atau menisbatkan sesuatu yang Ulama itu tidak melakukannya. Akan tetapi di dunia ilmu dikenal sekelompok orang yang seringkali berdusta atas nama Ulama – bahkan Rasulullah SAW – demi kepentingan fahamnya.
Sebagai misal adalah pernyataan salah seorang di antara mereka:
حديث « الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا » لَا أَدْرِيْ عَنْ صِحَّتهِ ، وَالَّذِيْ أَظُنُّ أَنَّهُ ضَعِيْفٌ ، وَلَكِنْ عَلَى تَقْدِيْرِ صِحَّتِهِ فَلَيْسَ هَذَا مِنْ بَابِ السَّبِّ ، إِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ الْخَبْرِ وَأَنَّهُ لَا خَيْرَ فِيْهَا إِلَّا عَالِمٌ وَمُتَعَلِّمٌ ، أَوْ ذِكْرُ اللهِ …
Artinya: Hadis “Dunia itu terlaknat dan terlaknatlah yang ada di dalamnya”, saya tidak mengetahui keshahihannya. Saya mengira bahwa Hadis ini adalah Hadis Dha’if. Tetapi kalaupun ia Shahih bukanlah berarti mencela, melainkan informasi dan bahwasanya tidak ada kebaikan dalam dunia kecuali orang alim, orang yang belajar atau Dzikrullah… ” (Lihat fatawa Syekh Utsaimin Juz 1 halaman 198. Lihat pula buku Syubhat Wa Isykalat haula Ba’dhil Ahadits Wal Ayat yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Memahami Ayat-Ayat dan Hadis-Hadis Kontradiksi halaman 113).
Jadi menurut “dugaan” Syekh pemberi fatwa ini, Hadis tersebut adalah “Dha’if”. Itu berarti bahwa ia menolak penisbatan Hadis tersebut kepada Rasulullah SAW. Padahal para Ulama telah menetapkan bahwa Hadis tersebut adalah Shahih. Di antara yang menetapkannya Shahih adalah Al Hafizh Al Imam As Suyuthi sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Al Jami’ ash Shaghir. Demikian pula Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani menetapkannya sebagai hadis Hasan sebagaimana dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir Juz 1 halaman 642 pada pembahasan Hadis nomor 3414). Penetapan “Dha’if” terhadap Hadis Shahih secara tidak langsung telah mendustakan Rasulullah SAW atau berdusta atas nama Rasulullah SAW. Lain halnya bila ia meneliti dan mentakhrij terlebih dahulu atau mengikuti Ulama terdahulu. Tetapi di sini ia mengakui “tidak tahu”. Lantas mengapa ia berani mengatakan “Saya mengira bahwa Hadis ini adalah Hadis Dha’if” ?. Alangkah baiknya jika ia menahan diri atau berhenti pada kalimat “Saya tidak tahu”, niscaya selamatlah ia.
Ada pula seorang tokoh yang menetapkan wajibnya kaum wanita menutup wajahnya. Di antara argument yang dikemukakan adalah – katanya – sesuai kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf. Perhatikan ucapannya:
وَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ السَّلَفِ عَلَى وُجُوْبِ سَتْرُ الْمَرْأَةِ الْمُسْلِمَةِ لِوَجْهِهَا وَأَنّهُ عَوْرَةٌ يَجِبُ عَلَيْهَا سَتْرُهُ إِلَّا مِنْ ذِيْ مَحْرَمٍ . (حراسة الحجاب ص 40)
Artinya: Para Ulama Salaf dan Khalaf telah sepakat atas wajibnya wanita Muslimah menutup wajahnya dan bahwa wajah itu adalah aurat yang wajib ditutupinya kecuali di hadapan mahramnya (Lihat Harasatul Hijab halaman 40 atau fatawa Syekh Bin Baz Juz 5 halaman 228).
Pernyataan ini adalah dusta atas nama Ulama. Kedustaannya itu diungkapkan Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani sebagaimana disebutkan dalam kitabnya Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah ketika menanggapi pernyataan Syekh Tuwaijiri yang mengatakan seperti ucapan Bin Baz:
ادَّعَى الشَّيْخُ التُّوَيْجِرِيُّ الْاِجْمَاعَ عَلَى اَنّ وَجْهَ الْمَرْأَةِ عَوْرَةٌ وَقَلَّدَهُ فِيْ ذَلِكَ كَثِيْرٌ مِمَّنْ لَا عِلْمَ عِنْدَهُ وَفِيْهِمْ الدَّكَاتِرَةُ وَهِيَ دَعْوَى بَاطِلَةٌ لَمْ يَسْبِقْهُ اَحَدٌ اِلَيْهَا, وَكُتُبُ الْحَنَابشلَةِ الَّتِيْ تَفَقَّهَ عَلَيْهَا – فَضْلًا عَنْ غَيْرِهَا – كَافِيَةٌ لِلدَّلَالَةِ عَلَى بُطْلَانِهَا. وَقَدْ ذَكَرءتُ هُنَاكَ فِي "الرَّدِّ" كَثِيْرًا مِنْ عِبَارَاتِهِمْ مِثْلَ عِبَارَةِ هُبَيْرَةَ الْحَنْبَلِِِّي فِيْ كِتَابِهِ الْاِفْصَاحِ وَفِيْهَا: اِنَّ مَذْهَبَ الْاَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ اَنَّهُ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ: قَالَ: وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنِ الْاِمَامِ اَحمَدَ. (جلباب المرأة المسلمة ص 7)
Artinya: Syekh At-Tuwaijiri mengklaim adanya Ijma’ (Kesepakatan Ulama) yang mengatakan bahwa wajah wanita itu aurat dan banyak orang-orang tak berilmu yang taklid kepadanya bahkan di antaranya beberapa orang Doktor. Klaim tersebut adalah batil, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya. Kitab-kitab Madzhab Hanbali yang ia bertafaqquh padanya – terlebih yang lainnya - cukup menjadi dalil akan kebatilannya itu. Aku telah mengemukakan banyak pernyataan para Ulama dalam kitab “Ar Radd Al Mufhim”. Misalnya pernyataan Hubairah Al-Hanbali dalam kitabnya “Al Ifshash”. Dalam pernyataannya itu disebutkan bahwa menurut tiga Imam Madzhab (Abu hanifah, Malik dan Syafi’I, pen) wajah itu bukan aurat. Ia berkata: “Dan itu merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad” (Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah karya Al Albani halaman 7).
Albani benar, pernyataan bahwa menutup wajah wanita merupakan Ijma’ ulama adalah dusta. Yang benar adalah justru sebaliknya; mayoritas Ulama menetapkan wajah wanita bukan aurat. Bagi yang hendak mengetahui hal ini silahkan merujuk kitab-kitab Fiqh. Dusta bukan hanya melanda para penulis Timur-Tengah melainkan juga penulis lokal Indonesia. Sebagai misal dapat kita kemukakan sebuah buku dengan judul “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham”.
Dalam buku tersebut – untuk menyalahkan Ustadz Arifin Ilham – sang penulis menyebutkan antara lain:
“Sekedar untuk menggambarkan bahwa saya sungguh-sungguh dalam melakukan penelitian, saya tidak mendapatkan keterangan Al Imam Al Qurtuby seperti yang dinukil dalam HZB (Hikmah Zikir Berjama’ah karya M. Arifin Ilham dan Debby Nasution, pen) sesudah nukilan ayat ini. Pada jilid dan halaman berapa?. Karena memang dalam HZB tidak disebutkan nomornya. Untuk lebih jelasnya, rujukan saya adalah Tafsir Al Qurtuby yang berjudul Al jami’ Li Ahkam Al Qur’an, Darusy Syi’by Cairo, cet. 2, 1372 H, dalam CD Maktabatut-Tafsir Wa ‘Ulumul Qur’an. Bahkan kelimat seperti itu juga tidak saya dapatkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya” (Lihat “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham” tulisan Abu Amsaka dengan Murja’ah Yazid bin Abdul Qadir Jawas dan Abdul Hakim bin Amir Abdat halaman 75).
Perlu kami kemukakan di sini bahwa tulisan Arifin Ilham yang disalahkan itu adalah: “Al Imam Al Qurtubi menjelaskan ayat ini dalam tafsirnya, beliau berkata:
وَجَعَلَ تَعَالَى ذَلِكَ دُوْنَ حَدٍّ لِسُهُوْلَتِهِ عَلَى الْعَبْدِ. وَلِعَظْمِ الْاَجْرِ فِيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَمْ يُعْذَرْ أَحَدٌ فِيْ تَرْكِ ذِكْرِ اللهِ إِلَّا مَنْ غُلِبَ عَقْلُهُ.
Artinya: “Allah menjadikan (memerintahkan) berdzikir itu tanpa batas karena sangat mudahnya – untuk dilakukan – setiap orang, dan juga karena besarnya ganjaran yang terdapat di dalamnya. Ibnu Abbas mengatakan, bahwa tidak diberi alasan bagi seorang pun untuk meninggalkan berdzikir pada Allah kecuali orang yang kehilangan akal” (Lihat Hikmah Zikir Berjama’ah karya M. Arifin Ilham dan Debby Nasution halaman 4).
Setelah kami melakukan pengecekan ternyata M. Arifin Ilham dan Debby Nasution benar; apa yang mereka kutip itu terdapat dalam Tafsir Al Qurtubi Juz 14 halaman 197 pada terbitan Dar El Fikr tahun 1407 H / 1987 M). Sebaliknya Sang penulis Buku “Koreksi Dzikir Jama’ah M. Arifin Ilham” itu telah berdusta atas nama Al Imam Al Qurtubi. Dari sini hendaklah kita berhati-hati dengan buku bacaan baru, baik yang terjemahan dari buku-buku Timur Tengah maupun buku-buku lokal. Bacalah Al Qur’an, Hadis dan karya karya Ulama terdahulu. Hasbunallah.
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

ini kesesatan nama nya


Satu lagi Ulama (?) yang menyerang Ustadz Muhammad Arifin Ilham. Lewat buku kecil berjudul “APAKAH DZIKIR ARIFIN ILHAM BID’AH DALAM ISLAM?”, seorang yang menyebut dirinya Abu Arafat alias Hassanoeddin Bandung menyerang satu persatu amaliah yang biasa dilakukan oleh pimpinan Majelis Adz Dzikra itu. Dari awwal sampai akhir, buku yang diberi kata pengantar oleh DR HM ABDURRAHMAN itu isinya hanya menyalahkan. Tapi sangat disayangkan justru buku tersebut banyak mengajarkan kesalahan. Sebagai misal adalah tulisannya ketika membantah kesunnahan mendawamkan Wudhu:
 
Jadi sekali lagi secara Syar’i, bahwa orang yang berwudhu sebelum saatnya tiba sama dengan orang yang shalat sebelum saatnya tiba” (halaman 13).
 
Pernyataan ini menyesatkan karena beberapa alasan: Pertama, Wudu disyari’atkan bukan hanya ketika hendak Shalat. Para Ulama Madzhab 4 (Abu Hanifah, Malik, Syafu’i dan Imam Ahmad bin Hanbal) sepakat mengatakan bahwa orang yang hendak memegang Mushaf Al Qur’an wajib wudhu. Dalil mereka adalah ayat Al Qur’an:
 
إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ . فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ . لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (الواقعة:77-79)
 
Artinya: “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (Al Waqi’ah:77-79).
 
Ini diperkuat oleh sebuah Hadis:
 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ (رواه مالك والطبراني والحاكم والدارقطني)
 
Artinya: “Bahwasanya pada surat yang dikirimkan Rasulullah SAW kepada Amru bin Hazm ada tulisan: “Hendaklah jangan menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci” (HR malik, Ath Thabarani, Al Hakim dan Ad Daraqutni).
 
Komisi fatwa Kerajaan Keluarga Sa’ud Lajnah Da’imah menfatwakan:
 
إن من أراد مس المصحف من المسلمين فعليه أن يتطهر من الحدث الأصغر والأكبر.والحدث الأصغر: ما أوجب وضوءًا، والحدث الاكبر ما أوجب غسلًا؛ لعموم قوله تعالى: { لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ } ولما جاء في كتاب عمرو بن حزم : « أن لا يمس القرآن إلا طاهر » ، وأما قراءته غيبًا فيجوز ممن ليس عليه حدث أكبر، فالجنب -مثلًا- لا يقرأ القرآن لا غيبًا ولا نظرًا.
 
Artinya: “Sesungguhnya siapa saja orang Islam yang hendak menyentuh Mushaf Al Qur’an hendaklah bersuci dari Hadas kecil dan Hadas besar. Hadas kecil adalah segala sesuatu yang mewajibkan Wudhu dan Hadas besar adalah segala yang mewajibkan mandi. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah, “tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”. Dan berdasarkan yang terdapat dalam surat Amru bin Hazm, “Hendaklah jangan menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”. Adapun membacanya dengan hafalam (tanpa memegang mushaf, pen), maka diperbolehkan bagi selain yang berhadas besar. Oleh karena itu orang Junub – misalnya – tidak dibenarkan membaca Al Qur’an baik dengan hafalan maupun dengan memegang Mushaf” (Fatawa Lajnah Da’imah nomor 2217).
 
Rasulullah SAW juga menganjurkan orang yang berjima’ untuk berwudu manakala hendak melakukannya lagi. Dalam sebuah Hadis diriwayatkan:
 
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا غَشِىَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يَعُودَ فَلْيَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ». (رواه احمد)
 
Artinya: “Apabila seseorang di antara kamu bersetubuh dengan isterinya kemudian hendak mengulanginya lagi, hendaklah ia berwudhu dengan wudhu sebagaimana ketika ia hendak Shalat” (HR Ahmad).
 
Beliau juga berwudhu ketika hendak tidur setelah berjima’. Dalam sebuah Hadis dikatakan:
 
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا كَانَ جُنُباً وَأَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ وَكَانَ يَقُولُ « مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنَامَ وَهُوَ جُنُبٌ فَلْيَتَوَضَّأْ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ». (رواه احمد)
 
Artinya: Aisyah berkata: Rasulullah SAW itu apabila hendak tidur dalam keadaan Junub berwudu seperti wudu untuk Shalat sebelum tidurnya. Beliau bersabda: “Barangsiapa hendak tidur dalam keadaan junub, hendaklah berwudu sebagaimana wudunya untuk shalat” (HR Ahmad). Ini saja rasanya sudah cukup.
 
Nampaklah bahwa “Fatwa” pemulis buku “APAKAH DZIKIR ARIFIN ILHAM BID’AH DALAM ISLAM?” telah melakukan kesesatan yang nyata. Pada halaman berikutnya dalam buku tersebut dituliskan: “Atau apakah anda suka shalat dhuha berjama’ah? Padahal nabi tidak mencontohkannya? Jika anda nekad melaksanakannya, bukan pahala yang akan anda terima, melainkan kesesatan yang akan anda dapatkan, dan itu bukan kata saya tapi kata Nabi…” (Lihat“APAKAH DZIKIR ARIFIN ILHAM BID’AH DALAM ISLAM?” halaman 47).
 
Jadi kata penulis buku tersebut yang namanya Shalat Dhuha berjama’ah adalah bid’ah dan kesesatan. “fatwa” penulis buku tersebut dapat kita bandingkan dengan Hadis berikut:
 
الله عليه وسلم - يَقُولُ كُنْتُ أُصَلِّى لِقَوْمِى بِبَنِى سَالِمٍ ، وَكَانَ يَحُولُ بَيْنِى وَبَيْنَهُمْ وَادٍ إِذَا جَاءَتِ الأَمْطَارُ فَيَشُقُّ عَلَىَّ اجْتِيَازُهُ قِبَلَ مَسْجِدِهِمْ ، فَجِئْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقُلْتُ لَهُ إِنِّى أَنْكَرْتُ بَصَرِى ، وَإِنَّ الْوَادِىَ الَّذِى بَيْنِى وَبَيْنَ قَوْمِى يَسِيلُ إِذَا جَاءَتِ الأَمْطَارُ فَيَشُقُّ عَلَىَّ اجْتِيَازُهُ ، فَوَدِدْتُ أَنَّكَ تَأْتِى فَتُصَلِّى مِنْ بَيْتِى مَكَانًا أَتَّخِذُهُ مُصَلًّى . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « سَأَفْعَلُ » . فَغَدَا عَلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَأَبُو بَكْرٍ - رضى الله عنه - بَعْدَ مَا اشْتَدَّ النَّهَارُ فَاسْتَأْذَنَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَأَذِنْتُ لَهُ فَلَمْ يَجْلِسْ حَتَّى قَالَ « أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّىَ مِنْ بَيْتِكَ » . فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى أُحِبُّ أَنْ أُصَلِّىَ فِيهِ ، فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَكَبَّرَ وَصَفَفْنَا وَرَاءَهُ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ سَلَّمَ وَسَلَّمْنَا حِينَ سَلَّمَ ، فَحَبَسْتُهُ عَلَى خَزِيرٍ يُصْنَعُ لَهُ فَسَمِعَ أَهْلُ الدَّارِ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِى بَيْتِى فَثَابَ رِجَالٌ مِنْهُمْ حَتَّى كَثُرَ الرِّجَالُ فِى الْبَيْتِ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ مَا فَعَلَ مَالِكٌ لاَ أَرَاهُ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ ذَاكَ مُنَافِقٌ لاَ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « لاَ تَقُلْ ذَاكَ أَلاَ تَرَاهُ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ .يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ » . فَقَالَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . أَمَّا نَحْنُ فَوَاللَّهِ لاَ نَرَى وُدَّهُ وَلاَ حَدِيثَهُ إِلاَّ إِلَى الْمُنَافِقِينَ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ . يَبْتَغِى بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ » (رواه احمدو البخاري والدار قطني)
 
Artinya: “Artinya: “Sesungguhnya Itban bin Malik, salah seorang dari shahabat Nabi SAW dari golongan Anshar yang mengikuti perang Badar, datang kepada Rasulullah lalu berkata: “Sesungguhnya aku telah mengingkari penglihatanku (tak dapat melihat) dan aku shalat untuk kaumku. Apabila turun hujan, lembah yang ada antara rumahku dan mereka digenangi air hingga aku tak dapat datang ke msjid mengimami mereka. Aku ingin kiranya engkau datang kepadaku dan shalat di rumahku agar aku jadikan ia Mushala”. Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Akan kulakukan, Insya Allah”. Itban berkata: “Maka Rasulullah datang bersama Abu Bakar ketika matahari telah mulai meninggi. Beliau meminta izin dan aku pun mengizinkannya. Beliau tidak duduk ketika masuk rumah lalu bertanya: “Di manakah yang engkau kehendaki aku shalat di rumahmu?”. Itban berkata: “Aku pun menunjuk ke satu bagian dari rumahkku dan Rasulullah SAW berdiri lalu takbiratul Ihram. Kami berdiri dan membuat Shaf di belakang beliau, sedang beliau shalat dua raka’at lalu salam dan kami pun mengikuti salam pula”. Itban berkata lagi: “Kami lalu menahan beliau untuk hidangan Khazirah yang kami buat. Maka sejumlah orang dari kaum tersebut mendatangi rumah Itban dan mereka berkumpul. Salah seorang di antara mereka berkata: “Apakah yang telah diperbuat si Malik?”. Sebagian orang mengatakan: “Dia adalah orang munafik yang tidak mencinttai Allah dan Rasul-Nya”. Rasulullah SAW lalu bersabda: “Jangan berkata begitu, tidakkah engkau lihat dia telah mengucapkan Tidak ada Tuhan selain Allah semata-mata mengharap keridhaan Allah ?”. Orang tadi berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. hanya saja kami melihat muka dan kesetiaannya condong kepada orang-orang munafik”. Rasulullah lalu bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan kepada Neraka orang yang mengucapkan Tidak ada Tuhan selain Allah karena mengharapkan ridhanya Allah”. (Lihat Shahih Al Bukhari Bab Shalatun Nawafili Jama’atan pada Juz 1 halaman 205).
 
Dari pembuatan judul “Bab Shalat Dhuha di tempat” dan “Shalat Sunnat berjama’ah” untuk satu Hadis, mengisyaratkan bahwa Al Bukhari menetapkan diperbolehkan atau disyari’atkannya Shalat Dhuha berjama’ah karena sebagaimana diketahui secara umum bahwa ijtihad atau fatwa Al Bukhari terdapat pada judul judul yang terdapat dalam kitabnya. Sampai di sini mungkin saja ada yang bertanya; shalat apakah yang dilakukan Rasulullah SAW secara berjama’ah di rumah Itban bin Malik itu ? Sebenarnya pada pernyataan Hadis di atas telah disebutkan bahwa Rasulullah SAW menunaikan Shalat tersebut pada saat matahari telah naik. Demikian juga Al Bukhar telah tegas menyebutkan nama Shalatnya. Akan tetapi untuk memastikannya baiklah kita kutip pernyataan Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqallani Asy Syafi’i Rahimahullah :
 
قَالَ اِبْن رَشِيد : هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ ذَلِكَ كَانَ كَالْمُتَعَارَفِ عِنْدَهُمْ وَإِلَّا فَصَلَاته صَلَّى اَللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ اَلْأَنْصَارِيّ وَإِنْ كَانَتْ فِي وَقْتِ صَلَاةِ اَلضُّحَى لَا يَلْزَمُ نِسْبَتُهَا لِصَلَاةِ اَلضُّحَى . قُلْت : إِلَّا أَنَّا قَدَّمْنَا أَنَّ اَلْقِصَّةَ لِعِتْبَانَ بْن مَالِك ، وَقَدْ تَقَدَّمَ فِي صَدْر اَلْبَاب أَنَّ عِتْبَان سَمَّاهَا صَلَاة اَلضُّحَى فَاسْتَقَامَ مُرَاد اَلْمُصَنِّفِ ، وَتَقْيِيده ذَلِكَ بِالْحَضَرِ ظَاهِر لِكَوْنِهِ صَلَّى فِي بَيْتِهِ.
 
Artinya: Ibnu Rasyid berkata: “Pernyataan ini menunjukkan bahwa masalah tersebut itu telah dikenal di tengah mereka. Jika tidak demikian, maka shalat Rasulullah SAW di rumah seorang sahabat dari golongan Anshar itu, meskipun dilakukan pada waktu dhuha, tidak dinamakan shalat dhuha. Menurut pendapatku (Ibnu Hajar): Telah kami jelaskan bahwa kisah tersebut berkenaan dengahn Itban bin Malik. Dan telah berlalu pernyataan bahwa Itban sendiri menamakannya dengan Shalat Dhuha. Dengan ini telah tercapai apa yang dituju oleh Imam Bukhari. Sedangkan pembatasan yang dilakukan Al Bukhari dengan kata “di tempat”, sudah jelas karena memang Nabi SAW melakukannya di rumah Itban. (Lihat Fath Al Bari Juz 3 halaman 376).
 
Al Imam Ahmad dan Ad Daraqutni mengemukakan Hadis tersebut secara ringkas dan langsung menggunakan kata “Shalat Dhuha”.
 
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى فِى بَيْتِهِ سُبْحَةَ الضُّحَى فَقَامُوا وَرَاءَهُ فَصَلَّوْا بِصَلاَتِهِ.
(رواه الامام احمد والدارقطني)
 
Artinya: Dari Itban Bin Malik (ia mengatakan) bahwa Rasulullah SAW Shalat Dhuha di rumahnya maka orang-orang pun berdiri dan shalat bersama beliau di belakangnya (HR Ahmad dan Ad Daraqutni. Lihat Musnad Ahmad pada Juz 4 halaman 43-44 dan Sunan Ad Daraqutni Juz 2 halaman 57) Bahkan Ad Daraqutni memberi judul bagi Hadis tersebut dengan:
 
صلاة الضحى في جماعة
(Shalat Dhuha dengan berjama’ah)
 
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa Shalat Dhuha berjama’ah itu diperbolehkan bahkan dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan para sahabatnya. Dan itu artinya, “Fatwa” penulis buku “APAKAH DZIKIR ARIFIN ILHAM BID’AH DALAM ISLAM?” adalah menyesatkan karena telah berdusta atas nama Rasulullah SAW. Dalam Bahasa Agama apabila menetapkan yang tidak didasarkan kepada dalil atau menegasikan yang ada dalilnya disebut dengan Bid’ah. Dengan kata lain menuduh bid’ah terhadap sebuah amaliah yang sebenarnya Sunnah adalah bid’ah Dhalalah. Hasbunallah.
 
 
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

terjemah Tafsiriah dalam timbangan


 
 
 
 
 
 
 
 
Beberapa waktu yang lalu disampaikan kepada kami sebuah buku susunan sahabat kami Al Ustadz Drs. Muhammad Thalib pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Yang satu berjudul Koreksi Tarjamah Harfiyah Al Qur’an Kemenag RI dan yang satunya lagi berjudul Al Qur’anul Karim Tarjamah Tafsiriyah. Buku pertama berisi “Kritikan” terhadap Al Qur’anul Karim terjemahan Departemen Agama RI karena dianggap merupakan terjemahan yang salah. Buku kedua merupakan Terjemahan Al Qur’an versi MMI.
Telah diketahui secara umum bahwa pengalih-bahasa-an Al Qur’an harus mengikuti aslinya. Terjemahan tersebut tidak dapat mentransfer seluruh pesannya melainkan hanya sekedar yang dapat dilakukan, karena betapa pun di dunia ini tidak ada satu pun buku terjemahan yang dapat mengalihkan secara sempurna kandungan yang terdapat pada aslinya. Hal ini mengingat setiap bahasa memiliki karakter, tata bahasa dan kaidah tersendiri yang tidak ada pada bahasa lainnya. Untuk ini dibutuhkan buku penjelas yang tak lain dari Tafsir. Hanya saja guna memberi kesempatan orang-orang yang tidak mengerti bahasa aslinya, terjemahan harfiyah atau lafzhiyah (tekstual) cukup banyak memberikan manfaat.
 Pada intinya, terjemahan lafziyah baik dilakukan, dengan catatan bila ingin memahami lebih dalam atau ketika mendapatkan kesulitan, hendaknya dikonsultasikan dengan para ahlinya. Adapun Terjemah Tafsiriyah sebagaimana yang dilakukan MMI menurut kami justru kurang baik, antara lain, karena:
 1. Menghilangkan sifat relatifisme Al Qur’an, yaitu perbedaan pendapat para Ulama dalam penafsiran.
 Sebagai misal adalah penafsiran Majelis Mujahidin tentang ayat:
 وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلَّا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا (النساء:159)
 Dalam terjemahan Departemen Agama diartikan dengan:
 Artinya: “Tidak ada seorang pun dari ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka”. (An Nisa:159)
 Para Ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud oleh ayat ini. Sebagian Ulama mengatakan bahwa yang dituju oleh ayat di atas adalah bahwa “Pada saat turunnya Nabi Isa AS ke dunia nanti menjelang Hari Kiamat, seluruh penganut Yahudi maupun Nasrani akan beriman kepadanya dengan keimanan yang benar. Jadi maksud dari kata “Kematiannya” adalah “Kematian Nabi Isa AS”. Ini dipegangi oleh Mufassirin seperti Ath Thabari dan Ibnu Katsir.
 Pendapat lain mengatakan bahwa makna dari ayat ini adalah “Tidak ada seorang pun dari Ahlul kitab kecuali akan menyatakan keimanan kepada Nabi Isa AS saat si Ahlul Kitab itu akan wafat”. Jadi yang dimaksud dengan “kematiannya” adalah “Kematian Ahlul Kitab”. Dikatakan manakala seorang penganut Ahlul Kitab baik Yahudi maupun Nasrani mendekati ajalnya, akan didatangi Malaikat yang mengatakan kesalahan keimanan mereka tentang Nabi Isa AS. Pada saat itulah ia akan beriman dengan benar kepada Nabi Isa AS; orang Yahudi tidak menuduhnya anak Zina dan orang Nasrani pun tidak menganggapnya Tuhan. Ini antara lain dianut oleh Al Imam Al Baidhawi, Al Imam Asy Syaukani, As Sayyid Muhammad Rasyid Ridho, Syekh Muhammad Abduh. (Tafsir Al Manar Juz dan Syekh Ahmad Musthafa Al Maraghi (Tafsir Al Maraghi Juz 2 halaman 242)
 Kedua pendapat ini didasarkan kepada apa yang dapat mereka pahami dari Al Qur’an sesuai teksnya. Setiap orang berhak untuk menentukan pilihan mana yang diyakininya. Oleh karena itu, adalah cukup bijaksana ketika Tim Departemen Agama mencantumkan catatan di bawah ayat ini (catatan kaki nomor 380):
  “Tiap-tiap orang Yahudi dan Nasrani akan beriman kepada Isa sebelum wafatnya, bahwa dia adalah Rasulullah, bukan anak Allah. sebagian mufassirin berpendapat bahwa mereka mengimani hal itu sebelum wafat”.
 Sebagaimana dapat dilihat, penterjemahan yang dilakukan Departemen Agama telah menunaikan hak Al Qur’an dengan menterjemahkan apa adanya, sekaligus hak para Mufassirin yang berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Sedangkan MMI menterjemahkannya dengan:
 “Setiap orang Yahudi dan Nasrani kelak benar-benar akan beriman kepada Isa ketika Isa turun kembali ke dunia dan sebelum Isa wafat. Pada hari kiamat Isa menjadi saksi atas keimanan mereka”.
 Dengan terjemahan ini MMI telah menambah kata “ketika Isa turun kembali ke dunia”. Padahal kata tersebut tidak ada dalam ayat dan merupakan penafsiran satu versi. Terjemahan tambahan ini telah “mematikan” pendapat Ulama yang mengatakan bahwa makna “Qabla Mautihi ” adalah “Sebelum Kematian Ahlul Kitab” sebagaimana kami jelaskan di atas, sekaligus menghilangkan jejak adanya pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Isa tidak akan turun kembali ke dunia, padahal itu pun didapat dari pemahaman terhadap teks ayat dan tidak sedikit Ulama besar yang berpendapat demikian. Terjemahan model MMI akan memicu perasaan benar sendiri yang berakhir pada penindasan pemikiran kelompok lain. Dengan demikian terjemahan Departemen Agama dan yang semisalnya seperti terjemahan Prof. DR. Hasby Ash Shiddieqy, Drs. M. Rifa’i, A. Hassan dan lainnya yang selama ini beredar, sudah benar dan lebih baik.
2. Mudah terjatuh dalam pendapat yang salah. Firman Allah SWT:
 إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (البقرة:62)
 Departemen Agama menterjemahkan ayat ini dengan:
 “Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (Al Baqarah: 62)
 Adapun MMI menterjemahkannya dengan:
 “Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang orang Shabi’in, lalu mereka beriman kepada Muhammad, mengesakan Allah dan beriman kepada hari akhirat, serta melaksanakan amal-amal shalih yang diajarkan Islam, mereka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka. Mereka tidak akan merasa takut menghadapi hari akhirat dan tidak akan kehilangan kesenangan dunia”. (Al Baqarah: 62).
 Kalimat “Innalladzina amanu” yang oleh Departemen Agama dan seluruh penterjemah lain diartikan dengan “Sesungguhnya orang-orang mukmin” atau “Sesungguhnya orang-orang yang beriman” oleh MMI diterjemahkan dengan “Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad”. Benarkah yang dimaksud dengan “Orang-Orang beriman” pada ayat ini maksudnya demikian? Baiklah kita kutipkan pernyataan Ath Thabari:
 أما"الذين آمنوا"، فهم المصدقون رسول الله فيما أتاهم به من الحق من عند الله، وإيمانهم بذلك، تصديقهم به - على ما قد بيناه فيما مضى من كتابنا هذا.
 Artinya: Adapun yang dimaksud dengan “Alladzina amanu”, mereka itu adalah orang-orang yang membenarkan Rasulullah SAW berkenaan dengan kebenaran yang dibawa kepada mereka dari sisi Allah dan keimanan mereka terhadap hal itu, mereka membenarkan beliau sebagaimana telah kami jelaskan di permulaan kitab ini. (Tafsir Jami’ul Bayan karya Ath Thabari Juz 1 halaman 453. Lihat pula Tafsir Al Munir karya Wahbah Zuhaili pada Juz 1 halaman 178 dan Tafsir Al Maraghi Juz 1 halaman 77).
 Al Imam Asy Syaukani menulis dalam Fathul Qadir:
 والأولى أن يقال إن المراد الذين صدّقوا النبي صلى الله عليه وسلم ، وصاروا من جملة أتباعه ، وكأنه سبحانه أراد أن يبين أن حال هذه الملة الإسلامية وحال من قبلها من سائر الملل يرجع إلى شيء واحد ، وهو : أن من آمن منهم بالله ، واليوم الآخر ، وعمل صالحاً استحق ما ذكره الله من الأجر ، ومن فاته ذلك فاته الخير كله ، والأجر دِقُّه وجِلَّه .
 Artinya: Yang paling baik adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Alladzina amanu” adalah orang-orang yang percaya kepada Nabi Muhammad SAW dan menjadi ummatnya. Seakan-akan Allah SWT hendak menjelaskan bahwa keadaan ummat Islam ini dan ummat-ummat sebelumnya kembali kepada satu keadaan yang sama, yaitu: Siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh, maka ia layak mendapatkan pahala yang disebutkan Allah. Dan siapa yang absen dari melakukan itu, tidak akan mendapatkan semua pahala tadi baik besar maupun kecil” (Fathul Qadir, Juz 1 halaman 204).
 Syekh Muhammad Rasyid Ridho dalam Al Manar mengatakan:
 فقوله تعالى (ان الذين امنوا) مراد به المسلمون الذين اتبعوا محمدا صلى الله عليه وسلم والذين سيتبعونه الى يوم القيامة وكانوا يسمون المؤمنين والذين امنوا.
 Artinya: Maka yang dimaksud oleh firman Allah Ta’ala (Alladzina amanu) adalah orang-orang Islam yang mengikuti Muhammad SAW serta orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Mereka dinamakan dengan “Al Mu’minun” dan “Alladzina Amanu”. (Tafsir Al Manar, Juz 1 halaman 335) Jadi yang dimaksud dengan “Orang-Orang Beriman” dalam ayat ini adalah Ummat Muhammad SAW, bukan ummat terdahulu sebagaimana dikatakan MMI.
 Lantas dari manakah MMI menvonis bahwa yang dituju dengan “Alladzina Amanu” adalah “Orang-orang yang beriman kepada para nabi sebelum Muhammad”? Andakata saja MMI membiarkan terjemahan harfiyah atau lafziyah sebagaimana dilakukan Departemen Agama dan para Ulama tentulah lebih selamat karena tidak jatuh dalam “salah pasang”. Namun betapa pun saudara kami Al Ustadz Muhammad Thalib telah berbuat yang terbaik menurut keyakinannya. Kita harus menghargainya sebagai sebuah upaya mulia menyelamatkan Al Qur’an dari hal yang tidak diinginkan. Semoga tulisan ini menjadi wujud kasih-sayang kami terhadap saudara seiman, betapa pun yang nampak adalah perbedaan.
Wallahu A’lam
 KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA

Qiyamul lail

Perintah bangun malam terdapat dua bentuk dalam Al Qur’an; perintah khusus dan perintah umum. Perintah khusus terdapat pada ayat:
 
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (الاسراء:79)
 
Artinya: “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajud-lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al Isra:79)
 
Perintah umum antara lain terdapat pada ayat:
 
إِنَّمَا يُؤْمِنُ بِآَيَاتِنَا الَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِهَا خَرُّوا سُجَّدًا وَسَبَّحُوا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُونَ (15) تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (السجدة:16)
 
Artinya: “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya dan lagi pula mereka tidaklah sombong. Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan”. (As Sajadah: 15-16)
 
Sebagaimana terlihat pada ayat khusus, perintah Tahajjud menggunakan kalimat “perintah tegas” yang berkekuatan wajib, sedangkan pada ayat umum digunakan kalimat “perintah ringan” berupa pujian bagi pelakunya, yang berkekuatan Sunnah. Hal ini memiliki 2 isyarat. Pertama bahwa amaliyah tersebut sangat berat. Kedua, amaliah tersebut sangat istimewa. Bagi yang mampu melakukannya, memiliki jarak yang dekat dengan si pemilik perintah khusus.
 
 
AMALIAH QIYAMULLAIL
 
Ibadah malam disebut Qiyamullail (Qiyamu Ramadhan jika pada bulan Ramadhan), Tahajjud (Bangun tidur), Witir (Ganjil). Ada 3 (tiga) amaliah yang baik dilakukan di malam hari; shalat, membaca Al Qur’an & dzikir dan do’a.
 
Tidak ada batasan jumlah raka’at untuk Qiyamullail, semakin banyak semakin baik selama dapat memelihara kualitas. Rasulullah SAW biasanya melakukan sebanyak 11 Raka’at dengan membaca   lebih kurang 50 ayat Al Qur’an setiap raka’at. Adapun di bulan Ramadhan terdapat perbedaan pendapat Ulama; apakah seperti itu pula yang dilakukan Rasulullah SAW ataukah ada tambahannya mengingat Ramadhan adalah “Bulan Panen Pahala”. Namun praktek yang dilakukan para sahabat yang mengerjakan Tarawih sebanyak 23 Raka’at  selepas shalat Isya -dan masih berjalan hingga hari ini di seluruh dunia termasuk Masjid dua kota Suci Mekah dan Madinah- mengindikasikan adanya tambahan beliau dalam Qiyamullail. Wallahu A’lam.
 
Ayat-ayat Al Qur’an yang dibaca sebaiknya yang dapat menumbuhkan semangat beribadah malam atau yang memerkuat keyakinan akan ke-Maha Besar-an Allah. Rasulullah SAW biasanya membaca ayat-ayat Surat Ali Imran mulai dari ayat 190 hingga akhir Surat.
 
Terdapat beberapa dzikir yang baik dibaca setelah Shalat malam. Yang paling baik adalah sebagaimana dikemukakan Al Qur’an:
 
قُلْ أَؤُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرٍ مِنْ ذَلِكُمْ لِلَّذِينَ اتَّقَوْا عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَأَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ  . الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آَمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ  . الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ (ال عمران:15- 17)
 
Artinya: “Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?" untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya. (yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan peliharalah Kami dari siksa neraka,"  (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur”. (Ali Imran: 15-17)
 
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ  . آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ  . كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ  . وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (الذاريات:15-18)
 
 Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. dan selalu memohon ampunan pada waktu sahur”. (Adz Dzariyat: 15-18)
 
 
KEUTAMAAN QIYAMULLAIL
 
1.  Qiyamullail merupakan amaliah para Nabi dan orang-orang mulia. Mengerjakannya berarti menghampiri kedudukan mereka.
2.       Qiyamullail membuat do’a mudah diijabah. Allah berfirman:
 
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا (المزمل:6)
 
Artinya: “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. (Al Muzzammil: 6)
 
3.       Pelakunya akan terangkat derajatnya, sebagaimana janji kepada Rasulullah SAW;
 
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (الاسراء:79)
Artinya; “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajud-lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Al Isra: 79)
 
Meskipun yang dituju oleh Khitab ayat ini adalah Rasulullah SAW akan tetapi menggambarkan bahwa tahajjud memiliki keutamaan mengangkat derajat yang mengerjakannya.
 
4.       Pelakunya masuk surga
 
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ  . آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ . كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (الذاريات:15-18)
 
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. (Adz Dzariyat: 15-18)
 
Wallahu A’lam
 
H. Syarif Rahmat RA

bagaimana ini

Sebuah kitab ditulis biasanya untuk dibaca, difahami lalu diamalkan. Bisa diamalkan apabila jelas isinya dan pasti pesannya. Demikian pula kitab Fatwa, dapat diamalkan bila jelas kesimpulan fatwanya. Apabila dalam sebuah kitab terdapat lebih dari satu kesimpulan tentu yang akan muncul adalah kebimbangan dan kebingungan. Ironisnya belakangan kitab-kitab model ini banyak bermunculan sehingga ummat dibuat tidak tentu arah jalan.
 
Sebagai misal adalah sebuah kitab berjudul “’علاج السحروالمس والعين والجان”. Kitab yang berisi tentang aneka fatwa sekitar sihir, kesurupan dan Jin ini menampilkan pendapat tidak kurang dari 9 (sembilan) orang  Ulama dari Madzhab Wahhabi selain juga seniornya dalam bidang Akidah, Ibnul Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah murid Ibnu Taimiyah Rahimahullah.    
 
Salah satu bahasan yang terdapat dalam kitab yang dirangkumkan oleh seseorang bernama Nabil bin Muhammad Mahmud dan diterbitkan Dar Al Qasim Riyad ini adalah pengobatan gangguan jin menggunakan sarana benda. Pada halaman 75 buku tersebut  menyebutkan:
 
يستعمل السعوط بالقسط الهندي في ايذاء الجي المتمردة حيث يسعط به المريض عن طريق الانف فينطلق القسط الى الدامغ مباشرة  حيث يتمركز الجني فيبادر بالهرب او بالتحدث واخذ العهد عليه بالخروج وعدم العودة  وقد جاءت السنة المطهرة بفضل السعوط بالقسط الهندي منها مارواه البخاري – رحمه الله -- في صحيحه : عن ام قيس بنت محصن قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « عَلَيْكُمْ بِهَذَا الْعُودِ الْهِنْدِىِّ ، فَإِنَّ فِيهِ سَبْعَةَ أَشْفِيَةٍ . يُسْتَعَطُ بِهِ مِنَ الْعُذْرَةِ ، وَيُلَدُّ بِهِ مِنْ ذَاتِ الْجَنْبِ » .
 
Artinya:
 
Dari kalimat ini dapat dipahami bahwa salah satu cara mengobati orang yang kemasukan Jin adalah dengan cara pengasapan menggunakan gaharu yang dihisapkan ke hidung penderita. Tetapi pada bagian lain –masih kitab yang sama halaman 167– ditampilkan  satu pertanyaan:
 
هل يجوز التبخر بالشب أو الأعشاب أو الأوراق وذلك من إصابة بالعين؟
 
Artinya: Bolehkan mengobati orang yang terkena Ain dengan menggunakan tumbuhan, rerumputan atau dedaunan ?
 
Pertanyaan ini dijawab oleh komisi Al Lajnah Ad Da’imah dengan mengatakan:
 
لا يجوز علاج الإصابة بالعين بما ذكر؛ لأنها ليست من الأسباب العادية لعلاجها، وقد يكون المقصود بهذا التبخر استرضاء شياطين الجن والاستعانة بهم على الشفاء، وإنما يعالج ذلك بالرقى الشرعية ونحوها مما ثبت في الأحاديث الصحيحة. وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد ، وآله وصحبه وسلم.
 
Artinya: Tidak boleh mengobati orang yang terkena Ain (Hipnotis) dengan cara tersebut karena ia tidak termasuk dalam sarana yang lazim digunakan mengobatinya. Terkadang orang melakukan hal tersebut dengan maksud mencari kerelaan syetan-syetan dari golongan jin dan meminta pertolongan kepada mereka dalam pengobatan. Pengobatan yang dibenarkan itu hanyalah dengan Ruqyah Syar’iyah dan sejenisnya yang terdapat di dalam hadis-hadis Shahih. Wabillahit taufiq. Semoga Shalawat dan Salam tercurah kepada Nabi kita, Muhammad beserta keluarganya dan sahabatnya. (Lihat kitab ‘Ilaj As Sihr Wa Al Mass Wa Al ‘Ain Wa Al Jan halaman 167).
 
Pertanyaannya sekarang; manakah di antara kedua fatwa di atas dapat diamalkan?  Bolehkah seorang mu’min menggunakan sarana benda-benda untuk mengobati penyakit yang diakibatkan oleh gangguan Jin? Biarlah kedua fatwa di atas menjadi tugas para pengikutnya.
 
Sepengetahuan kami (Sy) sesungguhnya kerancuan ini berawal dari kesalahan cara melihat makhluk yang namanya Jin. Padahal sejatinya makhluk ini tak ubahnya seperti makhluk lain. Artinya, masuknya jin ke dalam tubuh manusia itu tak ubahnya masuknya virus atau angin ke dalam badan yang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan. Pengobatan terhadap bermacam penyakit dapat menggunakan sarana apa saja. Pengobatan itu bisa dengan meminumnya, menghisapnya atau mengolesnya. Dengan cara yang beragam itu orang dapat sembuh dari sakit yang dideritanya. Begitulah Jin, ia dapat dikeluarkan dengan segala macam cara, termasuk di antaranya dengan menghisapkan aroma gaharu melalui hidung si penderita sehingga dengan itu ia akan terganggu dan segera keluar dari tubuh orang itu. Lalu di mana musyriknya? Apakah kita akan mengatakan musyrik kepada orang yang mengusir nyamuk dengan semprotan serangga dan sejenisnya? Ataukah kita akan mengatakan musyrik kepada orang yang membaluri tubuhnya dengan bunga lavender atau sejenisnya?
 
Dalam sejumlah Hadis Rasulullah SAW memang kalau mengobati orang –apa pun penyakitnya– terkadang cukup hanya dengan menggunakan do’a. Lalu apakah bila dulu sebuah penyakit disembuhkan oleh beliau SAW  dengan do’a, kita pun harus mengobatinya pula “hanya” dengan do’a? Jangan istilah ”Ruqyah Syar’iyyah” dibenturkan dengan kemajuan ummat manusia kalau kita tidak ingin menjadi bahan tertawaan orang. Baiklah kita ambil contoh sebuah Hadis:
 
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ - رضى الله عنه - سَمِعَ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ يَوْمَ خَيْبَرَ « لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ رَجُلاً يَفْتَحُ اللَّهُ عَلَى يَدَيْهِ » . فَقَامُوا يَرْجُونَ لِذَلِكَ أَيُّهُمْ يُعْطَى ، فَغَدَوْا وَكُلُّهُمْ يَرْجُو أَنْ يُعْطَى فَقَالَ « أَيْنَ عَلِىٌّ » . فَقِيلَ يَشْتَكِى عَيْنَيْهِ ، فَأَمَرَ فَدُعِىَ لَهُ ، فَبَصَقَ فِى عَيْنَيْهِ ، فَبَرَأَ مَكَانَهُ حَتَّى كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ شَىْءٌ فَقَالَ نُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوا مِثْلَنَا . فَقَالَ « عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ ، وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ ، فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ » . (رواه البخاري ومسلم)
 
Nah, apakah kita -dengan dalih Ruqyah Syar’iyyah sebagaimana dicontohkan Nabi SAW- akan mengatakan Musyrik kepada orang yang mengobati sakit matanya dengan daun sirih? Bagaimana pula dengan orang yang mengobatinya dengan obat tetes mata yang sering kita temukan di apotik?
 
Sesungguhnya Rasulullah SAW sendiri pernah memberikan arahan tentang pengobatan atau penjagaan dari gangguan Jin ini menggunakan sarana benda. Misalnya sebuah Hadis yang menyebutkan:
 
عَامِرُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - « مَنِ اصْطَبَحَ كُلَّ يَوْمٍ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً ، لَمْ يَضُرُّهُ سَمٌّ وَلاَ سِحْرٌ ذَلِكَ الْيَوْمَ إِلَى اللَّيْلِ » .(رواه البخاري)
 
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang bersarapan pagi dengan beberapa butir Kurma Ajwah, ia tidak akan dikenai racun atau sihir pada hari itu hingga malam hari” (HR Al Bukhari).
 
Dalam sebuah keterangan disebutkan bahwa Sandal (terompah) Imam Ahmad dapat mengeluarkan Jin dari tubuh orang kesurupan. Diceritakan suatu ketika Imam Ahmad bin hanbal sedang duduk di Masjidnya, tiba-tiba datanglah seorang sahabatnya  diutus Khalifah Al Mutawakkil, lalu berkata: “Di rumah Amirul Mukminin ada seorang anak wanita yang kesurupan”. Imam Ahmad lalu memberikan sepasang sandalnya kepada orang tersebut dan mengatakan: “Pergilah ke rumah Amirul Mukminin dan duduklah di dekat kepala si anak wanita itu dan katakana kepada Jin yang merasukinya, “Imam Ahmad mengatakan kepadamu; “Manakah yang engkau suka, keluar dari anak wanita ini ataukah dipukul dengan sandal ini sebanyak 70 kali?”. Orang itu pun pergi membawa sandal Imam Ahmad menemui wanita tadi dan mengerjakan sebagaimana yang diperintahkan Imam Ahmad. Maka Jin jahat yang ada di tubuh wanita itu berkata: “Aku dengar dan aku ta’ati Imam ahmad. Sekiranya beliau memerintahkan aku keluar dari Irak pun, aku akan keluar. Sesungguhnya Imam Ahmad itu orang yang taat kepada Allah. Siapa yang taat kepada Allah maka segala sesuatu akan taat kepadanya”. Jin pun keluar dari wanita itu. Ketika Imam Ahmad telah meninggal dunia, Jin tadi kembali merasuk wanita itu. Amirul Mukminin mengundang sahabatnya Imam Ahmad dan memintanya agar membawa sandal sang Imam.  Sahabatnya itu kemudian berkata kepada Jin yang merasuk: “Keluarlah!, jika tidak, aku memukulmu dengan sandal ini”. Jin jahat itu menjawab: “Aku tak akan mematuhi kamu dan aku tidak akan keluar. Adapun Imam Ahmad bin Hanbal beliau adalah orang yang taat kepada Allah hingga kami diperintah untuk mentaatinya”. (Lihat Alam Al Jin Wa Asy Syayathin, karya Professor Doktor Sulaiman Abdullah Al Asyqar terbitan Darussalam Mesir hal 196)
 
Apakah dengan tindakannya itu Imam Ahmad dan muridnya, juga Khalifah Al Mutawakkil telah menjadi Musyrik? Sangat jauh mereka dari melakukan hal tersebut. Namun sekiranya mereka hidup di zaman ini, bisa jadi kata “musyrik” atau sekurang-kurangnya kata “Bid’ah” akan dialamatkan kepada orang-orang Saleh itu.
 
Ketahuilah,  sesungguhnya cara mengeluarkan Jin dengan menggunakan kata kata pengusiran pernah pula dilakukan Rasulullah SAW sebagaimana disebutkan dalam Hadis:
 
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِى الْعَاصِ قَالَ لَمَّا اسْتَعْمَلَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى الطَّائِفِ جَعَلَ يَعْرِضُ لِى شَىْءٌ فِى صَلاَتِى حَتَّى مَا أَدْرِى مَا أُصَلِّى فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ رَحَلْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ابْنُ أَبِى الْعَاصِ ». قُلْتُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « مَا جَاءَ بِكَ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَرَضَ لِى شَىْءٌ فِى صَلاَتِى حَتَّى مَا أَدْرِى مَا أُصَلِّى. قَالَ « ذَاكَ الشَّيْطَانُ ادْنُهْ ». فَدَنَوْتُ مِنْهُ فَجَلَسْتُ عَلَى صُدُورِ قَدَمَىَّ. قَالَ فَضَرَبَ صَدْرِى بِيَدِهِ وَتَفَلَ فِى فَمِى وَقَالَ « اخْرُجْ عَدُوَّ اللَّهِ ». فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ « الْحَقْ بِعَمَلِكَ ». قَالَ فَقَالَ عُثْمَانُ فَلَعَمْرِى مَا أَحْسِبُهُ خَالَطَنِى بَعْدُ. (رواه الامام احمد وابن ماجة)
 
Artinya: Utsman bin Abi Al Ash berkata: Ketika Rasulullah SAAW menugaskan aku di Tha’if, tiba-tiba ada sesuatu yang merintangiku dalam Shalatku hingga aku tidak tahu shalat yang aku tunaikan itu. Ketika aku menyadari hal tersebut, aku segera pergi menjumpai Rasulullah SAW. beliau bersabda: “Engkau Ibnu Abil Ash?”. “Benar, wahai Rasulullah”, jawabku. Beliau bersabda: “Apa yang terjadi denganmu?” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, ada sesuatu yang merintangiku dalam Shalatku hingga aku tidak tahu shalat yang aku tunaikan itu”. Beliau bersabda: “Itu adalah Syetan. Mari mendekat kepadaku”. Aku pun menghampiri beliau dan aku duduk bertumpu pada kedua punggung telapak kakiku. Beliau kemudian menepuk dadaku dengan kedua tangannya dan meludah di mulutku sambil bersabda: “Keluarlah kamu hai musuh Allah !!!”. Beliau melakukan itu sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau bersabda: “Kembalilah ke pekerjaanmu”. Utsman berkata; “Demi umurku, setekah itu syetan itu tak pernah menggangguku lagi”. (HR Ahmad dan Ibnu Majah)
 
Dari hadis ini diketahui bahwa pengobatan orang yang kemasukan Jin bukan hanya dengan ayat ayat Al Qur’an, tetapi bahkan juga dapat dengan mengusirnya secara lisan karena Jin memang mengerti bahasa manusia. Lantas dari manakah mereka (Ulama Kerajaan Keluarga Sa’ud) menghukumi pengobatan Jin menggunakan sarana tetumbuhan sebagai Musyrik? Wallahu A’lam. Tetapi bisa jadi karena mereka memang dikenal sebagai kelompok yang gemar menggunakan kata tersebut, hatta kepada sesamanya, orang Islam.
 
Selanjutnya, apakah fatwa tersebut dapat dikatakan Bid’ah karena tanpa didukung, bahkan menyalahi, dalil yang ada? Ketahuilah yang namanya Bid’ah itu bukan hanya mengada-ada yang tidak ada. Meniadakan yang ada pun dapat dikatakan Bid’ah. Namun bagaimana pun kedudukan masalah tersebut, tujuan dari tulisan ini sesungguhnya hanya ingin mempertanyakan; makah di antara kedua pernyataan tersebut yang benar dan harus diamalkan? Ini penting mengingat mereka selalu menggemakan istilah “Kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan Manhaj Salaf”. Jadi manakah jalan Salaf dalam masalah ini? Hasbunallah
 
KH Syarif Rahmat RA

siapa yang membuat nama pohon khuldi

LARANGAN ALLAH
Allah melarang Adam dan Hawa mendekati sebuah pohon yang ada dalam Al Jannah dengan tidak menyebutkan apa nama pohonnya. Tetapi Dia menjelaskan bahwa apabila melanggar larangan ini dan mendekati pohon tersebut, mereka akan dikategorikan sebagai “Orang Zhalim”. Allah berfirman:
 
وَقُلْنَا يَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (البقرة:35)
 
Artinya: “Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (Al Baqarah: 35)
 
وَيَا آَدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ (الاعراف:19)
 
Artinya: “Dan (Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." (Al A’raf: 19)
 
Tidak ada satu ayat atau Hadis Shahih pun yang menyebutkan apa nama dari pohon larangan tersebut. Oleh karena itu para Ulama –ketika mencoba berusaha menentukannya– berbeda pendapat dalam hal ini, tetapi tidak ada satu pun yang dapat menunjukkan dalilnya yang dapat dipertanggung-jawabkan.  
 
AKAL BUSUK SYETAN
Syetan tahu benar bahwa barangsiapa mematuhi aturan Allah akan kekal di dalam Surga. Sebaliknya siapa yang melanggar aturan akan dikeluarkan di dalamnya. Hal ini telah dirasakan sendiri ketika ia tidak mau menuruti perintah Allah agar sujud kepada Adam yang mengakibatkannya terusir dari Surga.
 
Syetan mengetahui adanya larangan untuk Adam dan isterinya merasa mendapat peluang untuk menjatuhkannya. Dia tahu bahwa kalau Adam melanggar pasti akan dikeluarkan dari Surga. Maka ia pun membuat tipuan dengan mengatakan bahwa apabila mereka memakan buah larangan tersebut niscaya akan kekal selamanya di dalam Surga bahkan akan menjadi Malaikat atau Raja. Kata kekal dalam bahasa Arab adalah “Khuld”. Jadi kata atau istilah “Syajaratul Khuldi” atau “Pohon Keabadian” adalah buatan Syetan yang digunakan untuk menipu Adam. Al Qur’an dengan jelas  menceritakan:
 
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آَدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى (طه:120)
 
Artinya: “Kemudian Syetan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" (Thaha: 120)
 
Penjelasan mengenai kata “Khuld” yang berarti “Kekekalan” atau “Keabadian” diterangkan dalam ayat lain:
 
فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْآَتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (الاعراف:20)
 
Artinya: “Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk Menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka Yaitu auratnya dan syaitan berkata: "Tuhan kamu tidak melarangmu dan mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi Malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga)". (Al A’raf: 20)
 
Jadi yang menamakan “Syajaratul Khuldi” (pohon kekekalan) adalah Syetan. Masalah ini karena begitu jelasnya, sama sekali sudah tidak membutuhkan dalil tambahan.
 
TENTANG HADIS POHON KHULDI
Ada sementara orang yang mengatakan bahwa penamaan “Syajaratul Khuldi” itu bukan bersumber dari Syetan.  Untuk mendukung pendapatnya beliau mencantumkan sebuah Hadis:
 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِى الضَّحَّاكِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُول قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ فِى الْجَنَّةِ شَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِى ظِلِّهَا مِائَةَ عَامٍ لاَ يَقْطَعُهَا شَجَرَةَ الْخُلْدِ ». (رواه الامام احمد)
 
Berdasarkan Hadis ini dapat disimpulkan bahwa nama “Syajaratul Khuldi” itu ada dalam Hadis. Dengan kata lain yang menamakan pohon larangan itu dengan “Pohon Khuldi” adalah Allah SWT sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW. (Lihat Musnad Ahmad Juz 3 halaman 486 Hadis nomor 9957)
 
Akan tetapi kesimpulan ini tidak dapat diterima dengan alasan :
 
Pertama, Hadis tentang “sebuah pohon” memang terdapat dalam Shahih Al Bukhari dan Muslim yaitu:
 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سِنَانٍ حَدَّثَنَا فُلَيْحُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا هِلاَلُ بْنُ عَلِىٍّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى عَمْرَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ فِى الْجَنَّةِ لَشَجَرَةً يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِى ظِلِّهَا مِائَةَ سَنَةٍ ، وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( وَظِلٍّ مَمْدُودٍ ) » . (رةاه البخاري في باب ما جاء في صفة الجنة ومسلم)
 
Artinya: Nabi Muhammad SAW bersabda: “Sesungguhnya di dalam Surga itu terdapat sebuah pohon yang apabila seorang berkendaraan berjalan di bawah naungannya akan menempuhnya selama seratus tahun. Bacalah jika kamu mau (firman Allah yang artinya), “dan naungan yang terbentang luas,”(Al Bukhari Juz 4 halaman 137 dan Shahih Muslim 2 Juz  halaman 637)
 
Tetapi Hadis ini tidak menyebutkan kalimat “Syajaratul Khuldi” (pohon keabadian). Adapun Hadis dengan tambahan kata “Syajaratul Khuldi” diriwayatkan oleh  Ahmad, Abu Dawud Ath Thayalisi dan lainnya.  Penting untuk dicatat bahwa baik Al Imam Ahmad ataupun Abu Dawud Ath Thayalisi (Lihat Al Muntakhab min Musnad Abd ibn Humaid Juz 2 halaman 351 Hadis nomor 1455) pun meriwayatkan dalam Musnadnya Hadis yang sama dengan redaksi Al Bukhari dan Muslim yang tanpa tambahan kata “Syajaratul Khuldi”.
 
Kedua, dari keseluruhan riwayat yang terdapat dalam aneka kitab Hadis, diketahui bahwa sumber utama Hadis dengan tambahan “Syajaratul Khuldi” adalah Abu Adh Dhahhak. Menurut catatan para Ulama Rawi yang satu ini adalah Majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu mereka menyatakan bahwa Hadis “Syajaratul Khuldi” adalah Dha’if sebagaimana dikatakan Syekh Al Arna’uth. (Lihat catatan kaki kitab Abd ibn Humaid di atas)
 
Ketiga, Kalaulah saja Hadis itu dianggap Shahih karena dikaitkan dengan Hadis lainnya, itu bukan berarti bahwa yang dituju dengan “Al Jannah” pada Hadis tersebut adalah Surga tempat Nabi Adam dan Hawa berada. Yang dituju oleh Hadis itu –sekali lagi, kalau dianggap Shahih–  adalah Surga tempat pembalasan orang beriman di akhirat kelak. Hal ini sebanding dengan, misalnya, Hadis:
 
عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ فِى الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ ، يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَقُومُونَ ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ ، فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ ، فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ » . (رواه البخاري ومسلم)
Artinya: “Sesungguhnya di dalam Surga itu ada sebuah pintu yang bernama Ar Rayyan tempat masuknya orang-orang yang berpuasa ke dalam Surga pada hari kiamat. Pintu tersebut tak dapat dimasuki kecuali oleh orang-orang yang suka berpuasa. Ketika itu akan dikatakan: ”Di manakah orang-orang yang suka berpuasa?”. Tak seorang pun akan masuk lewat pintu itu dan ketika mereka semua telah masuk, pintu pun ditutup sehingga tak ada lagi seorang pun yang memasukinya”. (HR Al Bukhari dan Muslim)
 
Wallahu A’lam
KH Syarif Rahmat RA

tidak ada lagi agama


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الفتح:29)
 
Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al Fath: 29)
 
Agama adalah akhlak; bukan orang beragama orang yang tidak berakhlak.  Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak. Ditanamnya Aqidah, disemainya amal ibadah adalah dalam rangka bercocok tanam akhlakul karimah. Rasulullah SAW bersabda:
 
 إِنَّمَا بُعِثْت لِأُتَمِّم مَكَارِمَ  الْأَخْلَاق   (رواه الامام احمد والبخاري في الادب المفرد والحاكم)
 
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR Ahmad, Al Bukhari dalam Al Adab Al Mufrad dan Al Hakim)
 
Ukuran kesempurnaan iman seseorang ditampakkan melalui tampilan akhlak; baik akhlaknya menandakan dalam keimanannya, rendah akhlak seseorang mencerminkan rendahnya iman dalam dirinya.
 
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». (رواه ابو داود والترمذي)
 
Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)
 
Bagi manusia yang berakhlak baik akan mendapatkan penghargaan khusus di akhirat kelak. Dalam sebuah hadis disebutkan:
 
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِأَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِساً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ». فَسَكَتَ الْقَوْمُ فَأَعَادَهَا مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً قَالَ الْقَوْمُ نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَحْسَنُكُمْ خُلُقاً ». (رواه احمد)
 
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian aku beritahu siapa di antara kamu orang yang paling aku cintai di dunia ini dan paling dekat tempatnya denganku di dalam Surga?”. Orang-orang yang mendengar semuanya terdiam hingga beliau mengulanginya dua atau tiga kali. Lalu barulah mereka menjawab: “Ya kami mau, wahai Rasulullah”. Beliau lalu bersabda; “orang yang paling aku cintai di dunia ini dan paling dekat tempatnya denganku di dalam Surga adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kamu”. (HR Ahmad)
 
Jadi Aqidah itu ibarat benih, ibadah laksana pohon yang subur sedangkan akhlak bagaikan buahnya. Orang yang beragama namun tidak berakhlak, bagaikan pohon tak berbuah. Apa yang hendak dilakukan sang petani manakala ia menanam pohon lalu menyiraminya setiap hari dan memberinya pupuk serta merawatnya berhati-hati, namun pohon itu tak kunjung berbuah? Tentu ia akan menebangnya dan mencampakkannya di bak sampah.  Perhatikanlah olehmu akan tanaman para Nabi sebagaimana disampaikan ayat di atas. Alangkah senangnya Rasulullah SAW sebagai penanam bila suatu ketika ummatnya yang merupakan benih benih hasil semaiannya tumbuh subur dengan akidah yang kokoh, ibadah yang banyak bertaburkan buah akhlak yang berguna bagi kehidupan sesamanya.
 
Sungguh menyedihkan, kini agama justru dijadikan alat justifikasi kekerasan, landasan peperangan dan ladang permusuhan. Ketika akhlak tak ada lagi dalam kehidupan para pemeluk agama, bisa jadi sesungguhnya mereka telah menempuh jalan menuju peniadaan agama. Bukankah Islam diluncurkan guna menciptakan kedamaian? Hasbunallah.
 
Hasbunallah
KH Syarif Rahmat RA, SQ, MA